Note:

Sudut Pandang Tentang Perkotaan, Perdesaan, Kewilayahan, dan Segala Dinamika Keruangan yang ada di antaranya.

Peduli

(Disclaimer: Bukan Ahli, Hanya Mencoba Untuk Lebih Peduli)

Mengenai Saya

Foto saya
Father of Two Beloved Son|| Bureaucrat|| Urban and Regional Planner (Master Candidate)|| Content Writer|| Content Creator|| Reading Holic|| Obsesive, Visioner, and Melankolis Man||

Cita Rasa Baru di Kawasan Malioboro Yogyakarta

By | Leave a Comment

 


Saya baru saja selesai memarkir mobil di sebuah tempat parkir khusus sekitar Kawasan Malioboro, tempat yang selalu diidentikkan dengan Kota Yogyakarta. Belum lengkap rasanya jika kita harus ke Yogyakarta tanpa datang ke Malioboro. Kawasan ini merupakan pusat perbelanjaan dan kuliner, semacam "kota tua"-nya di sini, yang membentang sekitar 2 kilometer sepanjang ruas jalan. Saya sendiri datang ke Yogyakarta untuk melanjutkan kuliah magister dengan pembiayaan dari beasiswa kementerian pusat. Baru satu bulan kami di sini. Saya membawa serta anak dan istri. Tidak tenang rasanya jika harus tinggal berjauhan dengan mereka.

Sebulan ini, sudah beberapa kali saya berkunjung ke Malioboro. Di sela kesibukan kuliah, saya menyempatkan diri mengantar istri yang berbelanja barang pesanan orang di kampung kami. Kalau istilah kerennya, jastip (jasa titipan). Istri saya akan menjual jasa membelanjakan apa pun yang diminta oleh kenalan di kampung kami. Nanti uangnya akan ditransfer beserta dengan imbalan jasa sesuai kesepakatan. Tidak seberapa sih sebenarnya, tapi karena istri saya hobinya belanja (sebagian besar wanita, mungkin), akhirnya tetap dilakoni dengan bahagia.

Pertama kali datang sebulan yang lalu, tidak ada yang berubah. Wajah Malioboro masih nyaris sama dengan kondisinya sepuluh tahun silam. Saat itu, saya datang kesini untuk berlibur. Deretan bangunan-bangunan pertokoan tua di sisi kiri-kanan jalan. Pedestrian yang sangat nyaman bagi pejalan kaki, dilengkapi pula dengan bangku-bangku desain klasik. Setiap terasnya dipenuhi oleh para pedagang kaki lima (PKL) yang berjualan komoditas pakaian dan kuliner yang hampir sama. Jika sedang ramai, pengunjung yang berjalan di selasar pertokoan akan saling berdesakan. Jumlah pedagang kaki lima (PKL) yang banyak, ditambah dengan gelaran lapak mereka yang memakan tempat, menjelma menjadi "hambatan samping" bagi pejalan kaki (pengunjung).

Kondisi ini belum lagi diperparah dengan semakin meningkatnya pergerakan kendaraan bermotor yang masuk ke arah Jalan Malioboro. Dinas Perhubungan dan otoritas setempat akhirnya harus berjibaku melakukan rekayasa lalu lintas dalam rangka membatasi akses masuk kesana. Kantung-kantung parkir dibuat sedemikian rupa untuk berada diluar dari titik potensi kemacetan. Lantas apa yang saya saksikan sekarang sangat berbeda, terutama dari sisi penataan pedagang kaki lima-nya. Ajaibnya, saya dan istri saya berjalan di selasar pertokoan di Malioboro tanpa hambatan sedikit pun. Sudah tidak ada para PKL disitu. Jalanan lengang, tidak ada lapak-lapak jualan. Hanya ada kami sesama pengunjung yang berjalan disitu. Berjalan disitu seperti lega sekali, tidak biasanya. Akhirnya kami diarahkan oleh seorang bapak pengayuh becak ke arah sebuah bangunan megah yang agak menjorok ke dalam. Kami pun dengan antusias melangkahkan kaki kesana. Termasuk kedua anak saya. 

Romantisme Sejarah

Menurut referensi yang ada pada situs perpustakaan Yogyakarta, Malioboro berasal dari kata Sansekerta: 'Malyabhara' (Malya artinya bunga, Bhara artinya mengenakan). Sumber lain juga mengisahkan bahwa Malioboro berasal dari nama seorang penjajah dari Inggris yang bernama Marlborough yang pernah tinggal di Yogyakarta periode tahun 1811-1816. Jalan ini merupakan salah satu jalan utama yang digunakan untuk tempat penyambutan raja dan para tamunya. Awalnya, suasana di jalan ini sepi, tidak banyak yang tertarik mengunjungi. Setelah Belanda menginisiasinya menjadi pusat Kota Yogyakarta, maka jalan ini berangsur-angsur menjadi ramai. Tujuan Belanda saat itu adalah membentuk pusat kota yang dapat menyaingi popularitas Keraton Yogyakarta di sekitar abad ke sembilan belas. Oleh karena itu, Belanda kemudian membangun juga Benteng Vredeburg, Istana Keresidenan Kolonial, Pasar Beringharjo, Kantor Pos, Javasche Bank, dan Hotel Garuda. Bangunan-bangunan klasik yang didirikan pada masa kolonial ini menjadi saksi betapa bernafsu-nya para penjajah untuk menciptakan kawasan yang dominan demi mempertegas eksistensi. 

Menariknya, Jalan Malioboro didesain untuk menjadi sumbu imaginer yang menghubungkan Pantai Selatan -- Keraton -- Gunung Merapi. Pesatnya perkembangan Malioboro pada masa itu paling dominan dipengaruhi oleh transaksi dagang antara kaum kolonial Belanda dengan etnis Tionghoa. Malioboro bagian selatan pernah menjadi saksi peperangan melawan Belanda yang dikenal dengan Serangan Umum 1 Maret 1949. Pada saat itu pasukan kita berhasil menduduki Yogyakarta selama enam jam. Malioboro hingga kini terus berkembang, tanpa melupakan bentuk dan konsep aslinya di masa lalu. Bangunan-bangunan strategis seperti Kantor Gubernur DIY, Gedung DPRD DIY, Pasar Induk Beringharjo, dan juga Istana Presiden Gedung Agung; semua berada di kawasan ini. Sejak tahun 2016, pemerintah menata tempat parkir diluar jalan Maliboro, sehingga jalan bisa steril dari kemacetan lalu lintas yang semakin padat. Tahun 2022 ini, pemerintah kembali membuat terobosan yang visioner.

"The New" Teras Malioboro

Kami berempat akhirnya melihat bangunan megah itu dari kejauhan. Bagian depannya tertulis jelas dengan komposisi bahasa Jawa Kuno dan diikuti oleh Bahasa Indonesia : "Teras Malioboro". First Impression yang kami dapatkan dari tampak luarnya adalah rapi, kekinian, dan instagramable buat para muda-mudi. Sebelum masuk ke halaman utama, kami dihadang oleh penjaga dari pihak Dinas Perindustrian dan Perdagangan, setidaknya itu yang tertulis pada baliho disitu. Kami dilakukan cek suhu tubuh, masker, dan anjuran mencuci tangan. Sangat bagus menurut saya, untuk ukuran Malioboro yang pengunjungnya serasa tidak pernah ada habisnya. Setelah semua pengecekan selesai, kami beranjak masuk. Dua tembok tinggi di halaman langsung menyajikan pemandangan yang membuat para muda-mudi tentu girang bukan kepalang. Spot foto yang terpampang berupa kalimat-kalimat kekinian menempel di tembok, terbuat dari huruf timbul transparan yang diberi lampu penerang. Salah satu tembok bertuliskan "Jogja, terbuat dari rindu, pulang, dan angkringan", dan di tembok lainnya bertahta kalimat "Bagi setiap orang yang pernah tinggal di Jogja, setiap sudut kota di Jogja itu romantis". Kami pun menyempatkan diri berswafoto di kedua tembok itu.

Penampakan di bagian dalam bangunan itu semakin menarik. Konsep yang ditampilkan serupa dengan apa yang kita saksikan di banyak pusat perbelanjaan besar (mall/supermarket). Kondisinya bersih, tidak kumuh; berkat pengaturan tata letak lapak yang teratur. Sejauh yang saya perhatikan, jumlah lantainya ada tiga. Setiap lantai dihubungkan oleh escalator dan lift, sebagai tanda bangunan ini ramah, bahkan bagi penyandang disabilitas sekali pun. Lapak oleh-oleh khas Jogja berjejer rapi; kaos, pernak-pernik, daster, kain, dan masih banyak lagi. Selasar-selasar di sisi kiri kanan bangunan utama digunakan untuk lapak-lapak kulineran. Tentu semakin rapi dan jauh dari kesan kumuh. Penjual dan pembeli berada pada satu atap bangunan yang sama. Tidak perlu khawatir lagi tentang panas terik dan hujan yang datang diluar bangunan.

Dampak untuk Citra Kawasan

Eksistensi Kawasan Malioboro tentu menyandang "tanggung jawab" yang sangat berat. Fungsinya yang beragam; objek sejarah, objek pemerintahan, objek wisata, sekaligus kawasan konservasi, tentu tidak boleh luput sedetik pun dari perhatian para pemangku kepentingan. Yogyakarta yang dikenal sebagai Kota Pelajar, sudah pasti akan terus mendapat "kiriman" pemuda dari berbagai daerah. Yogyakarta sebagai Kota Wisata Sejarah, sudah barang tentu akan terus mendapat kunjungan wisatawan, baik domestik maupun mancanegara. Yogyakarta sebagai kumpulan dari kawasan konservasi, juga akan terus dihantui oleh fenomena penurunan kualitas lingkungan. Ketika semua kesadaran itu tidak terus dipegang teguh sebagai sebuah lesson learn, maka sangat mudah bagi Yogyakarta untuk kehilangan jati dirinya yang selama ini secara turun temurun dijaga dengan baik.

Langkah-langkah yang telah diambil oleh pemerintah kota maupun provinsi terhadap Kawasan Malioboro, saya rasa sudah tepat. Mulai dari menata lokasi parkir untuk khusus diluar koridor jalan, kemudian kini dilanjutkan lagi dengan penataan Pedagang Kaki Lima (PKL) dengan lokasi yang lebih representatif, serta memunculkan berbagai atraksi wisata di sekitar kawasan. Penataan parkir membuat kemacetan tentu akan berkurang. Penataan PKL juga akan menghilangkan hambatan bagi pejalan kaki di sepanjang selasar. Pada akhirnya, semua itu akan terus mempertahankan citra kawasan yang sudah terbentuk sangat kuat selama ini. Image "sakral" koridor jalan Malioboro sebagai sumbu imaginer tidak akan berkurang value-nya dengan nilai estetika yang tereduksi. 

Para wisawatan pun akan terus dimanjakan dengan konsep walkable city dan juga bike to work-nya. Setiap pojok-pojok Kawasan Malioboro juga tidak akan kehilangan magisnya dalam setiap jepretan kamera pengunjung. Intinya, pemerintah telah jeli melihat tantangan yang semakin berat ke depannya untuk kota se-monumental Yogyakarta. Pembangunan dan penataan dipadukan dengan komitmen keberlanjutan (sustainable city), sehingga ungkapan "Jogjaku, Jogjamu, Jogja Kita Semua" dan "Jogja memang selalu Istimewa"; bisa selalu meresap di dalam dada.


Terima kasih telah membaca hingga selesai. Silahkan tinggalkan komentar pada kolom di bawah ini untuk sekedar berdiskusi atau "say hello". Jika Anda tertarik dengan topik-topik tulisan mengenai perkotaan, follow blog ini untuk terus mendapatkan update notifikasi ketika ada tulisan baru dari saya. Sehat dan sukses selalu buat Anda. 


Konten ini telah tayang sebagai Headline di Kompasiana.com dengan judul "Cita Rasa Baru di Kawasan Malioboro Yogyakarta" tanggal 24 Februari 2022, Kreator: Faqih Ashri.

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda

0 Komentar: