![]() |
Sumber Foto: Tangkapan Layar Instagram @Nyoman_Nuarta |
Tidak
dapat dipungkiri bahwa rencana pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) hampir selalu
terbersit di dalam pikiran setiap presiden kita. Sejak era pemerintahan Sukarno
yang berambisi menjadikan Palangkaraya sebagai pengganti Jakarta di masa depan.
Nama Palangkaraya disebut dua kali oleh Sukarno; pertama, saat peresmian
Palangkaraya sebagai
ibu kota Provinsi Kalimantan Tengah pada 1957. Kedua, pada
saat Seminar TNI-AD I pada 1965. Sukarno kala itu sudah mulai menyadari
bahwa Jakarta dan Surabaya telah menciptakan jurang kesenjangan yang amat dalam
antara kota-kota di Pulau Jawa dengan wilayah yang ada di luar Jawa. Perputaran
modal sangat berat sebelah (timpang).
Presiden
Soeharto, pada masa kepemimpinannya, sempat melihat Bogor sebagai calon IKN yang
baru. Bisa jadi karena beliau melihat Bogor yang berada di "hulu" dan
belum terlalu padat, praktis lebih menguntungkan dari sisi lingkungan. Isu
lingkungan semakin menguat di era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
(SBY). Ada dua opsi yang ditawarkan. Pertama, memindahkan pusat pemerintahan ke
luar Pulau Jawa, namun tetap mempertahankan Jakarta sebagai Ibu Kota Negara.
Kedua, membangun ibu kota sekaligus pusat pemerintahan yang benar-benar baru di
luar Pulau Jawa. Opsi-opsi tersebut kemudian hanya sampai pada tataran
pembicaraan di atas meja. Sebelum akhirnya, masa depan IKN diputuskan dalam
rapat terbatas era Presiden Jokowi, tepatnya pada 29 April 2019.
Kajian
Mendalam
Sangat
disayangkan jika ternyata pemindahan IKN dilakukan dengan pertimbangan yang
terkesan berlandaskan euforia. Melihat kesuksesan yang dialami oleh Brazil,
Rusia, dan lain-lain dalam memindahkan ibukotanya, tentu tidak bisa dijadikan
perbandingan. Setiap negara tentu saja punya kondisi geografis, sosial, dan
ekonomi yang berbeda. Kajian yang mendalam perlu dilakukan sebelum benar-benar
memutuskan sebuah lokasi sebagai calon Ibu Kota Negara. Sementara saya
melihat berbagai persiapan IKN selama ini terkesan serba dikebut. Rasa-rasanya
baru kemarin Bappenas menyelesaikan studi kelayakan. Kemudian disusul
penyelesaian RUU IKN, Badan Otorita IKN dan Kajian Lingkungan Hidup Strategis
(KLHS) pada 2019. Jika memang Jokowi sejak awal berniat meneruskan cita-cita
pemimpin terdahulu, maka kajian dan persiapan harus telah dimulai sejak awal
duduk di kursi ke-presiden-an. Saya rasa kajian mendalam perlu dicicil,
disimulasikan berulang-ulang, dikonfrontasikan dengan pelibatan masyarakat.
Menurut saya membangun secara fisik sangat
gampang. Asal ada uang, semua bisa jadi dalam sekejap. Namun tidak demikian
dengan kesiapan sosial, budaya, dan lingkungan. Tidak bisa serta merta. Tidak
bisa dinilai dengan uang. Jokowi seharusnya tidak perlu khawatir jika di masa
kepemimpinannya hanya dihabiskan untuk kajian mendalam bagi calon IKN baru.
Terpenting output yang dihasilkan sudah sangat matang, tertulis dalam dokumen
akademik yang rapi, blue print yang detail, dan dukungan penuh dari
masyarakat setempat. Siapa pun presiden setelahnya bisa dengan mudah
merealisasikan di lapangan.
Kita
bisa lihat sendiri, di balik kekaguman kita yang nyaris berlebihan terhadap
pemindahan sebuah ibu kota di negara lain, tersingkap berbagai kenyataan yang
pahit. Myanmar yang memindahkan ibu kota negara dari Yangon menuju Naypydaw,
misalnya. Infrastruktur di sana terbangun lengkap dan megah. Semua pusat
aktivitas yang berpotensi menarik minat masyarakat disediakan. Namun publik
tidak dilibatkan secara mendalam selama proses perencanaan hingga pemindahan.
Lantas, apa yang terjadi? Akhirnya kota tersebut sangat sepi pengunjung, tidak
tepat sasaran. Tidak ada public interest.
Lain
lagi yang terjadi di Malaysia. Ibu kota negara dipindah ke Putrajaya. Jarak
Kuala Lumpur dan Putrajaya yang tidak jauh tetap saja menimbulkan permasalahan.
Para pegawai tidak mau pindah karena alasan ingin dekat dengan keluarga. Nah,
jika dibandingkan dengan jarak Jakarta ke Kabupaten Penajam Paser Utara, itu
berapa kali jarak Kuala Lumpur-Putrajaya? Sudah ikhlaskah pegawai yang akan
dipindah? Ini tanda tanya penting. Kemauan bisa saja terwujud dengan
"pemaksaan", tetapi keikhlasan tidak akan nampak di permukaan, sayangnya,
dapat sangat mempengaruhi etos kerja pegawai.
Memindahkan
Masalah
Sekali
lagi, membangun secara fisik adalah sebuah kegiatan yang sangat mudah, asalkan
didukung oleh dana yang berlimpah. Namun membangun secara sosial, budaya, dan
lingkungan tidak semudah isapan jempol belaka. Model maket IKN bisa saja dibuat
dengan konstruksi paling ideal. Sementara dalam implementasinya di lapangan
butuh komitmen yang benar-benar berorientasi sosial, budaya, dan lingkungan.
Saya
sepakat bila saat ini Jakarta sudah berada pada kondisi yang "sakit"
secara lingkungan dan sosial. Penurunan muka air tanah, urbanisasi
besar-besaran, permukiman kumuh, bencana banjir tahunan, deretan aksi
kejahatan; semua semakin tidak kondusif untuk sebuah Ibu Kota Negara. Di sisi
lain, kita kemudian harus memastikan bahwa pemindahan Ibu Kota Negara tidak
terkesan hanya "memindahkan masalah" yang kini terpusat di Jakarta
menuju IKN baru. Memang tidak akan terlihat dalam jangka pendek.
Pertama, permasalahan ekonomi yang semakin
menganga sudah pasti dialami. Pemindahan IKN memakan biaya yang tidak sedikit.
Awalnya, pemerintah sangat yakin tidak akan menggunakan APBN sama sekali dalam
pembangunan IKN. Ternyata fakta berbicara lain, hampir Rp 90 triliun
dialokasikan dari APBN. Tentu pemerintah tidak boleh menutup mata dengan uang
rakyat yang digunakan. Tentu kita dapat berhitung, dengan nilai APBN sebesar
itu, akan berapa banyak "program berbasis masyarakat" yang dikorbankan.
Oleh karena itu, strategi IKN sebenarnya harus matang dulu, jangan sampai
hilang bersama "kota-kota mati" yang menjadi ambisi.
Kedua,
permasalahan budaya yang dihadapi sudah pasti akan tetap ada. Banyak sekali
suku-suku dan budaya yang ada daerah calon IKN baru, baik suku budaya asli
maupun pendatang. Tentu pemerintah tidak ingin timbul gesekan di antara mereka
dengan "pendatang baru lagi" yang secara tiba-tiba tinggal di wilayah
mereka. Kemunculan IKN sudah pasti merubah tatanan hidup mereka. Apakah sudah
ada titik temu antara super megahnya desain IKN dengan budaya masyarakat yang
selama ini dengan susah payah dipertahankan secara turun temurun? Sayangnya,
waktu yang singkat dan serba dikebut tidak akan pernah bisa menjawab pertanyaan
itu.
Ketiga,
permasalahan sosial di mana pun akan tetap terjadi, hanya saja kita bisa
melakukan perencanaan jangka panjang untuk meredamnya. Pemerataan pembangunan
merupakan tujuan sosial awal yang ingin dicapai dalam pencanangan IKN baru.
Kita bisa lihat, Ibukota negara yang berhasil akan menjadi "gula-gula
untuk sekumpulan semut". Jika IKN baru di Kabupaten PPU nanti sudah
menjadi kutub magnet dan pusat segala aktivitas, maka daerah-daerah di
sekitarnya akan terkena imbas dari kemajuan itu. Ada dampak positif, tentu ada
dampak negatif yang mengikutinya. Dampak jangka panjang bisa menyebabkan
permasalahan megapolitan Jabodetabek dapat terulang kembali. Apakah pemerintah
yakin siklus yang sama tidak terjadi di tempat yang berbeda?
Keempat,
permasalahan lingkungan harus menjadi fokus utama dalam pembangunan IKN baru
ini. Sebab, alasan-alasan tentang kemacetan, muka air tanah, banjir,
urbanisasi, merupakan yang pertama kali dikedepankan saat para pakar ditanya
tentang rasionalisasi pemindahan IKN. Faktanya, Kalimantan dahulu adalah
paru-paru utama dunia. Namun kini laju deforestasi yang tinggi,
pengalihan lahan jadi tambang dan lain-lain akhirnya melalaikan kita semua. IKN
baru yang sebegitu luas pun pasti dibangun di atas lahan hutan. Berapa banyak
sudah pohon yang dikorbankan demi negeri utopia yang dibanggakan? Apakah ada
upaya penanaman pohon pengganti di lokasi lain? Walaupun ada, akan butuh waktu
puluhan tahun untuk pohon yang sama tumbuh kembali.
WALHI bersama LSM lain mengungkap bahwa dalam
dokumen Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) yang dihasilkan, salah satu
ancaman yang terjadi karena pembangunan IKN baru adalah sistem hidrologi.
Keseimbangan persediaan air untuk wilayah Balikpapan, PPU, Kutai Kartanegara,
dan Samarinda sekaligus akan terganggu. Selain itu ancaman berupa bencana
ekologis dan hilangnya wilayah kelola rakyat akan memperuncing permasalahan
yang ada.
Jangan menganggap dengan keadaan geografisnya yang seperti itu pemerintah bisa merasa aman dari bencana. Sebenarnya bencana itu datangnya bukan dari alam, tapi berasal dari "tangan-tangan" manusia sendiri. Hutan dibabat dan dibakar, drainase disumbat dengan tumpukan sampah, bangunan ditinggikan di atas sempadan sungai, bekas galian tambang dibiarkan menganga, ditambah lagi dengan maksiat yang merajalela. Masihkah manusia merasa aman dengan wataknya sendiri? Saya hanya ingin katakan bahwa bencana datang bukan tanpa alasan. Sudah siapkah kita mengubah paradigma lama itu?
Terima kasih telah membaca hingga selesai. Silahkan tinggalkan komentar pada kolom di bawah ini untuk sekedar berdiskusi atau "say hello". Jika Anda tertarik dengan topik-topik tulisan mengenai perkotaan, follow blog ini untuk terus mendapatkan update notifikasi ketika ada tulisan baru dari saya. Sehat dan sukses selalu buat Anda.
------------
Tulisan ini telah terbit di Kolom Detik News tanggal 15 Februari 2022 dengan tajuk "Agar Ibukota Baru Tak Hanya Memindahkan Masalah" oleh Faqih Ashri.
0 Komentar: