Kita sejatinya belum begitu sadar
akan resiko dan bahaya dari isu tentang perubahan iklim. Kita hanya sebatas memahami
bahwa perubahan iklim dan pemanasan global menyebabkan kegerahan yang meningkat
di sekitar hunian. Padahal itu hanya segelintir kecil dari dampak masif yang
ditimbulkan, selain dampak yang lebih menyeramkan, seperti badai yang lebih
parah, peningkatan kekeringan, peningkatan suhu dan volume air di lautan,
kepunahan spesies hewan dan tumbuhan, kekurangan pangan (kelaparan), resiko kesehatan
tinggi, serta kemiskinan yang berlarut-larut. Tidak heran jika isu ini semakin
mengkhawatirkan bagi negara-negara dunia. Aksi global untuk mengatasi dampak parah
perubahan iklim telah disepakati dan tercantum sebagai sasaran nomor 13 dari
Sustainable Development Goals (SDGs).
UNDP mencatat bahwa isu perubahan
iklim telah mengakibatkan kerugian rerata tahunan sebesar ratusan miliar dollar.
Lebih parahnya lagi, dampak bencana geo-fisik antara tahun 1998-2017 telah
mengakibatkan 1,3 juta orang meninggal dan 4,4 miliar orang terluka (UNDP, 2018).
Sangat mencengangkan bukan? Kesepakatan global dari negara-negara dunia masih menyisakan
optimisme, dengan kemauan politis yang kuat, kerja kolektif, serta ketersediaan
dana yang memadai; maka masih mungkin untuk membatasi peningkatan suhu rata-rata
global sebesar 2 derajat celcius. Sasaran kongkritnya adalah dengan mengurangi
emisi CO2 global sebesar 45% antara tahun 2010-2030, dan harus
mencapai 0% di tahun 2050. Semua itu bertujuan agar mempertahankan suhu dunia
tidak lebih dari 20 Celcius. Sehingga ketika dikonversi dalam benefit
keuangan, manfaat ekonomi yang dirasakan setidaknya mencapai 26 Triliun Dollar
pada tahun 2030.
Senyawa Kontributor Perubahan
Iklim
Beberapa referensi menunjukkan
bahwa beberapa senyawa yang dihasilkan dari kegiatan manusia di bumu menjadi kontributor
besar terhadap isu perubahan iklim. Kita kadang tidak menyadari bahwa
senyawa-senyawa kontributor tersebut sangat dekat dengan kehidupan kita
sehari-hari. Pada saat yang sama, kita seakan tidak mampu berkutik ketika
diminta harus beralih dari penggunaan alat-alat penyebab munculnya senyawa kontributor
tersebut.
Berdasarkan fakta yang diungkap
tersebut, kita dapat melihat bahwa senyawa Karbondioksida menjadi kontributor
terbesar dalam pemanasan global, yang merupakan cikal-bakal perubahan iklim
ekstrim. Kontribusi negatif yang diberikan itu mencapai 61 persen. Sangat
mendominasi! Ada pun sumber emisinya berasal dari pembakaran dengan bahan dasar
fosil dan juga penebangan hutan secara liar. Betapa tidak, kedua aktivitas itu telah
dilakukan secara masif dan menjadi “mata rantai” yang sulit dihentikan pada setiap
negara. Selain persentase-nya mendominasi, kita lebih menitikberatkan pada permasalahan
yang disebabkan oleh senyawa karbon, karena sampel kota yang ingin kita bahas
dalam tulisan ini adalah kota dengan komitmen terhadap pengurangan emisi karbon
untuk iklim yang lebih ramah untuk kehidupan mereka.
Indonesia sendiri telah menunjukkan
komitmen yang selaras dengan dunia global terkait dengan penanganan perubahan
iklim. Mulai tahun 2004, pemerintah telah mengeluarkan Undang-Undang nomor 17 Tahun
2004 Tentang Pengesahan Protocol Kyoto mengenai Kerangka Kerja Konvensi
Perubahan Iklim. Setelah itu, pada tahun 2011 pemerintah juga mengeluarkan
Rencana Aksi Nasional Penurunan Gas Rumah Kaca (GRK). Selanjutnya, pemerintah
juga menerbitkan Rencana Aksi Nasional Adaptasi Perubahan Iklim (RAN-API). Terbaru,
tahun 2016 pemerintah mengesahkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016 Tentang
Pengesahan Paris Agreement tentang Konvensi Perubahan Iklim.
Namun sayangnya, penelitian di
level “akar rumput” menunjukkan bahwa literasi kita tentang apa itu perubahan
iklim dan betapa mengerikan dampaknya, ternyata masih sangat rendah. Survei
yang dirilis tahun 2021 menunjukkan bahwa 9 dari 10 orang Indonesia mengaku
khawatir dengan perubahan iklim namun tidak paham atau minim wawasan mengenai
perubahan iklim itu sendiri. Selain itu, lebih menyedihkan lagi, tidak sedikit
dari responden yang mengira bahwa perubahan iklim adalah proses alamiah dari
bumi kita sendiri.
Komitmen Positif dari San
Fransisco Bay Area
San Fransisco Bay Area merupakan wilayah
administrasi yang terdiri dari 9 kabupaten di bawah negara bagian California.
Wilayahnya berada dan berbatasan langsung dengan pantai, sehingga sering disebut
dengan “Bay Area” saja. Daerah ini seperti pengelompokan (aglomerasi) pusat
pembangunan layaknya Jabodetabek di Indonesia. Kabupaten yang ada di dalamnya
terdiri dari Alameda, Contra Costa, Marin, Napa, San Mateo, Santa Clara, Solano,
Sonoma, dan San Fransisco. Total populasi wilayah ini mencapai 7,52 juta jiwa.
Menariknya adalah wilayah ini
menjadi daerah penyangga Amerika Serikat dari segi ketahanan lingkungan. Secara
ekologis, disana sangat kaya akan hutan-hutan alam yang berfungsi menyaring
polusi, serta masih banyak spesies langka yang menjadikannya habitat alami. Iklimnya
sangat kondusif sebagai tempat rekreasi dan refreshing di tengah penatnya
kehidupan pusat ekonomi AS. Namun permasalahan perubahan iklim akibat kehidupan
modern mulai mengintai kehidupan di wilayah ini. Salah satunya karena
penggunaan pemanas ruangan dengan bahan bakar fosil (gas dan minyak). Penggunaan
pemanas ruangan yang masif menjadi penghasil gas karbon dan nitrogen oksida.
Menurut penelitian ilmiah di sana, bangunan-bangunan yang menggunakan pemanas
ruangan tidak ramah lingkungan menghasilkan polusi Nitrogen Oksida (NOx)
delapan kali lebih tinggi dari pada menggunakan sumber listrik.
Mengantisipasi permasalahan yang
kian berdampak buruk, para pemimpin di wilayah Bay Area segera mengambil langkah
visioner berupa penetapan aturan tentang standar kualitas udara dan pembatasan
penggunaan pemanas yang tidak ramah iklim. Ini adalah aturan yang pertama untuk
California. Keinginan pemerintah eksekutif pun didukung penuh oleh Dewan
Legislatif mereka. Secara berangsur-angsur masyarakat harus mengganti pemanas
ruangan mereka dengan sumber listrik ramah lingkungan hingga tahun 2027 nanti. Bagi
masyarakat yang tidak mampu membeli atau mengkonversi alat pemanas mereka, maka
akan diberikan subsidi besar-besaran oleh pemerintah. Kebijakan baru ini
diharapkan dapat mencegah serangan penyakit pernapasan dan berkurangnya tingkat
kematian di wilayah Bay Area. Udara dalam rumah pun lebih lebih sehat dan segar
untuk dihirup.
https://www.spur.org/news/2024-03-05/affordable-transition-zero-pollution-climate-friendly-homes-bay-area |
Ada sekitar 585 ribu rumah tangga
di Bay Area yang dianggap berpenghasilan rendah, 40 persen-nya adalah pemilik
rumah, sementara 60 persen-nya adalah penyewa rumah. Transisi penggunaan pemanas
yang lebih ramah lingkungan didukung oleh perusahaan listrik negara mereka yang
berkomitmen untuk mengatur ulang tarif dasar listrik bagi mereka yang
berpenghasilan rendah. Jadi, selain pemerintah membiayai dari segi subsidi
pengadaan mesin pemanasnya, perusahaan listrik pun mendukung dari segi
penurunan biaya listrik hingga terjangkau oleh semua kalangan.
Kebijakan seperti inilah yang perlu didorong oleh setiap negara lain; kebijakan yang multisektor, multistakeholders, dan terintegrasi satu sama lain. Muara dari kebijakan yang serupa akan membawa kesejahteraan dan kebahagiaan bagi masyarakat, sebab hakikatnya pemerintah menjadi “pelayan” bagi masyarakat. Sehingga masyarakat pun selalu berusaha terlibat dan antusias dalam usaha-usaha membangun bangsa dan negara dari tingkatan terendah.
Bayangkan ketika seorang dokter ditanya mengenai syarat pendukung agar kita bisa menjadi cerdas. Tentu banyak sekali saran yang bisa diberikan. Beberapa dari mereka akan menyarankan untuk selalu menerapkan pola hidup yang sehat. Ada pula yang memberi masukan agar kita mencoba melakukan hal-hal baru yang belum pernah dilakukan sebelumnya, untuk meningkatkan wawasan dan skill. Nah, rasa-rasanya begitu pula perumpamaan yang dialami oleh sebuah kota ketika berkomitmen untuk menerapkan konsep kota cerdas. Kota tersebut seakan harus nampak bersih, sehat, nyaman, berubah (ada pembaruan) secara fisik, dan masyarakatnya pun sejahtera. Ini artinya apa? Ada semacam beban berat yang terkandung dalam istilah “kota cerdas” ini. Konsep yang pada hakikatnya berasal dari ide- ide perusahaan raksasa teknologi dunia barat periode awal 2000-an, agar operasionalisasi sebuah organisasi jauh lebih efektif dan efisien dengan bantuan teknologi. Jikalau pun dalam perkembangannya mengalami banyak sekali variasi terminologi, itu semata karena keinginan banyak pihak untuk mengadopsinya dalam lokus atau wadah yang berbeda saja, termasuk dalam skala perkotaan. Konsep “kota cerdas” yang digaungkan oleh negara-negara Eropa bisa saja sangat tepat sasaran dan baik pula untuk diambil sebagai pelajaran. Perekonomian rerata masyarakat mereka sudah berada di level kesejahteraan yang tinggi. Lantas bagaimana ketika konsep “kota cerdas” itu dibawa dan diterapkan secara masif di negara-negara belahan dunia selatan yang notabene belum selesai dengan berbagai permasalahan kemiskinan dan segala fenomena yang mengikutinya? Ketika sekelompok masyarakat kalangan bawah dijejali dengan seperangkat aturan dan mekanisme top-down yang asing bagi mereka, maka potensi defense-nya besar sekali. Informalitas pun tetap tumbuh subur mengiringi (calon) kota-kota cerdas.
Konsep yang Bersifat Top-Down
Banyak referensi, salah satunya Prasad et al (2023), yang mengungkap tentang betapa top-down-nya sifat dari penerapan konsep “cerdas” pada kota-kota di belahan dunia selatan (lokus penelitian mereka di India). Selain itu, Kominos et al (2019) menilai “kota cerdas” sebagai perencanaan yang parsial, dan mengistilahkannya sebagai “perencanaan tanpa rencana”. Cowley & Caprotti (2019) mengistilahkan komitmen “kota cerdas” bersifat oportunistik dan bukan dari hasil perencanaan yang disengaja. Parahnya lagi, inisiatif “kota cerdas” yang sering ter-fragmentasi membuat semakin dalamnya kesenjangan, baik secara sosial maupun spasial (Prasad et al, 2022). Hasil observasi langsung penulis juga di beberapa kota di Indonesia, seperti di Kota Cirebon, Semarang, dan Magelang; mengarah pada kesimpulan yang sama. Kebijakan untuk penerapan inisiatif “kota cerdas” menjadi semacam amanat langsung dari pemerintah pusat, dengan hanya melalui assessment “kecil-kecilan” berupa kemampuan keuangan daerah dan kesiapan sumber daya alamiahnya, serta didukung sungguh oleh komitmen pimpinan. Apakah inisiatif “kota cerdas” diawali dengan melakukan survei kebutuhan atau kemampuan masyarakat secara menyeluruh (door to door)? Tidak. Apakah komitmen “kota cerdas” menjadikan jumlah minimal penduduk miskin sebagai syarat diterimanya pemerintah daerah sebagai implementator? Tidak. Apakah dengan berinisiatif ikut program “kota cerdas” akan mendatangkan bantuan lebih banyak dari pemerintah pusat untuk membebaskan kemiskinan? Tidak juga. Jadi, tidak mengherankan ketika banyak sekali ditemukan ketidaksesuaian antara harapan dan realita di tengah- tengah masyarakat ketika implementasi dijalankan. Watson (2009) mengingatkan dengan tegas terhadap pandangan-pandangan elitis dari norma perencanaan masa kini yang cenderung mengabaikan tuntutan masyarakat miskin perkotaan, sehingga memaksa mereka melanggar aturan dan hukum yang berlaku.
Berkaca dari Informalitas di India
India memiliki persentase populasi yang sangat signifikan untuk belahan dunia selatan. Negara ini setidaknya terdiri dari 1,4 miliar penduduk menurut World Population Review 2020. Sejak tahun 2015 mereka telah menggagas Program 100 Kota Cerdas (Smart Cities Mission) untuk jangka waktu 5 tahun. Negara dengan kiblat perencanaan Neo-kolonial dan Pro-Barat yang menjadi salah satu pusat peradaban tertua dunia, pergeseran menuju asas-asas smart cities pasti sangat mengagetkan, terlebihdi kalangan masyarakatnya sendiri. Upaya mereka untuk lebih inklusif diterapkan dengan dua cara, yaitu pembangunan infrastruktur fisik dasar (air minum, sanitasi, listrik, dan transportasi, dan sebagainya), serta solusi “cerdas” seperti digitalisasi pemerintahan, memperkuat koneksi internet, dan semacamnya. Namun semakin kuat usaha pemerintah untuk mem-branding diri sebagai “kota cerdas”, beberapa realitas anti-klimaks makin bermunculan ke permukaan. Masyarakat yang berpikir kritis (cenderung ke arah kebingungan) mulai bertanya tentang 3 domain utama “kota cerdas”: siapa saja yang boleh mendapatkan perumahan yang terjangkau? Siapa pengguna bebas layanan infrastruktur? Warga dengan kriteria seperti apa yang ingin dilibatkan dalam konsep “kota cerdas”? Pada muaranya, pertanyaan lebih menohok lagi. Sebenarnya “kota cerdas” itu dimunculkan untuk siapa?
Halloo! Assalamualaikum warahmatullahi wabarakaatuh. Terima kasih sudah
jadi pembaca setia blog pribadi saya. Blog ini baru terbentuk selama setahun,
dan ini merupakan tulisan spesial edisi ulang tahun pertama. Pada bagian ini
saya ingin lebih merefleksikan apa saja yang telah saya capai dan lalui,
terutama terkait dengan keahlian saya, sekaligus sebagai cara saya
memperkenalkan diri lebih detail kepada para pembaca.
Nama lengkap saya Faqih Ashri. Saya lahir di Kota Bima di tahun 1990.
Sampai saat ini saya masih setia berdomisili di kota kelahiran, walaupun
beberapa tahun lamanya saya menghabiskan waktu di daerah rantauan untuk
menuntut ilmu dan mencari pengalaman.
Background pendidikan saya adalah Teknik Perencanaan Wilayah dan Kota. S1-nya saya kuliah di Universitas Brawijaya Malang. S2-nya saya di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Saya begitu mencintai dunia perencanaan kota, bahkan jauh sebelum lulus dari bangku sekolah. Hampir tidak ada niat lain dalam hati untuk melanjutkan ke jurusan lain. Singkatnya, saya selalu dimudahkan untuk melalui ujian nasional masuk perguruan tinggi impian berkat niat yang kuat serta doa dari kedua orang tua.
Saya saat ini bekerja sebagai PNS pada Dinas PUPR Kota Bima. Saya
bergabung di pemerintah daerah sejak Maret 2019, melalui seleksi yang sangat
ketat. Sebelumnya saya sempat bekerja di salah satu Bank BUMN selama 4 tahun. Dua
tahun bekerja sebagai banker, saya langsung menikahi gadis pilihan saya di pertengahan
tahun 2016. Kini, kami telah dikaruniai dua orang jagoan dari hasil pernikahan itu.
Namun, penghasilan yang besar tidak lantas membuat saya nyaman bekerja. Idealisme
tentang penerapan ilmu perencanaan kota yang nihil membuat saya kerap merencanakan
untuk resign (keluar) dari bank. Akhirnya harapan itu menjadi kenyataan
di tahun 2018. Saya mengikuti seleksi CPNS dan berhasil mendapatkan peringkat
pertama dari hanya satu yang dibutuhkan, menyisihkan ratusan peminat pada
formasi yang saya tuju, yaitu analis pengembangan infrastruktur. Disinilah
kemudian saya menemukan jati diri yang sesungguhnya.
Sejak usia sekolah saya sudah berkeinginan berkontribusi memajukan
daerah kelahiran. Bergabung di pemerintahan adalah sebagian dari mimpi yang
menjadi kenyataan. Rasa syukur itu saya wujudkan dalam bentuk upaya
mengembangkan diri dan tidak ingin berada di zona nyaman.
Saya suka bertemu dengan banyak orang, mendengarkan persepsi mereka, sehingga
dapat menganalisa bentuk-bentuk pola pikir manusia yang beragam. Saya tergabung
dalam organisasi profesi Ikatan Ahli Perencana (IAP) NTB dan memegang
sertifikasi perencana ahli muda. Hobi saya membaca dan menulis. Saya aktif
menulis opini tentang isu-isu pembangunan perkotaan melalui koran nasional,
koran lokal, blog pribadi, hingga personal media sosial.
Tahun pertama sebagai ASN, saya langsung mewakili dinas dalam ajang
inovasi dan teknologi tepat guna. Inovasi tersebut berupa penggunaan Sistem Informasi
Geospasial berbasis partisipasi partisipasi masyarakat guna mendeteksi dan
memetakan secara dini kebocoran pipa air minum di sekitar tempat tinggal
masyarakat. Inovasi ini berhasil menjadi runner-up di tingkat kota, walaupun
belum berhasil menembus hingga ke level nasional.
Tahun kedua mengabdi, saya memutuskan untuk mengikuti seleksi beasiswa
Magister dari Bappenas. Dan saya berhasil
menjadi lulusan tercepat dengan hanya 1 tahun 4 bulan dan berpredikat cumlaude.
Tesis saya tentang kerja sama pariwisata regional antara Kab. Magelang dan Kab.
Kulon Progo pun diakui serta digunakan oleh kedua pemerintah daerah sebagai
input dalam program dan kebijakan lanjutan mereka. Dan artikel jurnalnya saya
presentasikan dalam seminar internasional kala itu. Di kampus pascasarjana,
saya tidak hanya belajar. Saya aktif mengikuti lomba-lomba yang diadakan pihak
ekternal untuk mewakili kampus. Saya juga aktif bergabung dalam setiap kegiatan
UKM sepakbola pascasarjana dengan mengikuti setiap Latihan dan pertandingan melawan
tim-tim dari luar kampus.
Perlu digarisbawahi juga, jauh sebelum meninggalkan kota untuk tugas
belajar dari kantor, saya terlebih dahulu membimbing dan mengajari rekan kerja
CPNS yang baru bergabung tentang semua pekerjaan yang selama ini biasa saya handle.
Ini adalah sebuah komitmen knowledge transfer
yang saya lakukan agar urusan dinas tetap bisa berjalan lancar walaupun
dengan orang yang berbeda.
Sepulang dari tugas belajar, saya dibantu rekan satu ruangan, kembali
mewakili Kota Bima untuk mengikuti kompetisi inovasi (SINOVIK) dari
KemenPAN-RB. Inovasi kedua ini berupa upaya merevitalisasi aksi sedot tinja
untuk menggenjot Pendapatan Asli Daerah (PAD). Kami berhasil masuk nominasi TOP
99 Nasional menyisihkan ribuan pesaing lain melalui proposal inovasi tersebut.
Selain mengikuti lomba, saya juga membantu 6 orang rekan kerja di bidang
saya untuk mengikuti uji kompetensi perpindahan dari jabatan pelaksana menjadi
jabatan fungsional, mulai dari mencari informasi awal ke kementerian, mengurus
syarat-syaratnya, hingga pelaksanaan uji kompetensinya. Saya dan 6 orang rekan
tersebut akhirnya berhasil lulus dengan meyakinkan tepat di tahun terakhir
kebijakan perpindahan jabatan.
Kini dan kedepannya saya sangat fokus mengembangkan diri, menjalankan
pekerjaan sebagai hobi, serta paling utama adalah untuk terus menjaga dan
memperkaya data perencanaan dan pembangunan kota, baik dalam bentuk struktural
maupun spasial. Karena data adalah unsur paling pentin dalam arah pembangunan
daerah yang tepat guna dan berhasil guna.
Terima kasih sudah membaca sampai akhir. Jangan lupa follow blog ini
untuk mendapatkan update tulisan terbaru dari saya. Sehat dan sukses untuk kita
semua!
Sumber Foto: Kahaba.net |
Romantisme kenangan itu kini bagai hilang ditelan
bumi. Angkot-angkot “mewah” dan meriah itu sudah tak pernah nampak di jalanan
kota kami. Ya, kota kecil kami setidaknya hanya memiliki angkot dan bus
konvensional sebagai angkutan umum andalan di darat. Tidak ada yang namanya kereta
api, trem, atau bahkan jalur khusus “busway”. Transportasi tradisional serupa
delman yang kami sebut “benhur” pun nyaris hilang bersama dengan hilangnya angkot.
Ruas-ruas jalan dipenuhi dengan angkutan-angkutan pribadi, baik roda dua maupun
roda empat. Kota kami berubah menjadi kota konsumtif. Kota kami menjelma
menjadi pangsa pasar potensial bagi segala macam kendaraan pribadi keluaran
terbaru. Selalu muncul orang-orang kaya baru yang entah dengan cara apa mereka
bisa memiliki kendaraan-kendaraan baru yang bahkan belum sempat terbayangkan modelnya.
Bayangkan kendaraan beragam bentuk itu berlalu lalang di daerah yang batas dari
ujung ke ujungnya tidak sampai 20 kilometer. Daerah yang sangat mungil, namun
gaya hidup orang-orangnya semakin membesar.
Arah Angin Berubah Drastis
Lantas apa yang membuat roda nasib itu berputar sedemikian cepatnya bagi angkutan umum? Era modern membawa berbagai perubahan yang belum sempat terpikirkan oleh para pemain-pemain bisnis lama yang tengah menikmati masa jayanya. Kebiasaan menggunakan transportasi umum tiba-tiba berubah menjadi tidak bergengsi lagi. Hal ini berlangsung seiring dengan kualitas kendaraan yang menurun, harga tiket yang meningkat, dan isu kenyamanan serta keamanan yang mengancam. Kualitas kendaraan yang menurun ditandai dengan semakin seringnya mogok dan kecepatan yang berkurang. Isu kejahatan di atas kendaraan yang semakin kencang berhembus sangat menurunkan minat pengguna untuk kembali menggunakan moda transportasi umum. Beberapa hal lain yang ditengarai menjadi penyebab ditingalkannya kendaraan umum secara masif, yaitu:
- Perkembangan Teknologi
- Persaingan dengan Kendaraan Pribadi
- Infrastruktur yang Kurang Memadai
- Sulitnya Merubah Kebiasaan yang Mulai Membudaya
Semua kenyataan yang harus dihadapi oleh angkutan umum itu, membawa saya pada bayangan tentang jurang kehancuran yang dihadapi oleh raksasa teknologi bernama NOKIA. Dahulu, di masa kejayaannya, hampir setiap orang di dunia mengenal dan menggunakannya. Namun alur nasib yang tak terduga membawanya pada kenyataan yang sama sekali tak terbayangkan. Orang-orang mulai berangsur melupakan namanya, sekuat apa pun dirinya mencoba untuk bertahan. Bahwa inovasi dan teknologi harus terus berlangsung, agar terus bertahan dalam dunia yang penuh perubahan tak berujung.
Pengantar
Riverfront city, atau kota di pinggir sungai, merupakan sebuah konsep perencanaan kota yang mengarah pada pemanfaatan potensi luar biasa yang dimiliki oleh aliran sungai untuk membangun kawasan kota yang berkelanjutan, ramah lingkungan, dan menarik bagi penduduk maupun para pengunjung. Banyak sekali potensi terpendam yang dimiliki oleh sungai. Aliran sungainya sendiri dapat dimanfaatkan sebagai “sirkuit” bagi moda transportasi air yang sangat berkelanjutan, bisa menjadi sarana atraksi dan rekreasi. Sementara tepi sungainya memiliki daya tarik unik yang dapat dimanfaatkan untuk menciptakan ruang terbuka publik, membangun fasilitas rekreasi, wadah ekpresi diri, dan masih banyak lagi. Bayangkan, saat ini kita selalu mencari-cari sarana atraksi seperti “arum-jeram” di berbagai kota yang sudah terkenal, namun kita lupa akan kondisi sungai-sungai di daerah sendiri. Betapa berpotensinya ketika sungai kita direvitalisasi.
Tepi sungai sebenarnya merupakan
aset berharga yang sering kali terabaikan dalam perencanaan kota. Padahal
sungai dapat menjadi pusat kehidupan urban,
menghubungkan berbagai area dalam kota, dan menawarkan suasana yang unik. Ruang
terbuka di tepi sungai memberikan kesempatan bagi penduduk untuk bersantai,
berolahraga, berinteraksi, dan merasakan suasana alami tanpa harus meninggalkan
kota. Betapa indahnya suasana kota yang di dalamnya mengalir sungai-sungai
bersih nan asri, kemudian sungai-sungai itu menjadi prioritas dalam
penggunaannya dalam hampir setiap denyut aktivitas penduduk, tidak hanya
menjadi “bagian belakang” rumah yang terabaikan
Beragam Manfaat Penerapan Konsep
River-Front City
Salah satu manfaat utama yang
bisa dirasakan dalam mengembangkan riverfront
city adalah dari sisi lingkungannya. Konsep ini mengamanatkan untuk menjaga
dan meningkatkan kualitas ekosistem sungai. Langkah-langkah yang biasanya
mengiringinya antara lain berupa penanaman vegetasi alami, pembuatan jalur
hijau, dan pelestarian habitat satwa liar. Itu semua menjadi langkah penting
dalam menjaga keseimbangan ekologis. Selain itu, program-program di permukiman
juga mau-tidak mau juga harus diintegrasikan dengan sungai, seperti program
pengelolaan air dan sanitasi. Tidak mungkin kita mengadakan program sanitasi,
namun pipa pembuangannya masih dialirkan ke sungai, kan? Pipanya tetap harus
bermuara pada tangki septik yang sehat dan bersertifikasi. Begitu pula dengan
program air bersih. Tidak mungkin kita membiarkan masyarakat masih menggunakan
air sungai untuk mencuci, mandi, dan minum. Sumber air murni dari pegunungan
harus dialirkan ke rumah-rumah penduduk dengan lancar dan higenis.
Konsep Riverfront city dapat mengaktifkan penggunaan transportasi air,
yang tidak hanya dapat mengurangi kemacetan dan polusi udara, tetapi juga
memberikan pengalaman unik dalam berpergian di dalam kota. Pemerintah daerah
setempat perlu merencanakan pelabuhan penumpang dan pengembangan jalur air yang
efisien, sehingga tercipta integrasi moda angkutan sungai dari hulu ke hilir.
Selain itu, jalur menepi ke bibir sungai juga harus dipastikan banyak tersedia,
sehingga penduduk dapat dengan mudah menikmati fasilitas dan ruang terbuka yang
disediakan di tepi sungai.
Rambu Perencanaan Berkelanjutan dan Partisipasi Masyarakat
Menerapkan konsep Riverfront City pada kota-kota di
Indonesia memiliki potensi besar untuk membawa perubahan positif dalam
perencanaan perkotaan, lingkungan hidup, serta kualitas hidup masyarakat.
Namun, ada beberapa faktor yang perlu diperhatikan dan dipertimbangkan dengan
cermat ketika mengadopsi konsep ini ke dalam konteks Indonesia. Sebab kita di
Indonesia memiliki karakter khas, baik perkotaannya maupun masyarakat yang berinteraksi
di dalamnya.
1. Keanekaragaman
Budaya dan Karakter Kota
Indonesia
memiliki keanekaragaman budaya dan karakter kota yang khas. Saat menerapkan
konsep Riverfront City, penting untuk
mempertimbangkan identitas budaya, sejarah, dan ciri khas setiap kota dalam
kontek lokalitas. Pengembangan yang menghormati dan memadukan elemen-elemen
budaya setempat akan menciptakan ruang yang lebih autentik dan terkoneksi
dengan masyarakat. Sehingga setiap daerah memiliki sesuatu yang memorable bagi pengunjung, serta makin
dicintai dan dijaga oleh masyarakat setempat.
2. Masalah Lingkungan dan Konservasi
Beberapa kota di Indonesia menghadapi masalah lingkungan yang serius, seperti pencemaran sungai, kekeringan, bahkan banjir. Ketersediaan air menjadi kata kunci dalam keberlanjutan sebuah kota. Konsep Riverfront City harus menyertakan solusi yang mendukung konservasi alam dan menjaga kualitas air. Sehingga ketika kekeringan masyarakat tetap memiliki cadangan sumber air, sementara ketika air hujan berlebih pun tidak menyebabkan permasalahan banjir. Pengelolaan air yang bijaksana dan perawatan ekosistem sungai pasti menjadi elemen penting dalam implementasi konsep ini.
3. Partisipasi Masyarakat
Pentingnya partisipasi masyarakat dalam perencanaan dan pengembangan riverfront city tidak boleh diabaikan. Melibatkan penduduk sejak awal dapat menghasilkan solusi yang lebih baik, mengatasi masalah yang ada, dan memastikan bahwa proyek tersebut sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi komunitas. Partisipasi masyarakat adalah kunci dalam pengembangan Riverfront City yang sukses di Indonesia. Melibatkan penduduk sejak awal perencanaan akan membantu dalam mengidentifikasi kebutuhan lokal, serta mengurangi potensi konflik atau penolakan terhadap proyek. Masyarakat tradisional yang telah berpuluh-puluh tahun hidup di sekitar bantaran sungai umumnya memiliki imunitas yang tinggi terhadap rencana revolusioner untuk mengelola pesisis sungai. Pemerintah harus memastikan bahwa penduduk memiliki suara dalam pengambilan keputusan dan memahami manfaat yang akan diperoleh, sehingga masyarakat semakin merasa memiliki, bukan malah skeptis dan membenci pembangunan.
Riverfront City tidak hanya menciptakan ruang publik yang indah sebagai wadahh interaksi masyarakat, tetapi juga berpotensi untuk meningkatkan ekonomi lokal dan memberikan dampak sosial yang positif. Pengembangan ussaha komersial dan peningkatan sektor pariwisata dapat menjadi sumber pendapatan baru bagi kota serta memberikan lapangan pekerjaan bagi penduduk.
4. Pengembangan Infrastruktur dan Aksesibilitas
Indonesia memiliki
tantangan dalam infrastruktur dan aksesibilitas, sebab negara kepulauan dengan
pulau yang sangat banyak. Konsep Riverfront
City harus mencakup rencana untuk infrastruktur transportasi yang
mendukung, seperti jalur pejalan kaki, sepeda, dan transportasi air. Percuma
jika jalur transportasi sungai dan infrastruktur sudah dibangun, namun tidak
digunakan, hanya karena pembangunan dilakukan secara parsial. Pengembangan Riverfront
City ini harus mengintegrasikan kebutuhan penduduk dan dapat melayani seluruh
lapisan masyarakat dengan inklusif.
Keberhasilan Detroit Sebagai River-Front
City
Selama beberapa dekade, tepi
sungai Detroit ditandai dengan kumpulan bangunan-bangunan industri yang sudah
tidak terawat, area parkir, dan akses publik yang terbatas. Pada tahun 2003,
kolaborasi antara Kresge Foundation,
Kota Detroit, dan General Motors menyebabkan pembentukan DRFC dengan tujuan
menciptakan jalur pejalan kaki yang ramah bagi pejalan kaki di tepi sungai.
Melalui investasi $25 juta dari General
Motors dan hibah $50 juta yang luar biasa dari Kresge Foundation, DRFC berhasil mengubah lima setengah mil tepi
sungai menjadi ruang yang dipenuhi dengan taman, lapangan, dan area hijau yang
ramah bagi pejalan kaki.
Keberhasilan DRFC adalah bukti dari kekuatan
kolaborasi lintas sektor dan upaya sustainability
dana jangka panjang. Lebih dari $1 miliar dana yang berhasil dihimpun pada
tahun 2013, dan lebih dari $200 juta yang diinvestasikan untuk memulihkan Tepi
Sungai Detroit pada tahun 2023. Prestasi yang sungguh mengesankan. Komitmen
dari organisasi filantropi, sponsor perusahaan, dan entitas publik memainkan
peran penting dalam mewujudkan visi menjadi kenyataan. Keberhasilan DRFC
didukung oleh komitmen untuk berkolaborasi lintas sektor. Sebuah visi bersama
dan perjanjian membentuk dasar bagi para pemangku kepentingan untuk
bersama-sama mengubah tepi sungai.
Kesuksesan pemulihan tepi sungai
Detroit sulit dibayangkan tanpa investasi besar awal dari General Motors dan
Kresge Foundation. Investasi tersebut menunjukkan komitmen yang menarik
investor lain. Investasi besar serupa diperlukan untuk mengubah Taman Sungai
Guadalupe. Investasi bertahap mungkin tidak cukup untuk membawa perbaikan
signifikan pada taman sebesar dan sesulit Taman Sungai Guadalupe. Prioritas
dari kelompok pemangku kepentingan yang diusulkan seharusnya adalah mendapatkan
satu atau lebih investasi dalam jumlah jutaan dolar.
Membentuk kelompok pemangku
kepentingan yang luas untuk Taman Sungai Guadalupe dapat memungkinkan taman
tersebut melayani semua pengguna dengan efektif dan inklusif, mengatasi masalah
yang sudah lama ada, seperti masalah gelandangan, dengan mengembangkan strategi
komprehensif yang bermanfaat bagi taman dan pengguna-penggunanya.
Kongklusi