Note:

Sudut Pandang Tentang Perkotaan, Perdesaan, Kewilayahan, dan Segala Dinamika Keruangan yang ada di antaranya.

Peduli

(Disclaimer: Bukan Ahli, Hanya Mencoba Untuk Lebih Peduli)

Mengenai Saya

Foto saya
Father of Two Beloved Son|| Bureaucrat|| Urban and Regional Planner (Master Candidate)|| Content Writer|| Content Creator|| Reading Holic|| Obsesive, Visioner, and Melankolis Man||

Latest Update

Ilustrasi Kota Bima Modern

Pengantar

Kepedulian terhadap lingkungan, harus saya katakan, sebagai parameter tertinggi dari sebuah daerah yang maju. Sebab, pembangunan berkelanjutan yang digaungkan dalam Sustainable Development Goals (SDGs) hanya akan tercapai dengan menyelaraskan tiga elemen; ekonomi, sosial, dan lingkungan. Percuma saja ekonomi suatu daerah dipacu setinggi langit, jika inklusi sosial mandeg dan perlindungan lingkungan hidup dipandang sebelah mata. Sudah banyak sekali kasus kota-kota yang “gagal”, hanya karena terlalu fokus membangun ekonominya saja. Tentu kita tidak ingin Kota Bima menyusul mereka. Entitas yang paling mudah dinilai untuk mengukur keseimbangan antara elemen ekonomi-sosial-lingkungan adalah pembangunan infrastruktur dasar: sanitasi, air minum, dan persampahan. Bagaimana perkembangan pembangunannya? Bagaimana sikap masyarakat kita terhadap infrastruktur dasar tersebut? Apakah sudah mencerminkan kedewasaan dalam aspek sosial dan lingkungan? Menarik untuk diulas.

Selayang Pandang Kota Bima

Kota Bima dan masyarakatnya secara administratif terhitung masih sangat belia. Kota di ujung timur Provinsi Nusa Tenggara Barat ini terbentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2002, sebagai hasil pemekaran dari saudara kandungnya, Kabupaten Bima. Wilayahnya tidak luas, hanya sekitar 222,25 kilometer persegi. Pada saat pemekaran hanya terdiri dari 3 kecamatan. Gambarannya, jika kita menjelajahi ujung selatan hingga ujung utaranya, hanya akan menempuh jarak 22 kilometer. Sementara ujung timur-baratnya lebih pendek lagi, dengan menempuh jarak 10 kilometer saja, kita akan sampai di penghujung batas kotanya. Sangat sempit, bahkan lebih dari separuhnya berkontur gunung dan bukit. 

Ilustrasi Foto Udara Kota Bima

Lahan untuk permukiman dan mendirikan usaha tentu sangat terbatas. Lebih dari itu, belum banyak potensi yang ter-ekspose untuk dioptimalkan dalam proses pembangunan. Kapasitas fiskal daerah sangat minim. Kantong-kantong ekonomi pun praktis hanya mengandalkan sektor primer yang telah bertahan selama bertahun-tahun. Ini artinya apa? Secara ekonomi, kita masih jauh dari harapan, namun bukan berarti tidak bisa diharapkan. Toh, kota-kota seperti Hyderabad, Mumbai, Manila, Riyadh; tidak luas, bahkan ada yang luasnya jauh di bawah Kota Bima, namun semua masuk dalam daftar kota paling cepat berkembang di dunia tahun 2024. Tentu mereka punya senjata pamungkas untuk “menaikkan level” kota masing-masing. Satu yang bisa pelajari adalah cara mereka menggenjot elemen sosial (Sumber Daya Manusia) dan kepeduliannya terhadap lingkungan. Sebab, pundi-pundi ekonomi sangat mudah dibentuk di tengah tatanan sosial masyarakat yang teratur dan kecintaan terhadap lingkungan yang tinggi.

Perkembangan Pembangunan Infrastruktur Dasar

Pada periode sepuluh tahun pertama pemekaran (2002-2012), infrastruktur dasar seperti sanitasi, air minum, dan persampahan menjadi tantangan yang luar biasa, karena memang infrastrukturnya masih minim. Sepuluh tahun awal, seperti halnya daerah pemekaran lain di Indonesia, Pemerintah Kota Bima sangat disibukkan dengan urusan penyerahan aset, penyepakatan peta batas-batas wilayah, penataan birokrasi internal, serta permasalahan mendesak lainnya. Belum nampak ada sentuhan yang signifikan terhadap sanitasi, air minum, dan persampahan. Jumlah rumah tangga yang buang air besar sembarangan (BABs) masih sangat banyak. Sasarannya adalah sungai-sungai, selokan, lahan-lahan kosong. Sebagian besar masyarakat masih menggunakan jamban (toilet) yang tidak layak. Akses terhadap sumber air bersih pun masih sangat terbatas. Sumber air minum saat itu masih bergantung pada sumur tradisional dan aliran perpipaan yang belum diolah secara standar. Begitu pula untuk persampahan. Lokasi pengelolaan sampah belum terkelola dengan baik. Pemandangan sampah yang berserakan di jalan dan sungai masih menjadi pemandangan sehari-hari. Akhirnya, semua mata rantai ini menyebabkan risiko kesehatan yang sangat tinggi.

Bantuan Sanitasi Pesantren

Bantuan Sanitasi Individual

Memasuki periode tahun 2013-2019, Kota Bima mulai mendapat perhatian yang lebih dari pemerintah pusat dalam mendukung program pembangunan sanitasi, air minum, dan persampahan. Beberapa kebijakan krusial mulai diperkenalkan oleh mereka, salah satunya berbentuk Program Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM). Program ini berusaha melibatkan langsung masyarakat dalam pembangunan infrastruktur sanitasi. Pada periode ini, sudah mulai ada upaya lebih baik dalam membangun infrastruktur sanitasi di wilayah-wilayah padat penduduk, meskipun akses ke jamban layak belum merata. Berbagai proyek pembuangan air limbah rumah tangga sudah mulai intens direncanakan dan terealisasi di beberapa kawasan. Konsultan dari Belanda (Y-Consultant) tercatat sebagai motor penting dalam pembangunan di periode ini. Perusahaan ini ikut melakukan intervensi positif dalam pembangunan infrastruktur sanitasi dan persampahan. Menurut data dari Dinas PUPR Kota Bima, pada tahun 2013, Y-Consultant menjadi inisiator pembangunan Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) Komunal di Lingkungan Bonto Kelurahan Kolo. IPAL Komunal dengan cakupan pelayanan 150 Kepala Keluarga (KK) ini menjadi pilot project penting yang menandai dimulainya pembangunan infrastruktur sejenis di tahun-tahun setelahnya.

Terbukti di tahun yang sama (2013), pemerintah kota mendapat bantuan Dana Alokasi Khusus (DAK) untuk membangun MCK++ (MCK Plus-Plus) di Kelurahan Tanjung, Nungga, Melayu, dan Matakando. Konsep MCK++ dan IPAL Komunal lebih dipilih karena dapat digunakan bersama oleh banyak rumah tangga sekaligus. Hal ini menjadi strategi yang logis di tengah keterbatasan dana pembangunan serta keterbatasan lahan yang dimiliki oleh setiap rumah. MCK plus-plus adalah fasilitas umum yang menyediakan sarana mandi, cuci, kakus, dan air bersih sekaligus. Selain itu, MCK plus-plus juga memiliki fasilitas pengelohan limbah di lokasi yang sama. Terhitung hingga tahun 2018, Pemerintah Kota Bima terus membangun infrastruktur sanitasi berbentuk MCK++ dan IPAL komunal di masing-masing kelurahan, dengan pengguna minimal 50 Kepala Keluarga.


Bantuan Sambungan Rumah Air Minum

Pengelolaan air minum mulai berkembang, meskipun masih dengan bayang-bayang masalah kepemilikan aset Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Bima yang beroperasi di wilayah Kota Bima. Tantangan distribusi air yang merata ke seluruh wilayah kota selalu menjadi topik hangat setiap tahunnya. Pasokan air dari sumber-sumber mata air pegunungan terus diupayakan kala itu, dengan kerja sama antara PDAM dan Dinas PUPR. Sistem perpipaan juga mulai diperbaiki. Namun masalah bencana selalu momok menakutkan, baik itu berupa kekeringan di saat kemarau panjang, maupun kebanjiran di saat musim penghujan. Tentu para pembaca masih ingat dengan musibah banjir besar di akhir tahun 2016. Kota lumpuh total. Infrastruktur dasar dengan nilai aset miliaran rusak parah, termasuk pipa-pipa air bersih dan sanitasi. Bayangkan, pembangunan yang dirajut perlahan, ternyata harus dimulai lagi dari awal.

Pada periode ini pula, pengelolaan sampah sudah nampak terstruktur dengan baik, dengan adanya penetapan titik-titik pengumpulan sampah dan penambahan armada truk pengangkut sampah. Namun, pengelolaan di TPA (Tempat Pembuangan Akhir) masih memerlukan peningkatan signifikan, karena banyaknya sampah yang tidak dikelola dengan metode sanitary landfill, menyebabkan polusi udara dan tanah yang berpotensi meluas ke permukiman masyarakat. Sampah-sampah dengan tonase yang tinggi setiap harinya hanya ditumpuk di TPA tanpa pengolahan lanjutan.

Memasuki periode 2020-2024, pembangunan di bidang sanitasi, air minum, dan persampahan makin digenjot dan dipercepat, sesuai dengan arahan-arahan kebijakan nasional seperti Program Percepatan Penurunan Stunting, Program Kota Tanpa Kumuh (KOTAKU), Sanitasi Lingkungan Berbasis Masyarakat (SLBM), dan juga Sustainable Development Goals (SDGs) yang menargetkan 100 persen akses universal terhadap sanitasi dan air minum di tahun 2030. Kota Bima terus membangun fasilitas sanitasi, termasuk optimalisasi bangunan Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja (IPLT) sekaligus membentuk unit kerja khusus untuk menangani penyedotan tinja di setiap rumah dan perkantoran. Pada periode ini mulai dilakukan pembangunan masif jamban layak individual di setiap rumah, karena hasil evaluasi menunjukkan bahwa tipe jamban komunal (pakai bersama) sering terkendala kurangnya sumber air dan kesadaran masyarakat untuk memelihara bersama. Saat ini, sebagian besar rumah tangga di kota kini memiliki akses ke fasilitas sanitasi yang layak, namun masih ada wilayah-wilayah pinggiran yang memerlukan perhatian lebih.

Upaya pemeritah kota untuk meningkatkan pelayanan air minum di beberapa tahun terakhir ini, salah satunya dengan membentuk unit tersendiri (UPT) yang khusus menangani air minum. Layanan terus diperbaiki dengan menitikberatkan pada pencarian alternatif sumber air baru dan pemeliharaan jaringan yang sudah terbangun. Beberapa wilayah yang sulit terjangkau masih bergantung pada sumur pribadi. Investasi dalam teknologi pengolahan air dan penyediaan air bersih, seperti desalinasi air laut dan pengolahan air limbah, menjadi topik yang diperbincangkan untuk masa depan.

Pengelolaan sampah di Kota Bima telah lebih baik dengan adanya peraturan daerah tentang pengelolaan sampah yang lebih ketat. Pengelolaan sampah rumah tangga dan sampah industri semakin terintegrasi. Upaya untuk mendaur ulang serta mengurangi penggunaan plastik terus diintensifkan, namun tantangan dalam mengelola volume sampah yang terus meningkat tetap menjadi masalah.

Elemen yang Terlupakan: Penyadaran Sosial dan Edukasi Lingkungan

Berbagai pembangunan fisik yang diinisiasi pemerintah kota di dua dekade awal pemekaran memang telah, sedikit-banyak, membawa transformasi yang cukup signifikan. Namun ternyata transformasi sosial-lingkungan tidak lantas melaju sama cepat dan bagusnya dengan sisi fisik infrastruktur. Banyak sekali realitas ditemukan selama perjalanan waktu, yang menunjukkan bahwa daerah kita sesungguhnya masih tertinggal puluhan tahun dari kota-kota maju di luar sana.

Realitas pertama: IPAL Komunal dijadikan sebagai “tempat sampah”. Saat dilakukan monitoring dan penyedotan tinja, di dalam tangki pembuangan tinja ditemukan banyak sekali limbah pampers, pambalut, celana dalam, tisu, dan lain sebagainya. Hal ini membuat tangki septik cepat penuh dan tersumbat. Muncullah bau-bau tidak sedap yang mengganggu lingkungan hunian masyarakat sendiri.

Realitas kedua: sejak awal dibangun IPAL Komunal, ada pengurusnya yang berbentuk Kelompok Masyarakat. Umumnya, tugas mereka adalah mewakili masyarakat memelihara infrastruktur IPAL agar tidak terjadi kerusakan dan melakukan perbaikan. Tentu saja dengan menarik iuran yang sangat ringan dari masyarakat pemanfaat IPAL Komunal. Namun, realitasnya selalu sama hampir di setiap kelurahan yang memiliki IPAL Komunal, masyarakat hanya ingin menggunakan, namun enggan membayar iuran bersama. Jadilah penggunaan dan pemeliharaannya tidak berjalan sesuai yang diharapkan.

Realitas ketiga: sungai dan selokan masih menjadi tempat buang hajat masyarakat bantaran. Jumlahnya terus berkurang, karena telah selama bertahun-tahun menjadi target pemberian bantuan sanitasi. Namun yang masih menjadi pemandangan di beberapa kelurahan adalah toilet-toilet individu yang dibangun oleh masyarakat tidak memiliki tangka septik, namun pipa pembuangannya langsung diarahkan ke sungai atau selokan (parit). Ditemukan juga fakta mencengangkan, ada beberapa orang yang sudah diberi bantuan jamban di rumahnya, malah tetap memilih sesekali buang hajat di sungai, karena menurutnya lebih segar dan bisa sekaligus mandi serta mencuci. Bayangkan saat musim kemarau, air sungai mengering, lantas tinggal menyisakan kotoran-kotoran manusia yang berbau dan beracun mengering bersama lumpur sungai.

Realitas keempat: butuh pipa-pipa dengan panjang puluhan kilometer untuk mengalirkan air dari sumber alami di pegunungan hingga sampai ke permukiman masyarakat paling ujung. Ketika banyak perlintasan pipa yang bocor dan atau sengaja dibocorkan untuk digunakan oleh oknum yang nakal, seperti realitas yang terjadi kini, maka air bisa saja tidak sampai dinikmati oleh masyarakat yang tinggal di hilir. Masyarakat yang tidak kebagian air akan berteriak dan menunjuk pemerintah. Pemerintah akan berusaha mengidentifikasi dan memperbaiki titik kebocoran. Beberapa hari akan ada ulah lagi, diperbaiki lagi, dan begitu seterusnya hingga terjalin siklus yang “membosankan”.

Realitas keempat di atas masih mending. Namun pada realitas kelima, lebih parah lagi. Jika terjadi kelangkaan air bersih karena kekeringan dan iklim panas yang ekstrim, maka dinas teknis pemangku urusan air minum kota yang dipersalahkan dan dikambinghitamkan. Terus harusnya salahkan siapa? Tidak harus menyalahkan siapa-siapa. Tapi kita harus menyadari bahwa urusan air bersih atau air minum ini adalah sebuah sistem besar yang tidak ujug-ujung langsung ada dan kita nikmati. Sistem itu menyangkut daerah hulu hingga ke hilir. Hulunya dimana? Ya, di atas sana. Kawasan seputar sumber air pegunungan. Bahkan daerah hulu kita adalah lintas daerah, di Kabupaten Bima. Seberapa besar komitmen kita untuk bekerja sama memelihara pepohonan dan hutan yang ada di wilayah lintas daerah ini sangat menentukan kualitas dan kuantitas air yang kita terima di wilayah Kota Bima. Sudahkah ada komitmen bersama pengambil kebijakan di bidang kehutanan dan lingkungan hidup kita dengan daerah Kabupaten untuk melindungi dan menjaga keberlanjutan mata air kita? Sudahkah kita bisa menahan laju deforestasi (penebangan hutan) di daerah yang ada di luar wilayah kita namun sangat mempengaruhi kehidupan kita sehari-hari? Sudahkah kita gunakan makna pepatah “mati satu tumbuh seribu” untuk hutan-hutan lintas daerah kita? Mari merenung bersama.

Realitas keenam: pantai, sungai, dan laut masih menjadi salah satu tempat “favorit” untuk membuang sampah. Entah sensasi apa yang dirasakan oleh masing-masing diri kita yang masih tanpa malu membuang sampah begitu saja di pantai, sungai, dan laut yang jelas-jelas tertera plang (papan informasi) peringatan untuk tidak membuang sampah disitu, beserta dengan hukuman pidana yang bisa menjerat. Sensasi apa yang membuat setiap diri kita membuang sisa sampah plastik yang notabene puluhan tahun tidak akan bisa terurai oleh alam dengan begitu cuek, padahal di depan batang hidung kita sudah disediakan tempat sampah? Sensasi macam apa itu? Tolong disebutkan.

Realitas ketujuh: berdasarkan pendataan kinerja pengelolaan sampah oleh Pokja PPSP di tahun 2023, diperoleh bahwa penanganan sampah sebanyak 67,5%. Artinya masih ada sejumlah lebih dari 32% sampah yang tidak terkelola. Jauh lebih penting lagi adalah bahwa aspek pengurangan sampah belum menyentuh 1% dari total sampah yang dihasilkan. Ini artinya apa? Kesadaran kita untuk mengurangi sampah sejak di tingkat rumah tangga masih sangat minim. Kita belum aware untuk memilih dan memilah sampah berdasarkan jenisnya mulai dari rumah masing-masing. Misalnya, sampah anorganik seperti botol dan plastik dipisahkan untuk digunakan kembali atau diantarkan untuk didaur ulang. Tindakan itu akan sangat membantu bagi pengelolaan sampah untuk satu kota di TPA nantinya.

Sebenarnya jika diulik lebih dalam, masih banyak realitas-realitas yang menggelitik kita semua di masyarakat. Keseluruhan realitas yang nampak menjadi cambuk bagi kita untuk lebih percaya bahwa perkembangan lini kehidupan sosial dan lingkungan perlu kerja ektra dan keterlibatan semua unsur kota tanpa terkecuali, dan dengan melepaskan pandangan-pandangan skeptis yang tak berdasar. Sebab pembangunan elemen sosial dan lingkungan jauh lebih sulit di atas pembangunan kota secara fisik.

Mengapa Pembangunan Ketiga Sektor Itu Sangat Krusial?

Kota yang sehat adalah kota yang produktif. Pembangunan infrastruktur sanitasi, air minum, dan persampahan yang memadai akan menurunkan biaya kesehatan, meningkatkan produktivitas tenaga kerja, dan membuka peluang ekonomi baru di sektor pengelolaan sumber daya. Lebih dari itu, kota yang mampu menyediakan lingkungan yang bersih dan sehat akan menjadi tempat yang lebih menarik bagi investor dan penduduk, yang pada akhirnya mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih inklusif dan berkelanjutan. Pembangunan infrastruktur-infrastruktur ini secara inklusif artinya memberikan layanan ke semua lapisan masyarakat, terutama di daerah pemukiman kumuh dan terpencil, membantu mewujudkan kesejahteraan yang merata dan meningkatkan kualitas hidup secara keseluruhan.

Komitmen Bersama, Kota untuk Semua

Berdasarkan realitas-realitas yang diuraikan sebelumnya, kini kita harus sama-sama menyadari bahwa pembangunan fisik harus diikuti dengan edukasi dan penyadaran secara masif. Edukasi sosial dan lingkungan harus dilakukan bahkan 10 kali lipat lebih kencang dari pembangunan fisiknya. Jika dalam dua dekade ini perubahan secara sosial-lingkungan belum nampak signifikan, berarti memang kita semua belum memprioritaskannya. Kalau pun sudah, artinya cara atau metode yang kita lakukan belum benar-benar tepat. Pendanaan kegiatan berupa edukasi, sosialisasi, bimtek, monitoring, pendataan, pemberdayaan, dan sejenisnya; sudah semestinya mendapat porsi yang jauh lebih besar dibanding pembangunan secara fisik. Hasillnya memang tidak akan nampak instan dan langsung berbentuk seperti bangunan-bangunan fisik, namun paling tidak generasi kita akan menuai manisnya kelak.

Daerah kita butuh banyak sekali gebrakan inovatif untuk menuju titik putar balik kemajuan di bidang sosial dan lingkungan. Cara-cara biasa dan konvensional tentu sudah tidak bisa digunakan berulang di tengah kondisi masyarakat kita yang seperti ini. Kita butuh anak-anak muda pemikir revolusioner untuk lingkungan macam Pandawara Group, Lampung Sweeping Community, Ruang Pangan, Bank Sampah Emak, WALHI, dan sejenisnya. Kita butuh anak-anak muda yang mengedepankan pikiran untuk bagaimana berkontribusi untuk sosial dan lingkungan, ketimbang hanya untuk keuntungan pribadi dan sesaat. Kita butuh pemikir-pemikir integratif untuk birokrasi, yang dapat menggulirkan konsep “Penta Helix” dengan benar sesuai dengan role-nya, yaitu kerja sama multipihak (pemerintah, akademisi, perusahaan, komunitas, dan media) yang menjadi katalisator pembangunan kota. Kerja sama tidak hanya dalam internal kota, namun lebih dari itu bersama dengan pemerintah lintas daerah. Tentu konsep dan koordinasi tidak hanya berlangsung di atas meja, namun benar-benar termanifestasikan ke dalam aksi nyata. Nota-nota kesepahaman dan kerja sama antara pihak-pihak ini sudah wajib kita galakkan untuk diarahkan dalam menyukseskan edukasi sosial dan lingkungan yang kita ingin tuju.  Ruang-ruang diskusi untuk ini harusnya terbuka sangat lebar dan hanya dengan satu kepentingan bersama, bahwa kita ingin melihat kota kita bersaing dengan kota-kota dunia.

Kesimpulan

Infrastruktur sanitasi, air minum, dan persampahan bukanlah elemen pinggiran, melainkan inti dari keberlanjutan kota dan kesejahteraan masyarakat. Ketiganya harus diprioritaskan dalam perencanaan pembangunan untuk mencapai kota yang sehat, layak huni, dan berkelanjutan. Tanpa pengelolaan yang baik dalam tiga sektor ini, kota akan menghadapi tantangan kesehatan, sosial, dan lingkungan yang semakin besar. Namun seiring dengan pembangunan fisik yang masif di dua dekade terakhir, kita harus merenung dan meramu kembali strategi yang diterapkan dalam pembangunan kota. Sebab ruh pembangunan kita seakan tidak sempurna tanpa penyadaran sosial dan edukasi lingkungan. Saat ketiganya berjalan seimbang dan penuh harmoni, maka Kota Bima akan menjadi salah satu cikal bakal kota dengan perkembangan tercepat di dunia.

(telah dimuat dalam Harian Kahaba Bima, Tanggal 18 Oktober 2024)


Pengantar

Urbanisasi adalah proses migrasi penduduk dari wilayah pedesaan ke wilayah perkotaan, sehingga menyebabkan pertumbuhan dan perkembangan kota. Urbanisasi umumnya terjadi karena adanya daya tarik ekonomi dan sosial di kota, seperti peluang pekerjaan yang lebih baik, akses terhadap layanan publik yang lebih baik, dan gaya hidup yang berbeda. Urbanisasi menjadi permasalahan paradoksial yang serupa dua mata pisau. Satu sisi fenomena ini membawa perkembangan yang cepat bagi sebuah kota, namun di sisi lain meninggalkan “lubang” yang menganga di perdesaan. Perkembangan kota yang cepat pun bukan tidak menyisakan masalah; kekumuhan, kemiskinan, konflik antara warga asli setempat dengan para “pendatang”, ketersediaan infrastruktur dasar, dan masih banyak lagi isu-isu serupa itu. Lalu, ketika dampak negatif dari sebuah aktivitas lebih besar dari pada dampak positifnya, masih pantaskah untuk terus dibiarkan?

Selain terminologi secara fisik tadi, urbanisasi juga dapat dipandang sebagai proses perubahan gaya hidup (lifestyle) dari penduduk yang di tinggal di wilayah pedesaan, sehingga menyerupai kehidupan di perkotaan. Pengertian ini sudah banyak disepakati oleh para pakar perencanaan wilayah. Oleh karena itu, urbanisasi kini telah memiliki arti yang meluas dari sebelumnya. Kita dapat lihat fakta ini pada daerah-daerah pedesaan yang lokasinya berbatasan langsung atau pun terletak tidak jauh dari kawasan perkotaan. Masyarakat yang tinggal di desa tersebut mengalami transisi kehidupan melalui penggunaan teknologi informasi modern dan fashion dan mode yang berkiblat pada dunia maju.

Namun pada tulisan ini, kita akan lebih memfokuskan pembahasan mengenai terminologi urbanisasi dalam arti harfiah (fisik), beserta dampak-dampak yang ditimbulkannya. Adapun beberapa dampak negatif urbanisasi yang diuraikan dalam berbagai referensi, antara lain: 1) terkonsentrasinya penduduk secara berlebihan di kawasan perkotaan yang melebihi kapasitas dan daya tamping infrastruktur perkotaan, 2) kesenjangan yang semakin terlihat antara masyarakat berpenghasilan rendah dan berpenghasilan tinggi, 3) ketersediaan lapangan yang sesuai dengan keterampilan para “pendatang” yang terbatas, 4) penggusuran tempat tinggal para penduduk asli yang disebabkan oleh kurangnya lahan untuk infrastruktur dan fasilitas perkotaan, dan 5) ancaman kerusakan lingkungan yang semakin menjadi-jadi.

Kerangka Pembangunan Berkelanjutan

Isu mengenai dampak signifikan yang ditimbulkan oleh urbanisasi ini telah disadari dengan baik oleh setiap negara-negara dunia. Fenemona yang dapat dikatakan sangat umum terjadi di negara yang mulai tumbuh dan berkembang. Pembangunan berkelanjutan diyakini sebagai konsep pembangunan yang dapat menjadi solusi kebuntuan dari rantai masalah urbanisasi. Pembangunan berkelanjutan menyediakan kerangka kerja menyeluruh untuk mengawal pembangunan dengan asas-asas yang berkelanjutan, serta meminimalkan dampak negatif dari urbanisasi. Kenapa konsep pembangunan begitu dipercaya sebagai “obat” yang ampuh untuk permasalahan perkotaan itu? Konsep ini membantu menganalisis dan mengarahkan pertumbuhan perkotaan agar selaras dengan kemampuan dan daya dukungnya. Selain itu, faktor-faktor seperti inklusi sosial sangat diperhatikan, sehingga mengurangi ketimpangan dan perbedaan pemberian layanan antara si miskin dan si kaya. Pembangunan berkelanjutan pun sangat fokus untuk mempertahankan laju kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh polusi udara, pencemaran air, kerusakan habitat, dan sejenisnya.



Pembangunan berkelanjutan yang disadari pentingnya secara meluas oleh seluruh dunia akhirnya memunculkan kesepakatan global berupa Sustainable Development Goals (SDGs). Kesepakatan ini merupakan daftar komitmen dunia yang diwadahi oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk mencapai pembangunan berkelanjutan yang seimbang di seluruh dunia dari aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan. SDGs diadopsi oleh PBB pada tahun 2015 sebagai seruan universal untuk bertindak, guna mengakhiri kemiskinan, melindungi bumi, dan memastikan bahwa pada tahun 2030 semua orang menikmati perdamaian dan kesejahteraan. Tujuan SDGs totalnya ada 17 poin, namun yang berkaitan langsung dengan fenomena urbanisasi adalah tujuan 1, 6, 9, 10, dan 11. Penjelasan detail mengenai kelima tujuan itu adalah sebagai berikut:

1. Menghapus Kemiskinan (No Poverty - SDG 1):

SDG 1 bertujuan untuk mengakhiri kemiskinan dalam semua bentuk dan memastikan bahwa semua orang memiliki akses terhadap layanan dasar, termasuk penduduk perkotaan yang miskin. Dalam konteks urbanisasi, peran SDG 1 adalah untuk memastikan bahwa urbanisasi tidak meningkatkan kemiskinan dan ketidaksetaraan sosial di kota-kota besar. Ini melibatkan penyediaan akses terhadap pekerjaan yang layak, layanan dasar seperti air bersih dan sanitasi, serta perumahan yang terjangkau bagi penduduk perkotaan.

2. Mengurangi Ketimpangan (Reduced Inequality - SDG 10):

SDG 10 bertujuan untuk mengurangi ketimpangan dalam dan antara negara, serta antara kelompok-kelompok masyarakat yang berbeda. Dalam konteks urbanisasi, peran SDG 10 adalah untuk mengatasi ketimpangan sosial dan ekonomi antara penduduk kota yang kaya dan miskin. Ini dapat dicapai melalui kebijakan inklusif yang memperkuat akses terhadap layanan pendidikan, kesehatan, perumahan, dan pekerjaan bagi seluruh penduduk perkotaan.

3. Kota dan Komunitas yang Berkelanjutan (Sustainable Cities and Communities - SDG 11):

SDG 11 bertujuan untuk membuat kota dan pemukiman manusia menjadi inklusif, aman, tahan terhadap perubahan, dan berkelanjutan. Dalam konteks urbanisasi, peran SDG 11 adalah untuk mempromosikan pembangunan kota yang berkelanjutan dengan memperhatikan aspek-aspek seperti infrastruktur yang ramah lingkungan, transportasi publik yang efisien, perencanaan perkotaan yang baik, pengelolaan limbah yang berkelanjutan, dan peningkatan akses terhadap ruang terbuka hijau.

4. Akses Terhadap Infrastruktur dan Layanan Dasar (SDG 9 dan SDG 6):

SDG 9 bertujuan untuk membangun infrastruktur yang tangguh, mempromosikan industrialisasi yang inklusif dan berkelanjutan, serta meningkatkan inovasi. SDG 6 bertujuan untuk memastikan ketersediaan dan pengelolaan air bersih dan sanitasi yang berkelanjutan untuk semua orang. Dalam konteks urbanisasi, SDG 9 dan SDG 6 berperan penting dalam menyediakan akses terhadap infrastruktur dasar seperti transportasi, air bersih, sanitasi, energi, dan telekomunikasi bagi penduduk kota, sehingga mendukung pertumbuhan kota yang berkelanjutan dan meningkatkan kualitas hidup penduduk perkotaan.

Perkuat Daya Saing Desa

Desa di era modern saat ini sebenarnya sudah mendapat berbagai keistimewaan melalui berbagai kebijakan tentang desa. Kebijakan-kebijakan tersebut sangat mendorong kemandirian desa untuk terus membangun, baik secara fisik maupun non-fisik (pemberdayaan). Bisa dikatakan bahwa desa telah punya bargaining position yang kuat di mata masyarakatnya. Masyarakat yang pergi meninggalkan desa pastilah mereka yang merasa bahwa desa tidak mampu memenuhi kebutuhan mereka, minimal menyediakan peluang kerja untuk menyambung hidup. Oleh karena itu, dengan pembangunan desa yang masif akan membuat desa menemukan “jati diri”-nya. Utamanya, desa harus memiliki akses yang baik dalam mendukung mobilitas kegiatan ekonominya. Desa harus memiliki potensi alam dan potensi sumber daya manusia yang terus diasah. Mobilitas keluar-masuknya barang dan jasa harus lancar, sehingga starting point yang harus disediakan adalah fasilitas dan infrastruktur dasar, serta aksesibilitas desa.

Infrastruktur dasar seperti listrik yang stabil, air bersih yang memadai, sanitasi yang sehat, serta layanan Kesehatan tingkat dasar; semua menjadi syarat peningkatan kualitas hidup warga desa. Setelah itu, pengembangan transportasi yang handal dengan menyediakan jalan desa dalam kondisi baik, transportasi umum yang siap mengantar kemana saja, akses telepon dan internet yang stabil untuk berhubungan dengan pihak luar desa, pembangunan pusat pelayanan publik (sekolah, toko, pasar, sekolah, klinik, dan lain sebagainya), semua adalah tier pertama yang sangat penting untuk ada terlebih dahulu.

Setelah masyarakat telah “tuntas” dengan infrastruktur dan fasilitas dasar, barulah desa beranjak untuk mulai mengoptimalkan potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia yang ada. Kata “mengoptimalkan” dalam hal ini merujuk pada pengembangan suatu potensi yang memang sudah ada dan mampu ditingkatkan untuk lebih menghasilkan secara ekonomi maupun sosial kemasyarakatan. Hal ini dapat berupa pengembangan infrastruktur wisata di desa, misalnya perbaikan lokasi wisata, pembangunan homestay, jalur hiking, atraksi wisata, dan sejenisnya. Penting bagi desa untuk memahami sebenarnya apa potensi utama dalam dirinya. Tidak harus wisata alam, bisa juga wisata rohani, wisata edukasi, wisata kuliner, dan lain-lain.

Hal yang tidak kalah pentingnya juga, yang harus jalan seiring-sejalan, adalah kegiatan pemberdayaan masyarakat desa. Melalui program pemberdayaan masyarakat, penduduk desa dapat dilatih dan diberdayakan untuk mengelola infrastruktur dan layanan dasar secara mandiri. Ini akan menciptakan rasa memiliki terhadap infrastruktur desa dan meningkatkan kemandirian ekonomi masyarakat. Pembiayaannya tentu tidak harus terpaku dari anggaran desa yang tentunya terbatas. Peluang kolaborasi pendanaan di era modern ini sudah sangat terbuka lebar, baik dari elemen pemerintah, swasta, maupun swadaya dari kelompok masyarakat sendiri.

Kongklusi

Desa semakin mendapat keistimewaan dalam tanggung jawabnya dalam pembangunan secara mandiri. Saat desa berhasil mewujudkan pembangunan dengan asas berkelanjutan, sejatinya desa telah membawa potensinya ke arah yang lebih maju. Kemajuan desa akan mengurangi ketergantungan kepada kota, baik dari segi ekonomi maupun lifestyle. Desa akan menyadari karakteristiknya yang khas, tanpa harus menjiplak apa yang ditampilkan oleh perkotaan. Apabila kemandirian dan kesejahteraan itu sudah itu sudah diraih di level desa, tentu akan mengurangi bahkan menghapus keinginan untuk “mengadu nasib” di perkotaan. Sebab, sesungguhnya tujuan akhir dari sebuah keluarga adalah SEJAHTERA.

 


Kita sejatinya belum begitu sadar akan resiko dan bahaya dari isu tentang perubahan iklim. Kita hanya sebatas memahami bahwa perubahan iklim dan pemanasan global menyebabkan kegerahan yang meningkat di sekitar hunian. Padahal itu hanya segelintir kecil dari dampak masif yang ditimbulkan, selain dampak yang lebih menyeramkan, seperti badai yang lebih parah, peningkatan kekeringan, peningkatan suhu dan volume air di lautan, kepunahan spesies hewan dan tumbuhan, kekurangan pangan (kelaparan), resiko kesehatan tinggi, serta kemiskinan yang berlarut-larut. Tidak heran jika isu ini semakin mengkhawatirkan bagi negara-negara dunia. Aksi global untuk mengatasi dampak parah perubahan iklim telah disepakati dan tercantum sebagai sasaran nomor 13 dari Sustainable Development Goals (SDGs).


UNDP mencatat bahwa isu perubahan iklim telah mengakibatkan kerugian rerata tahunan sebesar ratusan miliar dollar. Lebih parahnya lagi, dampak bencana geo-fisik antara tahun 1998-2017 telah mengakibatkan 1,3 juta orang meninggal dan 4,4 miliar orang terluka (UNDP, 2018). Sangat mencengangkan bukan? Kesepakatan global dari negara-negara dunia masih menyisakan optimisme, dengan kemauan politis yang kuat, kerja kolektif, serta ketersediaan dana yang memadai; maka masih mungkin untuk membatasi peningkatan suhu rata-rata global sebesar 2 derajat celcius. Sasaran kongkritnya adalah dengan mengurangi emisi CO2 global sebesar 45% antara tahun 2010-2030, dan harus mencapai 0% di tahun 2050. Semua itu bertujuan agar mempertahankan suhu dunia tidak lebih dari 20 Celcius. Sehingga ketika dikonversi dalam benefit keuangan, manfaat ekonomi yang dirasakan setidaknya mencapai 26 Triliun Dollar pada tahun 2030.


Senyawa Kontributor Perubahan Iklim

Beberapa referensi menunjukkan bahwa beberapa senyawa yang dihasilkan dari kegiatan manusia di bumu menjadi kontributor besar terhadap isu perubahan iklim. Kita kadang tidak menyadari bahwa senyawa-senyawa kontributor tersebut sangat dekat dengan kehidupan kita sehari-hari. Pada saat yang sama, kita seakan tidak mampu berkutik ketika diminta harus beralih dari penggunaan alat-alat penyebab munculnya senyawa kontributor tersebut.



Berdasarkan fakta yang diungkap tersebut, kita dapat melihat bahwa senyawa Karbondioksida menjadi kontributor terbesar dalam pemanasan global, yang merupakan cikal-bakal perubahan iklim ekstrim. Kontribusi negatif yang diberikan itu mencapai 61 persen. Sangat mendominasi! Ada pun sumber emisinya berasal dari pembakaran dengan bahan dasar fosil dan juga penebangan hutan secara liar. Betapa tidak, kedua aktivitas itu telah dilakukan secara masif dan menjadi “mata rantai” yang sulit dihentikan pada setiap negara. Selain persentase-nya mendominasi, kita lebih menitikberatkan pada permasalahan yang disebabkan oleh senyawa karbon, karena sampel kota yang ingin kita bahas dalam tulisan ini adalah kota dengan komitmen terhadap pengurangan emisi karbon untuk iklim yang lebih ramah untuk kehidupan mereka.


Indonesia sendiri telah menunjukkan komitmen yang selaras dengan dunia global terkait dengan penanganan perubahan iklim. Mulai tahun 2004, pemerintah telah mengeluarkan Undang-Undang nomor 17 Tahun 2004 Tentang Pengesahan Protocol Kyoto mengenai Kerangka Kerja Konvensi Perubahan Iklim. Setelah itu, pada tahun 2011 pemerintah juga mengeluarkan Rencana Aksi Nasional Penurunan Gas Rumah Kaca (GRK). Selanjutnya, pemerintah juga menerbitkan Rencana Aksi Nasional Adaptasi Perubahan Iklim (RAN-API). Terbaru, tahun 2016 pemerintah mengesahkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016 Tentang Pengesahan Paris Agreement tentang Konvensi Perubahan Iklim.


Namun sayangnya, penelitian di level “akar rumput” menunjukkan bahwa literasi kita tentang apa itu perubahan iklim dan betapa mengerikan dampaknya, ternyata masih sangat rendah. Survei yang dirilis tahun 2021 menunjukkan bahwa 9 dari 10 orang Indonesia mengaku khawatir dengan perubahan iklim namun tidak paham atau minim wawasan mengenai perubahan iklim itu sendiri. Selain itu, lebih menyedihkan lagi, tidak sedikit dari responden yang mengira bahwa perubahan iklim adalah proses alamiah dari bumi kita sendiri.


Komitmen Positif dari San Fransisco Bay Area

San Fransisco Bay Area merupakan wilayah administrasi yang terdiri dari 9 kabupaten di bawah negara bagian California. Wilayahnya berada dan berbatasan langsung dengan pantai, sehingga sering disebut dengan “Bay Area” saja. Daerah ini seperti pengelompokan (aglomerasi) pusat pembangunan layaknya Jabodetabek di Indonesia. Kabupaten yang ada di dalamnya terdiri dari Alameda, Contra Costa, Marin, Napa, San Mateo, Santa Clara, Solano, Sonoma, dan San Fransisco. Total populasi wilayah ini mencapai 7,52 juta jiwa.


Menariknya adalah wilayah ini menjadi daerah penyangga Amerika Serikat dari segi ketahanan lingkungan. Secara ekologis, disana sangat kaya akan hutan-hutan alam yang berfungsi menyaring polusi, serta masih banyak spesies langka yang menjadikannya habitat alami. Iklimnya sangat kondusif sebagai tempat rekreasi dan refreshing di tengah penatnya kehidupan pusat ekonomi AS. Namun permasalahan perubahan iklim akibat kehidupan modern mulai mengintai kehidupan di wilayah ini. Salah satunya karena penggunaan pemanas ruangan dengan bahan bakar fosil (gas dan minyak). Penggunaan pemanas ruangan yang masif menjadi penghasil gas karbon dan nitrogen oksida. Menurut penelitian ilmiah di sana, bangunan-bangunan yang menggunakan pemanas ruangan tidak ramah lingkungan menghasilkan polusi Nitrogen Oksida (NOx) delapan kali lebih tinggi dari pada menggunakan sumber listrik.


Mengantisipasi permasalahan yang kian berdampak buruk, para pemimpin di wilayah Bay Area segera mengambil langkah visioner berupa penetapan aturan tentang standar kualitas udara dan pembatasan penggunaan pemanas yang tidak ramah iklim. Ini adalah aturan yang pertama untuk California. Keinginan pemerintah eksekutif pun didukung penuh oleh Dewan Legislatif mereka. Secara berangsur-angsur masyarakat harus mengganti pemanas ruangan mereka dengan sumber listrik ramah lingkungan hingga tahun 2027 nanti. Bagi masyarakat yang tidak mampu membeli atau mengkonversi alat pemanas mereka, maka akan diberikan subsidi besar-besaran oleh pemerintah. Kebijakan baru ini diharapkan dapat mencegah serangan penyakit pernapasan dan berkurangnya tingkat kematian di wilayah Bay Area. Udara dalam rumah pun lebih lebih sehat dan segar untuk dihirup.


https://www.spur.org/news/2024-03-05/affordable-transition-zero-pollution-climate-friendly-homes-bay-area

Ada sekitar 585 ribu rumah tangga di Bay Area yang dianggap berpenghasilan rendah, 40 persen-nya adalah pemilik rumah, sementara 60 persen-nya adalah penyewa rumah. Transisi penggunaan pemanas yang lebih ramah lingkungan didukung oleh perusahaan listrik negara mereka yang berkomitmen untuk mengatur ulang tarif dasar listrik bagi mereka yang berpenghasilan rendah. Jadi, selain pemerintah membiayai dari segi subsidi pengadaan mesin pemanasnya, perusahaan listrik pun mendukung dari segi penurunan biaya listrik hingga terjangkau oleh semua kalangan.


Kebijakan seperti inilah yang perlu didorong oleh setiap negara lain; kebijakan yang multisektor, multistakeholders, dan terintegrasi satu sama lain. Muara dari kebijakan yang serupa akan membawa kesejahteraan dan kebahagiaan bagi masyarakat, sebab hakikatnya pemerintah menjadi “pelayan” bagi masyarakat. Sehingga masyarakat pun selalu berusaha terlibat dan antusias dalam usaha-usaha membangun bangsa dan negara dari tingkatan terendah. 

Bayangkan ketika seorang dokter ditanya mengenai syarat pendukung agar kita bisa menjadi cerdas. Tentu banyak sekali saran yang bisa diberikan. Beberapa dari mereka akan menyarankan untuk selalu menerapkan pola hidup yang sehat. Ada pula yang memberi masukan agar kita mencoba melakukan hal-hal baru yang belum pernah dilakukan sebelumnya, untuk meningkatkan wawasan dan skill. Nah, rasa-rasanya begitu pula perumpamaan yang dialami oleh sebuah kota ketika berkomitmen untuk menerapkan konsep kota cerdas. Kota tersebut seakan harus nampak bersih, sehat, nyaman, berubah (ada pembaruan) secara fisik, dan masyarakatnya pun sejahtera. Ini artinya apa? Ada semacam beban berat yang terkandung dalam istilah “kota cerdas” ini. Konsep yang pada hakikatnya berasal dari ide- ide perusahaan raksasa teknologi dunia barat periode awal 2000-an, agar operasionalisasi sebuah organisasi  jauh  lebih  efektif  dan  efisien  dengan  bantuan  teknologi.  Jikalau  pun  dalam perkembangannya mengalami banyak sekali variasi terminologi, itu semata karena keinginan banyak pihak untuk mengadopsinya dalam lokus atau wadah yang berbeda saja, termasuk dalam skala perkotaan. Konsep “kota cerdas” yang digaungkan oleh negara-negara Eropa bisa saja sangat tepat sasaran dan baik pula untuk diambil sebagai pelajaran. Perekonomian rerata masyarakat mereka sudah berada di level kesejahteraan yang tinggi. Lantas bagaimana ketika konsep “kota cerdas” itu dibawa dan diterapkan secara masif di negara-negara belahan dunia selatan yang notabene belum selesai dengan berbagai permasalahan kemiskinan dan segala fenomena yang mengikutinya? Ketika sekelompok masyarakat kalangan bawah dijejali dengan seperangkat aturan dan mekanisme top-down yang asing bagi mereka, maka potensi defense-nya besar sekali. Informalitas pun tetap tumbuh subur mengiringi (calon) kota-kota cerdas.


Konsep yang Bersifat Top-Down

Banyak referensi, salah satunya Prasad et al (2023), yang mengungkap tentang betapa top-down-nya sifat dari penerapan konsep “cerdas” pada kota-kota di belahan dunia selatan (lokus penelitian mereka di India). Selain itu, Kominos et al (2019) menilai “kota cerdas” sebagai perencanaan yang parsial, dan mengistilahkannya sebagai “perencanaan tanpa rencana”. Cowley & Caprotti (2019) mengistilahkan komitmen  “kota  cerdas” bersifat  oportunistik  dan bukan  dari  hasil  perencanaan  yang  disengaja. Parahnya  lagi,  inisiatif  “kota  cerdas”  yang  sering  ter-fragmentasi  membuat  semakin  dalamnya kesenjangan, baik secara sosial maupun spasial (Prasad et al, 2022). Hasil observasi langsung penulis juga di beberapa kota di Indonesia, seperti di Kota Cirebon, Semarang, dan Magelang; mengarah pada kesimpulan yang sama. Kebijakan untuk penerapan inisiatif “kota cerdas” menjadi semacam amanat langsung dari pemerintah pusat, dengan hanya melalui assessment “kecil-kecilan” berupa kemampuan keuangan daerah dan kesiapan sumber daya alamiahnya, serta didukung sungguh oleh komitmen pimpinan. Apakah inisiatif “kota cerdas” diawali dengan melakukan survei kebutuhan atau kemampuan masyarakat secara menyeluruh (door to door)? Tidak. Apakah komitmen “kota cerdas” menjadikan jumlah  minimal  penduduk  miskin  sebagai  syarat  diterimanya  pemerintah  daerah  sebagai implementator? Tidak. Apakah dengan berinisiatif ikut program “kota cerdas” akan mendatangkan bantuan lebih banyak dari pemerintah pusat untuk membebaskan kemiskinan? Tidak juga. Jadi, tidak mengherankan ketika banyak sekali ditemukan ketidaksesuaian antara harapan dan realita di tengah- tengah  masyarakat  ketika  implementasi  dijalankan.  Watson  (2009)  mengingatkan  dengan  tegas terhadap  pandangan-pandangan  elitis  dari  norma  perencanaan  masa  kini  yang  cenderung mengabaikan tuntutan masyarakat miskin perkotaan, sehingga memaksa mereka melanggar aturan dan hukum yang berlaku. 


Berkaca dari Informalitas di India

India memiliki persentase populasi yang sangat signifikan untuk belahan dunia selatan. Negara ini setidaknya terdiri dari 1,4 miliar penduduk menurut World Population Review 2020. Sejak tahun 2015 mereka telah menggagas Program 100 Kota Cerdas (Smart Cities Mission) untuk jangka waktu 5 tahun. Negara  dengan  kiblat  perencanaan  Neo-kolonial  dan  Pro-Barat yang  menjadi  salah  satu  pusat peradaban tertua dunia, pergeseran menuju asas-asas smart cities pasti sangat mengagetkan, terlebihdi kalangan masyarakatnya sendiri. Upaya mereka untuk lebih inklusif diterapkan dengan dua cara, yaitu  pembangunan  infrastruktur  fisik  dasar  (air  minum,  sanitasi,  listrik,  dan  transportasi,  dan sebagainya), serta solusi “cerdas” seperti digitalisasi pemerintahan, memperkuat koneksi internet, dan semacamnya. Namun semakin kuat usaha pemerintah untuk mem-branding diri sebagai “kota cerdas”, beberapa realitas anti-klimaks makin bermunculan ke permukaan. Masyarakat yang berpikir kritis (cenderung ke arah kebingungan) mulai bertanya tentang 3 domain utama “kota cerdas”: siapa saja yang boleh mendapatkan perumahan yang terjangkau? Siapa pengguna bebas layanan infrastruktur? Warga dengan kriteria seperti apa yang ingin dilibatkan dalam konsep “kota cerdas”? Pada muaranya, pertanyaan lebih menohok lagi. Sebenarnya “kota cerdas” itu dimunculkan untuk siapa?

Lokasi Tiga Kota (Bhubaneswar, Pune, and Chennai) di India
(Sumber: Prasad, 2023)

Prasad dan teman-temannya mengambil lokus 3 daerah di India (Bhubaneswar, Pune, dan Chennai). Awalnya pembangunan di sana direncanakan untuk perbaikan kawasan permukiman kumuh, namun orientasinya  beralih  untuk  pelayanan  perumahan  saja.  Sementara  kita  ketahui  bersama  bahwa jangkauan untuk memiliki perumahan sangat terbatas. Kenyataan itu diperparah dengan kebijakan penggusuran kantung-kantung kumuh yang dianggap bermasalah secara estetika dan kesehatan lingkungan.  Tidak  masalah  sebenarnya.  Namun  pada  gilirannya,  penggusuran  itu  diikuti  oleh penyediaan lokasi lain yang tidak representatif. Umumnya, lahan pengganti dibangun dengan hunian- hunian baru berbentuk blok, yang tentu saja pangsa pasarnya sudah berbeda. Lahan yang dibebaskan lalu diberikan kepada pengembang dengan tujuan komersial. Letak lahan hunian baru yang jauh dari lokasi awal hunian, membawa ketidaknyamanan bagi masyarakat kalangan bawah, terutama berkaitan dengan interaksi sosial dan lokasi usaha. Bahkan salah satu kota sampel, sekaligus yang terbesar, Chennai,  pemerintah  setempat  memilih  “menyerah”  untuk  memasukkan  program  perumahan terjangkau dalam inisiatif “kota cerdas”-nya. Wilayah itu telah terlanjur memiliki kawasan kumuh dengan penduduk lebih dari seperempat bagian dari total keseluruhan warganya. 

Potret Impelementasi Kota Cerdas di Indonesia
Indonesia sebagai negara dunia “bagian selatan” juga hampir melalui siklus kesadaran yang sama dengan India. Secara jumlah penduduk, Indonesia menempati peringkat 4 dunia di belakang Tiongkok, India, dan Amerika Serikat (Katadata, 2022). Secara resmi Indonesia mengumumkan inisiatif Program 100 Daerah Menuju Smart City di tahun 2018, di bawah koordinasi utama Kementerian Kominfo dan Bappenas. Salah satu tonggak yang melatarbelakangi komitmen nasional itu adalah tren pertumbuhan penduduk yang siginifikan, serta diiringi oleh laju urbanisasi yang luar biasa. Kualitas hidup masyarakat menjadi kata kunci yang disasar dalam menapaki inisiatif “kota cerdas”. Namun, seiring dengan perkembangan inisiatif “kota cerdas”, fenomena informalitas juga terus berkembang. Fenomena ini ditandai dengan pembentukan permukiman, pusat ekonomi, dan aktivitas yang tidak teratur dan seringkali di luar kontrol pemerintah. Di Indonesia, gejala itu dapat diamati dalam bentuk kampung kumuh,  pedagang  kaki  lima,  dan  sektor  informal  lainnya.  Faktor-faktor  seperti  ketidakmampuan mengakses perumahan terjangkau, minimnya lapangan pekerjaan resmi, dan keterbatasan akses ke layanan dasar, mendorong masyarakat untuk mencari solusi di luar sistem formal. Sama persis dengan kondisi di India yang dibahas sebelumnya. Setidaknya sebagian besar permasalahan tersebut penulis dapati langsung saat mengunjungi beberapa daerah, seperti Kota Cirebon, Kabupaten Magelang, Kota Semarang, dan Kabupaten Kulon Progo. Seluruh daerah itu telah menjadikan smart city sebagai arah tujuannya, berbekal dokumen “Master plan Smart City” yang telah dibuat dengan pendampingan dari unsur pemerintah pusat. Setelah beberapa tahun coba diaplikasikan, masalah-masalah informalitas ternyata tetap menjadi sebuah ironi tersendiri bagi pemerintah daerah. Peningkatan pembangunan infrastruktur dasar sebagian besar tidak dapat diaplikasikan pada kawasan-kawasan kumuh karena berkaitan langsung dengan status lahan yang belum “clean and clear” dari segi kepimilikannya. Pemerintah daerah memiliki pilihan dilematis untuk memindahkan masyarakat di tengah harga lahan alternatif yang sangat tinggi. Biasanya relokasi akan dilakukan dalam bentuk hunian baru vertikal yang letaknya jauh  dari  lokasi  awal.  Muncullah  berbagai  upaya  negosiasi  yang  berkepanjangan  dan menguras tenaga serta membebani materi. 

Perubahan fisik dalam tata ruang perkotaan menjadi suatu keniscayaan dalam inisiatif “kota cerdas”. Namun, masyarakat informal sering tinggal di lahan yang tidak diatur secara formal, sehingga rentan terhadap pembongkaran. Seperti yang dikatakan oleh (Roy, 2009) “Informalitas bukanlah serangkaian kegiatan yang tidak diatur dan berada di luar jangkauan perencanaan; melainkan perencanaan yang memasukkan hal-hal informal dengan menetapkan beberapa kegiatan sebagai kegiatan yang sah dan kegiatan lainnya sebagai kegiatan yang tidak sah, dengan menghancurkan permukiman kumuh sambil memberikan status hukum kepada pembangunan pinggiran kota yang juga ilegal”.

Masalah lain yang ditemukan adalah kesenjangan literasi digital di tengah masyarakat. Salah satu aspek inisiatif “kota cerdas” adalah untuk menuju konektivitas yang lebih baik. Namun, sebagian besar masyarakat  informal  tidak  memiliki  akses  yang  sama  terhadap  teknologi.  Hal  itu  menciptakan kesenjangan  digital  yang  dapat  memperdalam  kesenjangan  sosial.  Banyak  aplikasi  digital  yang diciptakan untuk lingkup lokal suatu daerah, namun fakta bahwa banyak sekali penduduk yang “gagap teknologi” membuat tujuan dari penciptaan aplikasi-aplikasi tersebut tidak tepat guna dan berhasil guna.  

Solusi dan Rekomendasi
Menapaki rentetan panjang fenomena inisiatif “kota cerdas” beserta permasalahan yang menyertainya, tidak berlebihan jika penulis memberikan rekomendasi yang bersifat  win-win solutions di tengah permasalahan informalitas dalam smart cities: 1) Mengembangkan program pelatihan digital bagi masyarakat informal untuk meningkatkan keterampilan teknologi dan mengurangi kesenjangan digital, 2) Mengintegrasikan masyarakat informal dalam proses perencanaan dan pengambilan keputusan perkotaan untuk memastikan kepentingan mereka diwakili, 3) Merancang inisiatif kota cerdas yang dapat diadaptasi dan digunakan oleh masyarakat informal secara bertahap, 4) Terus mendorong penyediaan akses yang lebih baik terhadap perumahan terjangkau, air bersih, sanitasi, dan layanan dasar lainnya.

Kongklusi
Pengembangan inisiatif kota cerdas haruslah mengakui realitas masyarakat informal dan berusaha untuk mengurangi ketidaksetaraan serta marginalisasi. Sehingga pada tingkatan tertingginya nanti, saat “kota cerdas” telah benar-benar merasuk dalam sendi kehidupan masyarakat, maka ilustrasi dari (Syssner & Meijer, 2017) akan terbukti adanya: “Di era baru ini, masyarakat sipil harus mengambil inisiatif kebijakan dan memikul tanggung jawab untuk melaksanakannya, dan pemerintah hanya boleh berpartisipasi secara minimal dalam proses tersebut, atau bahkan tidak sama sekali. Menjadikan masyarakat sipil bertanggung jawab untuk menyelesaikan masalahnya sendiri, dengan hanya sedikit dukungan dari pemerintah”.

Referensi
Cowley R and Caprotti F (2019) Smart city as antiplanning in the UK. Environment and Planning D: Society and Space 37(3): 428–448.
Komninos N, Kakderi C, Panori A, et al. (2019) Smart city planning from an evolutionary perspective. Journal of Urban Technology 26(2): 3–20.
Prasad D, Alizadeh T and Dowling R (2022) Smart city place-based outcomes in India: bubble urbanism and socio-spatial fragmentation. Journal of Urban Design 27(4): 483–503.
Prasad et al (2023) Smart city planning and the challenges of informality in India. Dialogues in Human Geography. SAGE Pub, 1- 18.
Watson V (2009) Seeing from the South: Refocusing urban planning on the globe’s central urban issues. Urban Studies 46(11): 2259–2275.
Katadata.    (2022).    Indonesia    Masuk    5    Besar    Jumlah    Penduduk    Terbanyak    di    G20. https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2022/11/01/indonesia-masuk-5-besar-jumlah- penduduk-terbanyak-di-g20. Diakses tanggal 31 Agustus 2023.
Roy A (2009) Strangely familiar: Planning and the worlds of insurgence and informality. Planning Theory 8(1): 7–11.
Syssner, Josefina, and Marlies Meijer. 2017. “Informal Planning in Depopulating Rural Areas. A Resource-Based  View  on  Informal  Planning  Practices.”  European  Countryside  9  (3):15. doi:10.1515/euco-2017-0027.


 



Halloo! Assalamualaikum warahmatullahi wabarakaatuh. Terima kasih sudah jadi pembaca setia blog pribadi saya. Blog ini baru terbentuk selama setahun, dan ini merupakan tulisan spesial edisi ulang tahun pertama. Pada bagian ini saya ingin lebih merefleksikan apa saja yang telah saya capai dan lalui, terutama terkait dengan keahlian saya, sekaligus sebagai cara saya memperkenalkan diri lebih detail kepada para pembaca.


Nama lengkap saya Faqih Ashri. Saya lahir di Kota Bima di tahun 1990. Sampai saat ini saya masih setia berdomisili di kota kelahiran, walaupun beberapa tahun lamanya saya menghabiskan waktu di daerah rantauan untuk menuntut ilmu dan mencari pengalaman.


Background pendidikan saya adalah Teknik Perencanaan Wilayah dan Kota. S1-nya saya kuliah di Universitas Brawijaya Malang. S2-nya saya di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Saya begitu mencintai dunia perencanaan kota, bahkan jauh sebelum lulus dari bangku sekolah. Hampir tidak ada niat lain dalam hati untuk melanjutkan ke jurusan lain. Singkatnya, saya selalu dimudahkan untuk melalui ujian nasional masuk perguruan tinggi impian berkat niat yang kuat serta doa dari kedua orang tua.



Saya saat ini bekerja sebagai PNS pada Dinas PUPR Kota Bima. Saya bergabung di pemerintah daerah sejak Maret 2019, melalui seleksi yang sangat ketat. Sebelumnya saya sempat bekerja di salah satu Bank BUMN selama 4 tahun. Dua tahun bekerja sebagai banker, saya langsung menikahi gadis pilihan saya di pertengahan tahun 2016. Kini, kami telah dikaruniai dua orang jagoan dari hasil pernikahan itu. Namun, penghasilan yang besar tidak lantas membuat saya nyaman bekerja. Idealisme tentang penerapan ilmu perencanaan kota yang nihil membuat saya kerap merencanakan untuk resign (keluar) dari bank. Akhirnya harapan itu menjadi kenyataan di tahun 2018. Saya mengikuti seleksi CPNS dan berhasil mendapatkan peringkat pertama dari hanya satu yang dibutuhkan, menyisihkan ratusan peminat pada formasi yang saya tuju, yaitu analis pengembangan infrastruktur. Disinilah kemudian saya menemukan jati diri yang sesungguhnya.


Sejak usia sekolah saya sudah berkeinginan berkontribusi memajukan daerah kelahiran. Bergabung di pemerintahan adalah sebagian dari mimpi yang menjadi kenyataan. Rasa syukur itu saya wujudkan dalam bentuk upaya mengembangkan diri dan tidak ingin berada di zona nyaman.



Saya suka bertemu dengan banyak orang, mendengarkan persepsi mereka, sehingga dapat menganalisa bentuk-bentuk pola pikir manusia yang beragam. Saya tergabung dalam organisasi profesi Ikatan Ahli Perencana (IAP) NTB dan memegang sertifikasi perencana ahli muda. Hobi saya membaca dan menulis. Saya aktif menulis opini tentang isu-isu pembangunan perkotaan melalui koran nasional, koran lokal, blog pribadi, hingga personal media sosial.





Tahun pertama sebagai ASN, saya langsung mewakili dinas dalam ajang inovasi dan teknologi tepat guna. Inovasi tersebut berupa penggunaan Sistem Informasi Geospasial berbasis partisipasi partisipasi masyarakat guna mendeteksi dan memetakan secara dini kebocoran pipa air minum di sekitar tempat tinggal masyarakat. Inovasi ini berhasil menjadi runner-up di tingkat kota, walaupun belum berhasil menembus hingga ke level nasional.


Tahun kedua mengabdi, saya memutuskan untuk mengikuti seleksi beasiswa Magister dari Bappenas. Dan saya berhasil  menjadi lulusan tercepat dengan hanya 1 tahun 4 bulan dan berpredikat cumlaude. Tesis saya tentang kerja sama pariwisata regional antara Kab. Magelang dan Kab. Kulon Progo pun diakui serta digunakan oleh kedua pemerintah daerah sebagai input dalam program dan kebijakan lanjutan mereka. Dan artikel jurnalnya saya presentasikan dalam seminar internasional kala itu. Di kampus pascasarjana, saya tidak hanya belajar. Saya aktif mengikuti lomba-lomba yang diadakan pihak ekternal untuk mewakili kampus. Saya juga aktif bergabung dalam setiap kegiatan UKM sepakbola pascasarjana dengan mengikuti setiap Latihan dan pertandingan melawan tim-tim dari luar kampus.



Perlu digarisbawahi juga, jauh sebelum meninggalkan kota untuk tugas belajar dari kantor, saya terlebih dahulu membimbing dan mengajari rekan kerja CPNS yang baru bergabung tentang semua pekerjaan yang selama ini biasa saya handle. Ini adalah sebuah komitmen knowledge transfer yang saya lakukan agar urusan dinas tetap bisa berjalan lancar walaupun dengan orang yang berbeda.


Sepulang dari tugas belajar, saya dibantu rekan satu ruangan, kembali mewakili Kota Bima untuk mengikuti kompetisi inovasi (SINOVIK) dari KemenPAN-RB. Inovasi kedua ini berupa upaya merevitalisasi aksi sedot tinja untuk menggenjot Pendapatan Asli Daerah (PAD). Kami berhasil masuk nominasi TOP 99 Nasional menyisihkan ribuan pesaing lain melalui proposal inovasi tersebut.



Selain mengikuti lomba, saya juga membantu 6 orang rekan kerja di bidang saya untuk mengikuti uji kompetensi perpindahan dari jabatan pelaksana menjadi jabatan fungsional, mulai dari mencari informasi awal ke kementerian, mengurus syarat-syaratnya, hingga pelaksanaan uji kompetensinya. Saya dan 6 orang rekan tersebut akhirnya berhasil lulus dengan meyakinkan tepat di tahun terakhir kebijakan perpindahan jabatan.


Kini dan kedepannya saya sangat fokus mengembangkan diri, menjalankan pekerjaan sebagai hobi, serta paling utama adalah untuk terus menjaga dan memperkaya data perencanaan dan pembangunan kota, baik dalam bentuk struktural maupun spasial. Karena data adalah unsur paling pentin dalam arah pembangunan daerah yang tepat guna dan berhasil guna.


Terima kasih sudah membaca sampai akhir. Jangan lupa follow blog ini untuk mendapatkan update tulisan terbaru dari saya. Sehat dan sukses untuk kita semua!

 

Sumber Foto: Kahaba.net


Semasa remaja dahulu, saya ingat sekali, kami selalu menggunakan angkot untuk berangkat dan pulang dari sekolah. Isinya kerap kali dipenuhi dengan anak-anak seusia saya. Wajah kami selalu riang dan bangga bisa berkesempatan naik angkot sendiri tanpa diantar oleh orang tua dengan sepeda kayuh atau pun sepeda motor butut. Bentuk dan warna angkutan umum zaman dahulu pun sangat beragam. Pemiliknya berlomba-lomba untuk berinovasi, baik merubah bentuk fisik luarnya dengan berbagai stiker dan asesoris, maupun merombak audio dalamnya dengan sedikit berlebihan dan norak. Semua dilakukan demi menarik perhatian calon pengguna sekaligus sebagai ciri khas tersendiri yang mudah dikenali para langganan. Pada pagi hari, jalan raya seakan penuh sesak dengan lalu-lalang angkot yang memuat anak-anak sekolahan. Terlebih di jam kepulangan, jangan ditanya; puluhan angkot dengan berbagai warna pasti telah berjejer tak beraturan di depan pagar sekolah guna merebut penumpang. Super sibuk dan meriah, pokoknya! Nyaris tidak ada yang menggunakan sepeda kayuh atau sepeda motor seperti zaman sekarang. Selain karena dulu kendaraan-kendaraan itu masih dianggap barang mewah, aturan sekolah pun tidak mengizinkan para siswa menggunakannya.


Romantisme kenangan itu kini bagai hilang ditelan bumi. Angkot-angkot “mewah” dan meriah itu sudah tak pernah nampak di jalanan kota kami. Ya, kota kecil kami setidaknya hanya memiliki angkot dan bus konvensional sebagai angkutan umum andalan di darat. Tidak ada yang namanya kereta api, trem, atau bahkan jalur khusus “busway”. Transportasi tradisional serupa delman yang kami sebut “benhur” pun nyaris hilang bersama dengan hilangnya angkot. Ruas-ruas jalan dipenuhi dengan angkutan-angkutan pribadi, baik roda dua maupun roda empat. Kota kami berubah menjadi kota konsumtif. Kota kami menjelma menjadi pangsa pasar potensial bagi segala macam kendaraan pribadi keluaran terbaru. Selalu muncul orang-orang kaya baru yang entah dengan cara apa mereka bisa memiliki kendaraan-kendaraan baru yang bahkan belum sempat terbayangkan modelnya. Bayangkan kendaraan beragam bentuk itu berlalu lalang di daerah yang batas dari ujung ke ujungnya tidak sampai 20 kilometer. Daerah yang sangat mungil, namun gaya hidup orang-orangnya semakin membesar.


Arah Angin Berubah Drastis

Lantas apa yang membuat roda nasib itu berputar sedemikian cepatnya bagi angkutan umum? Era modern membawa berbagai perubahan yang belum sempat terpikirkan oleh para pemain-pemain bisnis lama yang tengah menikmati masa jayanya. Kebiasaan menggunakan transportasi umum tiba-tiba berubah menjadi tidak bergengsi lagi. Hal ini berlangsung seiring dengan kualitas kendaraan yang menurun, harga tiket yang meningkat, dan isu kenyamanan serta keamanan yang mengancam. Kualitas kendaraan yang menurun ditandai dengan semakin seringnya mogok dan kecepatan yang berkurang. Isu kejahatan di atas kendaraan yang semakin kencang berhembus sangat menurunkan minat pengguna untuk kembali menggunakan moda transportasi umum. Beberapa hal lain yang ditengarai menjadi penyebab ditingalkannya kendaraan umum secara masif, yaitu:

  • Perkembangan Teknologi

Hadirnya moda transportasi berbasis digital seperti Gojek, Uber, Grab, Ola, Lyft, Maxim, dan sejenisnya akhirnya benar-benar merubah lanskap transportasi yang ada. Lebih parahnya lagi, saat ini sudah tersedia teknologi yang lebih canggih lagi dalam bentuk kendaraan otonom. Setiap orang bisa menumpang transportasi online tanpa driver dan dikendalikan secara otomatis dan aman. Kenyamanan dan kepuasan pelanggan benar-benar menjadi titik vital yang coba ditawarkan oleh teknologi baru ini. Sesuatu yang dianggap telah hilang dari pelayanan angkutan umum konvensional.

  • Persaingan dengan Kendaraan Pribadi

Banyak orang pun akhirnya rela menabung lebih keras untuk mendapatkan kendaraan pribadi yang dinilai lebih menawarkan privasi dan fleksibilitas waktu dan tenaga. Selain itu, jika belum memiliki uang yang cukup, para pelaku bisnis kredit (leasing) kendaraan sudah semakin menurunkan standar bagi mereka yang ingin segera memiliki kendaraan pribadi dengan “diskon” yang gila-gilaan. Para calon pelanggan nyaris tidak akan pulang dengan tangan hampa jika sudah memberanikan diri mengunjungi gerai mereka. Senjata utama mereka adalah DP ringan dan tenor cicilan yang fleksibel. Membuat calon debitur tak akan berkutik dengan rayuan itu.

  • Infrastruktur yang Kurang Memadai

Harus diakui bahwa jika ingin membangun sistem angkutan umum yang handal, kita memerlukan dana investasi yang sangat besar. Hal ini tentu saja untuk menyediakan serta memelihara infrastruktur yang digunakan, mengatur rute dan jadwal transportasi umum, serta mengintegrasikan antara satu jenis moda dengan moda transportasi yang lain. Di berbagai daerah, pengguna sering dibuat tidak nyaman dengan kenyataan bahwa mereka harus bergonta-ganti moda transportasi tanpa informasi rute dan jadwal yang jelas. Pasti sangat membuang energi jika harus berjalan kaki lagi untuk menemukan moda transportasi lain setelah turun dari angkot, misalnya.

  •   Sulitnya Merubah Kebiasaan yang Mulai Membudaya

Masyarakat sebenarnya sudah hampir semua menyadari bahwa penggunaan kendaraan pribadi yang masif dapat menyebabkan berbagai permasalahan lingkungan dan kemacetan semakin parah. Masyarakat sudah paham bahwa ada ancaman polusi udara, emisi gas rumah kaca, munculnya berbagai penyakit pernapasan, dan peningkatan kecelakaan lalu lintas. Namun perasaan gengsi yang lebih tinggi, waktu yang bisa mereka atur sendiri (fleksibel), dan kemudahan beralih rute dan mencari “jalan tikus” saat macet; membuat masyarakat lebih mementingkan egosentrisme-nya sendiri. Bayangan akan ketidaknyamanan, kualitas kendaraan yang buruk, serta lamanya waktu yang dibutuhkan; membuat minat untuk terus menggunakan angkutan umum sangat mudah diredam. Kendaraan pribadi menjadi semacam candu dalam budaya hidup yang baru. Jarak yang bisa ditempuh menggunakan jalan kaki pun sangat aneh jika tidak menggunakan kendaraan bermotor pribadi. Sisi lain, kebijakan untuk membatasi penggunaan kendaraan pribadi, seperti pengenaan biaya congestion pricing atau peningkatan tarif parkir, sering kali sulit diimplementasikan karena pertentangan politik dan penolakan masyarakat.

 

Semua kenyataan yang harus dihadapi oleh angkutan umum itu, membawa saya pada bayangan tentang jurang kehancuran yang dihadapi oleh raksasa teknologi bernama NOKIA. Dahulu, di masa kejayaannya, hampir setiap orang di dunia mengenal dan menggunakannya. Namun alur nasib yang tak terduga membawanya pada kenyataan yang sama sekali tak terbayangkan. Orang-orang mulai berangsur melupakan namanya, sekuat apa pun dirinya mencoba untuk bertahan. Bahwa inovasi dan teknologi harus terus berlangsung, agar terus bertahan dalam dunia yang penuh perubahan tak berujung.





Sejarah telah mengukir rentetan kisah panjang tentang generasi awal tempo dulu yang hidup dengan mengandalkan keterampilan dalam berburu dan bertani. Belum ada keributan, belum ada ledakan jumlah penduduk, belum ada pula isu kerusakan lingkungan. Lantas, revolusi industri datang merubah segalanya. Satu sisi, roda ekonomi negara-negara menjadi semakin menggeliat dan menghasilkan surplus komoditas potensial yang tidak pernah terjadi di era sebelumnya. Namun di sisi lain, eksploitasi berlebihan terhadap sumber daya alam untuk kebutuhan industri malah memunculkan masalah baru yang semakin pelik. Ya, degradasi lingkungan. Negara-negara semakin bernafsu untuk meraih predikat sebagai negara maju dengan memaksimalkan ekploitasi terhadap sumber-sumber ekonomi baru mereka. Jika tidak dibatasi, maka kerusakan dunia global akan semakin cepat. Masalah polusi yang mempengaruhi iklim dunia akan semakin berdampak luas.

Hingga ketakutan negara-negara dunia mulai ada, dengan ditandai oleh terlaksananya Deklarasi Stockholm di tanggal 5-16 Juni 1972. Itu merupakan deklarasi pertama mengenai lingkungan hidup dunia, yang menghasilkan setidaknya 26 prinsip program lingkungan PBB (UNEP). Namun setelah beberapa lama berjalan, ternyata setiap negara memiliki kendala dalam penerapannya. Hal ini tentu disebabkan oleh perbedaan ekonomi dari sebuah negara; ada negara yang sudah maju, ada yang baru saja berkembang, bahkan ada negara yang masih dalam kategori terbelakang. Dinamika ini akhirnya mengerucut pada dualisme antara negara kaya dan negara miskin. Negara miskin akan sangat membutuhkan negara kaya dalam mengatasi permasalahan ekonominya, mereka terbelenggu secara ekonomi terhadap “perintah” negara kaya. Sementara negara-negara kaya yang merasa diri bahwa mereka dibutuhkan, akan merasa semena-mena terhadap program yang telah disepakati bersama secara global. Contoh kecilnya saja, kesepakatan untuk meredam emisi karbon dengan mempertahanan persentase luasan hutan. Kita bisa lihat, negara-negara “dunia ketiga”-lah yang masih setia mengikuti kesepakatan itu.

Kita bisa menyaksikan sendiri di satu dekade terakhir ini banyak sekali negara-negara yang akhirnya mem-branding diri mereka dengan negara penyayang lingkungan. Program seperti pengurangan angka kematian di jalan raya dengan mengatur desain jalan dan berusaha merubah budaya berlalu lintas, misalnya. Tentu saja tidak akan tepat sasaran jika izin untuk memiliki kendaraan bermotor pribadi tidak dibatasi dengan ketat. Jalan raya akan tetap menjadi “kuburan massal” bagi penggunanya. Penelitian menunjukkan bahwa emisi dari gas buangan kendaraan bermotor menjadi sumbangan terbesar bagi efek rumah kaca, polusi udara, perubahan iklim, dan kesehatan.

Namun terkecuali pada kota-kota di Eropa, mereka telah banyak yang benar-benar sukses dalam program mengurangi angka kematian untuk pejalan kaki dan pengendara sepeda. Mereka secara berkelanjutan memang menggunakan strategi dan memiliki komitmen yang kuat dalam penerapannya di lapangan. Warga mereka pun terkenal selalu gampang diatur dan patuh pada aturan yang berlaku. Strategi yang digunakan umumnya seperti mengurangi kecepatan kendaraan, pembatasan kendaraan bermotor, dan mempromosikan serta mewujudkan kenyamanan transportasi umum. Mereka punya pos-pos pendanaan alternatif yang tidak selamanya bergantung pada pembiayaan dari pemerintah dalam menjalankan program-program revolusionernya.

Meskipun beberapa negara eropa akhirnya menghadapi tantangan berupa pengaruh politik kuat yang mencengkeram dari kelompok-kelompok berkepentingan, seperti perusahaan otomotif, dealer, leasing, perusahaan minyak, dan serikat pekerja. Memang dapat kita bayangkan, berapa besar kehilangan yang akan dirasakan oleh pihak-pihak itu jika kebijakan pembatasan kendaraan bermotor dijalankan. Tentu akan jadi buah simalakama bagi pemerintah. Sebab mereka tentu saja pihak-pihak yang menjadi penyumbang terbesar bagi pemasukan (seperti pajak-pajak) bagi sebuah negara. Semua itu membuat kita membayangkan apa yang terjadi di Indonesia. Persis sekali, banyak konsekuensi yang harus diterima ketika sebuah kebijakan diambil. Oleh karena itu, seorang presiden beserta dengan menteri-menterinya harus berpikir ektra jika ingin mengambil kebijakan publik di negara yang masih proses berkembang seperti di Indonesia ini. Satu isu lingkungan saja dapat berpotensi menghasilkan blunder jika tidak dibuat strateginya dengan matang dan penuh kehati-hatian. 

Salah satu yang menjadi isu terhangat adalah Pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) di Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur. Strategi ini muncul sebagian besar karena isu lingkungan yang menguak dalam berbagai penelitian ilmiah mengenai kondisi Ibu Kota Jakarta. Banjir, polusi, kemacetan, pertumbuhan penduduk, kekumuhan; semua menjadi bola salju yang semakin hari semakin besar dan deras dibahas. Hingga kesepakatan mengenai pemindahan ibu kota sudah tak mampu dihindari. Banyak energi, daya pikir, dan sumber daya keuangan yang dikeluarkan, demi mengejar sebuah kenyamanan dari kejaran isu lingkungan. Namun apakah ketika menghalau isu lingkungan yang satu, lantas tidak muncul isu lingkungan baru di tempat yang baru? Apakah tidak ada penebangan pohon dan hutan? Apakah tidak ada asap kendaraan bermotor? Apakah Kawasan Ibu Kota Negara tidak terpengaruh dengan isu lingkungan di lingkup regional kota/kabupaten lain di sekitarnya? Apakah tidak akan ada pertumbuhan penduduk disana? Apakah akan dibatasi kedatangan orang dan barang kesana? Tentu jawaban dari pertanyaan-pertanyaan ini akan terjawab sendiri sepuluh atau dua puluh tahun mendatang. Apakah kita negara yang mengatasi akar masalah atau hanya menghindari masalah. Atau memang ini adalah satu pilihan terbaik dari banyak pilihan yang baik. Semua akan mengerucut pada satu kesimpulan: keberpihakan negara kita pada lingkungan!