![]() |
Human
Erecta
Masyarakat kita, entah karena belum memiliki toilet sendiri atau
memang sensasinya berbeda jika buang air di luar toilet, yang pasti dari data
yang saya peroleh dari STBM Kemenkes, ternyata masih banyak yang buang hajat di
sungai, di danau, atau pun aliran air lainnya. Ribuan bakteri kita lepaskan
dengan begitu santai kepada ekosistem alami yang sudah lama terbentuk.
Sementara di ujung lain sungai atau pun parit sana saudara kita sendiri masih
menggunakan airnya untuk berbagai keperluan, antara lain memasak, mencuci, atau
bahkan diminum. Anak-anak kecil yang masih lucu pun terjun mandi di air yang
sama sambil tertawa cekikikan menikmati masa kecil bahagia mereka. Anak-anak
yang dengan cermat diberikan oleh kedua orang tua mereka makanan bergizi,
pendidikan yang berkualitas, namun dalam pergaulannya dirongrong oleh berbagai
penyakit akibat bakteri jahat.
Itu baru sebatas dampak karena buang hajat sembarangan. Lebih dari
itu, bagi masyarakat yang telah memiliki toilet pribadi di rumah pun tidak
lepas dari bahaya itu. Sumur bor yang semakin berkembang menggantikan
“loyo”-nya PDAM seringkali terlampau dekat dengan lubang septick tank
(jamban). Hal ini merupakan bom waktu yang siap menularkan berbagai jenis
penyakit bagi penghuninya. Septick tank yang digali terlalu dekat dengan
sumber air, lama-kelamaan akan mengontaminasi air tanah. Air yang telah
terkontaminasi setiap hari dikonsumsi oleh para penghuni rumah. Terciptalah
sebuah lingkaran generasi yang berpotensi mengidap penyakit yang serius.
Sawage
Sampah jenis ini berupa air limbah yang dihasilkan oleh rumah
tangga atau pun pabrik. Beruntung jika di kota kita belum banyak berdiri
pabrik-pabrik raksasa penghasil limbah berton-ton per hari. Limbah jenis ini
masih dominan dihasilkan oleh lingkungan rumah tangga dan sarana kesehatan
(Rumah Sakit dan Puskesmas). Limbah rumah tangga seperti air bekas mandi dan
mencuci sering terkendala pengalirannya, karena saluran drainase yang mampet
(tersumbat). Seringkali drainase yang tersumbat disebabkan karena “dwi-fungsi
drainase” yang juga dijadikan tempat sampah. Segala macam sampah (plastik,
botol, mainan, kotoran hewan, dan masih banyak lagi) semua “dicemplungin” ke
saluran air. Akibatnya tentu saja semakin membuat keadaan tak menentu. Saluran
yang tersumbat akan menggenang dan menimbulkan aroma tidak sedap, kemudian akan
memicu tumbuh suburnya jentik-jentik nyamuk penular penyakit berbahaya. Saluran
air yang semakin penuh dengan endapan akan menjadi jalur favorit bagi hujan
untuk menciptakan banjir. Rumah yang dibangun megah dengan tujuan menjadi
hunian paling nyaman, ternyata harus terusik oleh kondisi lingkungan yang tidak
aman.
Refuse
Sampah ini biasanya berupa bahan yang berbentuk padat. Jenisnya
dibagi menjadi garbage (sampah mudah terurai) dan rubbish (sampah
tidak terurai atau susah terurai). Masyarakat pada umumnya mengartikan bahwa
sampah adalah hanya jenis refuse ini saja, sehingga bagi yang sudah
membuangnya di tempat yang benar merasa telah tunai kewajibannya terhadap
lingkungan. Sampah yang mudah terurai seperti sayuran dan hasil laut mungkin
saja dapat segera kita berikan perlakuan dengan mengumpulkan di pembuangan
akhir atau menimbunnya secara mandiri di rumah masing-masing. Lalu bagaimana
dengan sampah yang sulit terurai seperti kaca, mika, kawat, kaleng dan plastik?
Sebelum membahas solusi, saya teringat tentang sampah yang ada di
lingkungan perumahan kami. Setiap dua kali seminggu truk sampah dari pemerintah
kota beserta petugasnya rutin menjemput dan membawa sampah dari perumahan kami
menuju pembuangan akhir. Truk sampah itu menyisir seluruh ruas jalan,
memastikan tidak ada rumah yang terlewat. Anehnya, tepat di bagian depan
gerbang masuk perumahan selalu penuh dengan sampah berserakan di bagian tanah
kosong. Padahal di beberapa tanah kosong itu sudah sering dipasang poster
berisi peringatan untuk tidak membuang sampah disitu. Redaksi tulisannya pun
berbeda-beda hampir tiap bulan. Awalnya “Dilarang Keras Buang Sampah
Disini!” kemudian berganti “Hanya Binatang yang Buang Kotoran Disini”.
Memasuki Bulan Ramadhan redaksinya berubah menjadi: “Memasuki Bulan Puasa
ini, dimohon untuk tidak membuang sampah di sini”. Saya tidak habis pikir,
mobil sampah sudah disediakan, peringatan sudah dipasang sampai bosan, tapi kok
masih saja banyak yang buang sampah disitu? apa ini yang namanya tak ada
kesadaran? atau memang “orang luar” perumahan yang melakukannya? Solusi apa pun
yang diberikan, selama belum menyentuh sisi kesadaran masyarakat ini, maka akan
mempersulit segala tujuan.
Kongklusi
Sampah dan sanitasi termasuk elemen pembangunan vital sebuah
negara. Tidak heran jika Indonesia pun turut aktif dalam menggaungkannya. Clean
Water and Sanitation merupakan elemen ke-enam dalam kerangka Sustainable
Development Goals (SDGs) negara-negara dunia. Lalu bagaimana
pengejawantahan amanat SDGs tersebut di lingkup Kota Bima? Saya melihat
pemerintah daerah sudah punya komitmen yang kuat untuk menerjemahkan amanat
negara dalam bentuk program fisik maupun pemberdayaan melalui dinas-dinas
terkait, seperti Bappeda Litbang, Dinas PUPR, Dinas Lingkungan Hidup, Dinas Kesehatan,
PDAM, BPBD, didukung oleh instansi lainnya.
Program sanitasi berbasis pemberdayaan masyarakat contohnya, telah
masuk di setiap kelurahan. Masyarakat yang berperan aktif dalam memilih
pengurus (panitia pembangunan), membeli bahan, pelaksanaan, hingga masyarakat
sendiri yang menjaga dan memeliharanya. Bentuk kegiatannya antara lain berupa
pembangunan Instalasi Pembuangan Limbah Terpusat (Komunal), sehingga tidak ada
lagi masalah kontaminasi septick tank terhadap sumber air. Ada juga
pembangunan MCK+ dan juga septick tank individu yang anti resapan,
kemudian diikuti dengan program pembangunan sumber air minum baru sekaligus
jaringan perpipaan yang terhubung ke setiap rumah, program bedah rumah bagi
masyarakat terdampak bencana, program pencatatan rumah tangga berakses air
minum layak, program Bank Sampah (saya rasa ini baru di salah satu kelurahan),
serta program mobilisasi truk dan petugas kebersihan yang dibagi per kelurahan.
Itu semua merupakan beberapa contoh kongkrit penerapan nyata di
lapangan. Pelaksanaannya tiap tahun bersumber dari Dana Alokasi Khusus (DAK)
atau pun Dana Alokasi Umum (DAU), didukung pula dengan Dana Hibah dari beberapa
negara. Ke depan, perlu kiranya menjadi perhatian lebih untuk menyediakan
teknologi tepat guna yang secara masif bisa diandalkan sebagai pengolah sampah yang
notabene semakin membludak sejalan dengan pertumbuhan penduduk. Perlu juga diberdayakan
kelompok pengrajin yang kreatif dalam mengolah sampah yang tidak dapat terurai
untuk dijadikan bahan kerajinan tangan yang bernilai ekonomis untuk dipasarkan.
Pemerintah daerah tentu tidak boleh tinggal diam dalam menuntaskan permasalahan
mendasar dalam wilayah kerjanya. Alam, sejatinya punya mekanisme sendiri dalam mengurai
segala kerusakan yang terjadi padanya, namun tanpa bantuan kita sebagai manusia,
tentu akan mempercepat laju kerusakan alam yang tak terkendali. Mari bekerja
sama dan sama-sama bekerja demi lingkungan kita, demi alam yang masih layak untuk
anak-cucu kita.
Terima kasih telah membaca hingga selesai. Silahkan tinggalkan komentar pada kolom di bawah ini untuk sekedar berdiskusi atau "say hello". Jika Anda tertarik dengan topik-topik tulisan mengenai perkotaan, follow blog ini untuk terus mendapatkan update notifikasi ketika ada tulisan baru dari saya. Sehat dan sukses selalu buat Anda.
------------
*Tulisan ini telah terbit di halaman opini Kahaba.net per tanggal 10 September 2019, dengan judul "Sampah Masalah Kita, Bukan Kota" (oleh Faqih Ashri).
0 Komentar: