Permasalahan yang selalu membayangi berbagai kebijakan di sektor pertanian adalah kemiskinan petani dan laju pengurangan lahan pertanian. Negara Indonesia sebagai salah satu negara dengan produksi hasil pertanian terbesar di dunia, harusnya menjadi negara dengan tingkat kesejahteraan petani yang tinggi. Namun, pada kenyataannya berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik tahun 2019, diperoleh kenyataan bahwa masih ada 49,41% rumah tangga miskin yang bekerja di sektor pertanian. Hal tersebut tentu menjadi sebuah anomali bagi Indonesia yang dikenal sebagai negara agraris. Selain kondisi ekonomi, kemiskinan sebenarnya sangat berkaitan erat dengan fenomena lingkungan, sosial, serta pemberdayaan. Sen dalam Nanga (2006) mengungkapkan bahwa kondisi miskin tidak boleh hanya dilihat sebagai pendapatan yang rendah, tetapi juga tidak mampu secara kapabilitas.
Berbicara tentang pertanian, tentu tidak lepas dari topik tentang pedesaan. Sebab desa menjadi entitas ruang yang menjadi ujung tombak sektor pertanian negara ini. Desa telah terbukti menjadi skala terkecil yang lebih resisten terhadap fluktuasi ekonomi. Selain itu, budaya masyarakat desa yang masih mempertahankan mata pencaharian sebagai petani, serta laju konversi lahan yang lebih rendah dari kawasan perkotaan, membuatnya menjadi lokus ideal pertanian. Realitanya, masa depan pertanian di desa masih sangat perlu diberikan kejelasan dalam hal kesejahteraan. Warga di desa yang bekerja sebagai petani/buruh tani masih masih bergulat dengan kondisi kemiskinan (Warto, 2015). Salah satu faktor yang berperan dalam hal ini adalah yaitu Nilai Tukar Petani (NTP), tingkat upah, level inflasi, serta pendapatan perkapita (Habibullah, 2020). NTP diartikan sebagai perbandingan antara indeks harga untuk petani (It) dengan indeks harga yang dikeluarkan oleh petani (Ib) yang dinyatakan dalam persentase (BPS, 2019).
Para petani di desa terus dihinggapi dengan ketidakpastian dan
ketidakadilan dalam usaha mereka menghidupi keluarga. Sistem yang berjalan
selama ini belum benar-benar berpihak kepada petani. Seperti yang kita ketahui,
petani di desa umumnya terdiri dari petani pemilik sawah, petani penggarap
sawah, dan buruh tani. Petani pemilik sawah masih cukup beruntung, karena
mereka menggarap sawah yang memang milik mereka sendiri. Sementara petani
penggarap hanya orang yang dititipkan lahan sawah oleh orang lain atau keluarganya untuk
digarap dengan kesepakatan bagi hasil di akhir. Buruh tani lebih parah lagi.
Mereka dalam keseharian hanya bekerja tergantung panggilan (kebutuhan) dari
pemilik tanah di saat-saat tertentu dengan imbalan bayaran harian. Kesejahteraan
dari ketiga tipe petani dalam sebuah desa ini perlu diusahakan bersama, karena
pun secara global dan nasional sudah banyak kebijakan-kebijakan yang dihasilkan
untuk mendukung kesejahteraan para petani, sebut saja United Nation Decade
of Family Farming (PBB), Komando Strategis Pembangunan Pertanian, dan Desa
Mandiri Pangan. Sayangnya, menurut saya, sampai saat ini berbagai kebijakan dan
perhatian tersebut belum memenuhi hasil yang diinginkan bersama.
Salah satu yang menjadi fokus permasalahan pelik yang selama ini belum terpecahkan adalah pada alur distirbusi (pemasaran) beras. Petani selalu mendapatkan margin yang paling kecil karena terlampau panjangnya proses yang harus dilalui dari produsen hingga ke konsumen. Oleh karena itu, perlu dirumuskan kembali alur pemasaran lebih efektif dan diharapkan bisa memberikan benefit yang lebih besar kepada keluarga petani, sehingga pada akhirnya bermuara pada peningkatan kesejahteraan para petani di setiap desa. Saya mencoba menawarkan sebuah skema yang dapat diterapkan, sebagai berikut.
Alur Distribusi Produk Pertanian (Sumber: Penulis, 2022) |
Pada lingkup administrasi kecamatan terdapat beberapa desa. Setiap
lahan pertanian yang ada di setiap desa ditentukan terlebih dahulu sebagai
lahan pertanian abadi melalui kebijakan yang diambil oleh seorang kepala
daerah, misalnya LP2D (Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan). Pembuatan
kebijakan mengenai lahan pertanian abadi ini sangat penting agar segera
membatasi penyempitan lahan pertanian dari tahun ke tahun oleh karena konversi
lahan pertanian yang sangat masif. Penentuan lahan pertanian abadi ini dapat
dikolaborasikan dengan metode Kerangka Sampel Area (KSA) dari Badan Pusat Statistik. Metode KSA ini
dapat menghitung dengan detail persentasi luas lahan tanam serta produksi di skala
kecamatan dengan menggunakan alat penginderaan jauh dan metode pemetaan Geographic Information System (GIS).
Setelah menyiapkan kebijakan yang mendukung, maka pada alur
selanjutnya petani desa menjadi titik fokus pertama sebagai produsen. Petani
desa yang terdiri dari petani yang sekaligus pemilik lahan, petani yang
diamanahi untuk mengurus sebidang atau lebih lahan sawah, dan buruh tani. Sejak
awal ketiganya ini didampingi oleh Personil Kostratani. Petani pemilik dan
petani penggarap fokus untuk memaksimalkan hasil panen yang tertanam di petak
sawahnya masing-masing. Sementara buruh tani diberikan bantuan berupa wadah
penanaman dan juga bibitnya di pekarangan rumah. Harapannya, ada nilai tambah
yang mereka dapatkan selain dari upah menjadi buruh tani. Fasilitasi yang
dilakukan oleh pendamping Kostratani berkaitan dengan pendataan potensi dan permasalahan
lahan pertanian di desa, kelembagaan petani, alokasi anggaran, dan
pemberdayaan.
Padi yang dihasilkan oleh para petani kemudian diteruskan kepada kelompok
UMKM desa setempat. Padi yang didapatkan dari petani, oleh UMKM diolah menjadi
dua macam produk, yaitu beras murni dan produk olahan dari beras. Keduanya
dipasarkan oleh UMKM melalui BUMDES. Setelah mendapatkan harga yang pas dari
BUMDES, maka hasil penjualan yang diperoleh dari BUMDES akan diterima dan
dibagikan oleh UMKM desa kepada para Petani desa. Sementara BUMDES bertugas
untuk menjaring pangsa pasar seluas mungkin untuk menjadi target market.
Pola keberpihakan sederhana seperti ini diharapkan bisa langsung menyentuh kebutuhan nyata dari keluarga-keluarga petani di desa, di tengah keraguan kita pada pemerintah pusat yang lebih mendorong program strategis nasional lain seperti Food Estate. Konsep yang menurut saya semakin menjauhkan keberpihakan pada konsep pertanian keluarga, karena lebih mengarah pada korporasi skala besar. Semoga ke depannya petani tetap diprioritaskan sebagai kelompok masyarakat yang selama ini "menghidupi" kota walau api di dapurnya sendiri jarang "hidup" dan mengepul.
Terima kasih telah membaca hingga selesai. Silahkan tinggalkan komentar pada kolom di bawah ini untuk sekedar berdiskusi atau "say hello". Jika Anda tertarik dengan topik-topik tulisan mengenai perkotaan, follow blog ini untuk terus mendapatkan update notifikasi ketika ada tulisan baru dari saya. Sehat dan sukses selalu buat Anda.
REFERENSI:
Anggriawan, Indrawati Toti. (2013).
Peranan Komoditi Gambir Terhadap Perekonomian Kabupaten Lima Puluh Kota
Provinsi Sumatera Barat. Jakarta : Jurnal Ekonomi.
Badan Pusat Statistik. (2021). Berita
Statistik Resmi. Jakarta : diakses tanggal 22 Oktober 2021.
Edhy, Sarwo. (2020) Kementan :
Pesatnya Laju Konvesi Lahan Ancam Ketahanan Pangan Nasional.Kompas.com.
2021 Perserikatan Bangsa-Bangsa .(2019). UN Decade of Family Farming (2019-2028)
diakses tanggal 22 Oktober 2021.
Republik Indoensia. Peraturan
Menteri Pertanian Nomor 49 Tahun 2019 tentang Komando Strategis Pembangunan
Pertanian. Diakses 23 Oktober 2021
Republik Indoensia. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa
Mandiri Pangan. Diakses 23 Oktober 2021.
Susilowati, S.H. (2016). Fenomena
penuaan petani dan berkurangnya tenaga kerja muda Serta implikasinya bagi kebijakan pembangunan
pertanian. Bogor : Forum Penelitian Agro Ekonomi, 35-55.
Tirtosudarmo, Riwanto. (2010).
Mencari Indonesia: Batas-batas rekayasa sosial. Jakarta : LIPI Press.
Tulus H. Tambunan. (2001). Perekonomian Indonesia. Jakarta : Penerbit Ghalia.
Warto. (2015). Kondisi Kemiskinan Petani dan Upaya Penanggulangannya. Jurnal PKS, 14(1), Hal. 20 – 29.
0 Komentar: