Saya baru saja selesai memarkir mobil di sebuah tempat parkir khusus sekitar Kawasan Malioboro, tempat yang selalu diidentikkan dengan Kota Yogyakarta. Belum lengkap rasanya jika kita harus ke Yogyakarta tanpa datang ke Malioboro. Kawasan ini merupakan pusat perbelanjaan dan kuliner, semacam "kota tua"-nya di sini, yang membentang sekitar 2 kilometer sepanjang ruas jalan. Saya sendiri datang ke Yogyakarta untuk melanjutkan kuliah magister dengan pembiayaan dari beasiswa kementerian pusat. Baru satu bulan kami di sini. Saya membawa serta anak dan istri. Tidak tenang rasanya jika harus tinggal berjauhan dengan mereka.
Sebulan ini, sudah beberapa kali saya berkunjung ke
Malioboro. Di sela kesibukan kuliah, saya menyempatkan diri mengantar istri
yang berbelanja barang pesanan orang di kampung kami. Kalau istilah kerennya, jastip
(jasa titipan). Istri saya akan menjual jasa membelanjakan apa pun yang diminta
oleh kenalan di kampung kami. Nanti uangnya akan ditransfer beserta dengan
imbalan jasa sesuai kesepakatan. Tidak seberapa sih sebenarnya, tapi karena
istri saya hobinya belanja (sebagian besar wanita, mungkin), akhirnya tetap
dilakoni dengan bahagia.
Pertama kali datang sebulan yang lalu, tidak ada yang
berubah. Wajah Malioboro masih nyaris sama dengan kondisinya sepuluh tahun
silam. Saat itu, saya datang kesini untuk berlibur. Deretan bangunan-bangunan
pertokoan tua di sisi kiri-kanan jalan. Pedestrian yang sangat nyaman bagi
pejalan kaki, dilengkapi pula dengan bangku-bangku desain klasik. Setiap
terasnya dipenuhi oleh para pedagang kaki lima (PKL) yang berjualan komoditas
pakaian dan kuliner yang hampir sama. Jika sedang ramai, pengunjung yang
berjalan di selasar pertokoan akan saling berdesakan. Jumlah pedagang kaki lima
(PKL) yang banyak, ditambah dengan gelaran lapak mereka yang memakan tempat,
menjelma menjadi "hambatan samping" bagi pejalan kaki (pengunjung).
Kondisi ini belum lagi diperparah dengan semakin
meningkatnya pergerakan kendaraan bermotor yang masuk ke arah Jalan
Malioboro. Dinas Perhubungan dan otoritas setempat akhirnya harus
berjibaku melakukan rekayasa lalu lintas dalam rangka membatasi akses masuk
kesana. Kantung-kantung parkir dibuat sedemikian rupa untuk berada diluar dari
titik potensi kemacetan. Lantas apa yang saya saksikan sekarang sangat berbeda,
terutama dari sisi penataan pedagang kaki lima-nya. Ajaibnya, saya dan istri
saya berjalan di selasar pertokoan di Malioboro tanpa hambatan sedikit
pun. Sudah tidak ada para PKL disitu. Jalanan lengang, tidak ada
lapak-lapak jualan. Hanya ada kami sesama pengunjung yang berjalan disitu.
Berjalan disitu seperti lega sekali, tidak biasanya. Akhirnya kami diarahkan
oleh seorang bapak pengayuh becak ke arah sebuah bangunan megah yang agak
menjorok ke dalam. Kami pun dengan antusias melangkahkan kaki kesana. Termasuk
kedua anak saya.
Romantisme
Sejarah
Menurut referensi yang ada pada situs perpustakaan
Yogyakarta, Malioboro berasal dari kata Sansekerta: 'Malyabhara' (Malya
artinya bunga, Bhara artinya mengenakan). Sumber lain juga
mengisahkan bahwa Malioboro berasal dari nama seorang penjajah dari Inggris
yang bernama Marlborough yang pernah tinggal di Yogyakarta periode tahun
1811-1816. Jalan ini merupakan salah satu jalan utama yang digunakan untuk
tempat penyambutan raja dan para tamunya. Awalnya, suasana di jalan ini
sepi, tidak banyak yang tertarik mengunjungi. Setelah Belanda menginisiasinya
menjadi pusat Kota Yogyakarta, maka jalan ini berangsur-angsur menjadi ramai.
Tujuan Belanda saat itu adalah membentuk pusat kota yang dapat menyaingi
popularitas Keraton Yogyakarta di sekitar abad ke sembilan belas. Oleh karena
itu, Belanda kemudian membangun juga Benteng Vredeburg, Istana Keresidenan
Kolonial, Pasar Beringharjo, Kantor Pos, Javasche Bank, dan Hotel Garuda.
Bangunan-bangunan klasik yang didirikan pada masa kolonial ini menjadi saksi
betapa bernafsu-nya para penjajah untuk menciptakan kawasan yang dominan demi
mempertegas eksistensi.
Menariknya, Jalan Malioboro didesain untuk menjadi
sumbu imaginer yang menghubungkan Pantai Selatan -- Keraton -- Gunung
Merapi. Pesatnya perkembangan Malioboro pada masa itu paling dominan
dipengaruhi oleh transaksi dagang antara kaum kolonial Belanda dengan etnis
Tionghoa. Malioboro bagian selatan pernah menjadi saksi peperangan melawan
Belanda yang dikenal dengan Serangan Umum 1 Maret 1949. Pada saat itu pasukan
kita berhasil menduduki Yogyakarta selama enam jam. Malioboro hingga kini terus
berkembang, tanpa melupakan bentuk dan konsep aslinya di masa lalu. Bangunan-bangunan
strategis seperti Kantor Gubernur DIY, Gedung DPRD DIY, Pasar Induk
Beringharjo, dan juga Istana Presiden Gedung Agung; semua berada di kawasan
ini. Sejak tahun 2016, pemerintah menata tempat parkir diluar jalan
Maliboro, sehingga jalan bisa steril dari kemacetan lalu lintas yang semakin
padat. Tahun 2022 ini, pemerintah kembali membuat terobosan yang visioner.
"The
New" Teras Malioboro
Kami berempat akhirnya melihat bangunan megah itu dari
kejauhan. Bagian depannya tertulis jelas dengan komposisi bahasa Jawa Kuno dan
diikuti oleh Bahasa Indonesia : "Teras Malioboro". First
Impression yang kami dapatkan dari tampak luarnya adalah rapi,
kekinian, dan instagramable buat para muda-mudi. Sebelum masuk ke halaman
utama, kami dihadang oleh penjaga dari pihak Dinas Perindustrian dan
Perdagangan, setidaknya itu yang tertulis pada baliho disitu. Kami dilakukan
cek suhu tubuh, masker, dan anjuran mencuci tangan. Sangat bagus menurut saya,
untuk ukuran Malioboro yang pengunjungnya serasa tidak pernah ada habisnya.
Setelah semua pengecekan selesai, kami beranjak masuk. Dua tembok tinggi
di halaman langsung menyajikan pemandangan yang membuat para muda-mudi tentu
girang bukan kepalang. Spot foto yang terpampang berupa kalimat-kalimat
kekinian menempel di tembok, terbuat dari huruf timbul transparan yang diberi
lampu penerang. Salah satu tembok bertuliskan "Jogja, terbuat dari
rindu, pulang, dan angkringan", dan di tembok lainnya bertahta kalimat
"Bagi setiap orang yang pernah tinggal di Jogja, setiap sudut kota di
Jogja itu romantis". Kami pun menyempatkan diri berswafoto di kedua
tembok itu.
Penampakan di bagian dalam bangunan itu semakin
menarik. Konsep yang ditampilkan serupa dengan apa yang kita saksikan di banyak
pusat perbelanjaan besar (mall/supermarket). Kondisinya bersih, tidak kumuh;
berkat pengaturan tata letak lapak yang teratur. Sejauh yang saya perhatikan,
jumlah lantainya ada tiga. Setiap lantai dihubungkan oleh escalator dan lift,
sebagai tanda bangunan ini ramah, bahkan bagi penyandang disabilitas sekali
pun. Lapak oleh-oleh khas Jogja berjejer rapi; kaos, pernak-pernik, daster,
kain, dan masih banyak lagi. Selasar-selasar di sisi kiri kanan bangunan
utama digunakan untuk lapak-lapak kulineran. Tentu semakin rapi dan jauh dari
kesan kumuh. Penjual dan pembeli berada pada satu atap bangunan yang sama.
Tidak perlu khawatir lagi tentang panas terik dan hujan yang datang diluar
bangunan.
Dampak
untuk Citra Kawasan
Eksistensi Kawasan Malioboro tentu menyandang
"tanggung jawab" yang sangat berat. Fungsinya yang beragam; objek
sejarah, objek pemerintahan, objek wisata, sekaligus kawasan konservasi, tentu
tidak boleh luput sedetik pun dari perhatian para pemangku kepentingan. Yogyakarta
yang dikenal sebagai Kota Pelajar, sudah pasti akan terus mendapat
"kiriman" pemuda dari berbagai daerah. Yogyakarta sebagai Kota Wisata
Sejarah, sudah barang tentu akan terus mendapat kunjungan wisatawan, baik
domestik maupun mancanegara. Yogyakarta sebagai kumpulan dari kawasan
konservasi, juga akan terus dihantui oleh fenomena penurunan kualitas
lingkungan. Ketika semua kesadaran itu tidak terus dipegang teguh sebagai
sebuah lesson learn, maka sangat mudah bagi Yogyakarta untuk kehilangan
jati dirinya yang selama ini secara turun temurun dijaga dengan baik.
Langkah-langkah yang telah diambil oleh pemerintah kota
maupun provinsi terhadap Kawasan Malioboro, saya rasa sudah tepat. Mulai dari
menata lokasi parkir untuk khusus diluar koridor jalan, kemudian kini
dilanjutkan lagi dengan penataan Pedagang Kaki Lima (PKL) dengan lokasi yang
lebih representatif, serta memunculkan berbagai atraksi wisata di sekitar
kawasan. Penataan parkir membuat kemacetan tentu akan berkurang. Penataan
PKL juga akan menghilangkan hambatan bagi pejalan kaki di sepanjang selasar.
Pada akhirnya, semua itu akan terus mempertahankan citra kawasan yang sudah
terbentuk sangat kuat selama ini. Image "sakral" koridor jalan
Malioboro sebagai sumbu imaginer tidak akan berkurang value-nya
dengan nilai estetika yang tereduksi.
Para wisawatan pun akan terus dimanjakan dengan konsep walkable city dan juga bike to work-nya. Setiap pojok-pojok Kawasan Malioboro juga tidak akan kehilangan magisnya dalam setiap jepretan kamera pengunjung. Intinya, pemerintah telah jeli melihat tantangan yang semakin berat ke depannya untuk kota se-monumental Yogyakarta. Pembangunan dan penataan dipadukan dengan komitmen keberlanjutan (sustainable city), sehingga ungkapan "Jogjaku, Jogjamu, Jogja Kita Semua" dan "Jogja memang selalu Istimewa"; bisa selalu meresap di dalam dada.
Terima kasih telah membaca hingga selesai. Silahkan tinggalkan komentar pada kolom di bawah ini untuk sekedar berdiskusi atau "say hello". Jika Anda tertarik dengan topik-topik tulisan mengenai perkotaan, follow blog ini untuk terus mendapatkan update notifikasi ketika ada tulisan baru dari saya. Sehat dan sukses selalu buat Anda.
Konten ini telah tayang sebagai Headline di Kompasiana.com dengan judul "Cita Rasa Baru di Kawasan Malioboro Yogyakarta" tanggal 24 Februari 2022, Kreator: Faqih Ashri.
0 Komentar: