Note:

Sudut Pandang Tentang Perkotaan, Perdesaan, Kewilayahan, dan Segala Dinamika Keruangan yang ada di antaranya.

Peduli

(Disclaimer: Bukan Ahli, Hanya Mencoba Untuk Lebih Peduli)

Mengenai Saya

Foto saya
Father of Two Beloved Son|| Bureaucrat|| Urban and Regional Planner (Master Candidate)|| Content Writer|| Content Creator|| Reading Holic|| Obsesive, Visioner, and Melankolis Man||

Sampah Kota dan Kesadaran Kita

By | Leave a Comment



Salah satu tolak ukur egosentrisme, menurut saya, adalah cara kita dalam memperlakukan sampah. Sampah dalam paradigma hampir setiap orang merupakan barang kotor dan menjijikkan yang harus segera dimusnahkan. Masih mending jika semua bisa musnah dalam sekejap. Kalau semuanya adalah jenis yang tidak bisa terurai dalam jangka waktu lama, bagaimana? Faktanya, sampah dalam buku berjudul Penanganan dan  Pengolahan Sampah (Rudi Hartono, 2008) terbagi menjadi 3 kategori, yaitu: 1) Human Erecta (Faeces dan Urin Manusia), 2) Sewage (Air Limbah Buangan Rumah Tangga & Pabrik) 3) Refuse (Bahan Sisa Kegiatan Rumah Tangga/Industri).

Human Erecta

Masyarakat kita, entah karena belum memiliki toilet sendiri atau memang sensasinya berbeda jika buang air di luar toilet, yang pasti dari data yang saya peroleh dari STBM Kemenkes, ternyata masih banyak yang buang hajat di sungai, di danau, atau pun aliran air lainnya. Ribuan bakteri kita lepaskan dengan begitu santai kepada ekosistem alami yang sudah lama terbentuk. Sementara di ujung lain sungai atau pun parit sana saudara kita sendiri masih menggunakan airnya untuk berbagai keperluan, antara lain memasak, mencuci, atau bahkan diminum. Anak-anak kecil yang masih lucu pun terjun mandi di air yang sama sambil tertawa cekikikan menikmati masa kecil bahagia mereka. Anak-anak yang dengan cermat diberikan oleh kedua orang tua mereka makanan bergizi, pendidikan yang berkualitas, namun dalam pergaulannya dirongrong oleh berbagai penyakit akibat bakteri jahat.

Itu baru sebatas dampak karena buang hajat sembarangan. Lebih dari itu, bagi masyarakat yang telah memiliki toilet pribadi di rumah pun tidak lepas dari bahaya itu. Sumur bor yang semakin berkembang menggantikan “loyo”-nya PDAM seringkali terlampau dekat dengan lubang septick tank (jamban). Hal ini merupakan bom waktu yang siap menularkan berbagai jenis penyakit bagi penghuninya. Septick tank yang digali terlalu dekat dengan sumber air, lama-kelamaan akan mengontaminasi air tanah. Air yang telah terkontaminasi setiap hari dikonsumsi oleh para penghuni rumah. Terciptalah sebuah lingkaran generasi yang berpotensi mengidap penyakit yang serius.

Sawage

Sampah jenis ini berupa air limbah yang dihasilkan oleh rumah tangga atau pun pabrik. Beruntung jika di kota kita belum banyak berdiri pabrik-pabrik raksasa penghasil limbah berton-ton per hari. Limbah jenis ini masih dominan dihasilkan oleh lingkungan rumah tangga dan sarana kesehatan (Rumah Sakit dan Puskesmas). Limbah rumah tangga seperti air bekas mandi dan mencuci sering terkendala pengalirannya, karena saluran drainase yang mampet (tersumbat). Seringkali drainase yang tersumbat disebabkan karena “dwi-fungsi drainase” yang juga dijadikan tempat sampah. Segala macam sampah (plastik, botol, mainan, kotoran hewan, dan masih banyak lagi) semua “dicemplungin” ke saluran air. Akibatnya tentu saja semakin membuat keadaan tak menentu. Saluran yang tersumbat akan menggenang dan menimbulkan aroma tidak sedap, kemudian akan memicu tumbuh suburnya jentik-jentik nyamuk penular penyakit berbahaya. Saluran air yang semakin penuh dengan endapan akan menjadi jalur favorit bagi hujan untuk menciptakan banjir. Rumah yang dibangun megah dengan tujuan menjadi hunian paling nyaman, ternyata harus terusik oleh kondisi lingkungan yang tidak aman.

Refuse

Sampah ini biasanya berupa bahan yang berbentuk padat. Jenisnya dibagi menjadi garbage (sampah mudah terurai) dan rubbish (sampah tidak terurai atau susah terurai). Masyarakat pada umumnya mengartikan bahwa sampah adalah hanya jenis refuse ini saja, sehingga bagi yang sudah membuangnya di tempat yang benar merasa telah tunai kewajibannya terhadap lingkungan. Sampah yang mudah terurai seperti sayuran dan hasil laut mungkin saja dapat segera kita berikan perlakuan dengan mengumpulkan di pembuangan akhir atau menimbunnya secara mandiri di rumah masing-masing. Lalu bagaimana dengan sampah yang sulit terurai seperti kaca, mika, kawat, kaleng dan plastik?

Sebelum membahas solusi, saya teringat tentang sampah yang ada di lingkungan perumahan kami. Setiap dua kali seminggu truk sampah dari pemerintah kota beserta petugasnya rutin menjemput dan membawa sampah dari perumahan kami menuju pembuangan akhir. Truk sampah itu menyisir seluruh ruas jalan, memastikan tidak ada rumah yang terlewat. Anehnya, tepat di bagian depan gerbang masuk perumahan selalu penuh dengan sampah berserakan di bagian tanah kosong. Padahal di beberapa tanah kosong itu sudah sering dipasang poster berisi peringatan untuk tidak membuang sampah disitu. Redaksi tulisannya pun berbeda-beda hampir tiap bulan. Awalnya “Dilarang Keras Buang Sampah Disini!” kemudian berganti “Hanya Binatang yang Buang Kotoran Disini”. Memasuki Bulan Ramadhan redaksinya berubah menjadi: “Memasuki Bulan Puasa ini, dimohon untuk tidak membuang sampah di sini”. Saya tidak habis pikir, mobil sampah sudah disediakan, peringatan sudah dipasang sampai bosan, tapi kok masih saja banyak yang buang sampah disitu? apa ini yang namanya tak ada kesadaran? atau memang “orang luar” perumahan yang melakukannya? Solusi apa pun yang diberikan, selama belum menyentuh sisi kesadaran masyarakat ini, maka akan mempersulit segala tujuan.

Kongklusi

Sampah dan sanitasi termasuk elemen pembangunan vital sebuah negara. Tidak heran jika Indonesia pun turut aktif dalam menggaungkannya. Clean Water and Sanitation merupakan elemen ke-enam dalam kerangka Sustainable Development Goals (SDGs) negara-negara dunia. Lalu bagaimana pengejawantahan amanat SDGs tersebut di lingkup Kota Bima? Saya melihat pemerintah daerah sudah punya komitmen yang kuat untuk menerjemahkan amanat negara dalam bentuk program fisik maupun pemberdayaan melalui dinas-dinas terkait, seperti Bappeda Litbang, Dinas PUPR, Dinas Lingkungan Hidup, Dinas Kesehatan, PDAM, BPBD, didukung oleh instansi lainnya.

Program sanitasi berbasis pemberdayaan masyarakat contohnya, telah masuk di setiap kelurahan. Masyarakat yang berperan aktif dalam memilih pengurus (panitia pembangunan), membeli bahan, pelaksanaan, hingga masyarakat sendiri yang menjaga dan memeliharanya. Bentuk kegiatannya antara lain berupa pembangunan Instalasi Pembuangan Limbah Terpusat (Komunal), sehingga tidak ada lagi masalah kontaminasi septick tank terhadap sumber air. Ada juga pembangunan MCK+ dan juga septick tank individu yang anti resapan, kemudian diikuti dengan program pembangunan sumber air minum baru sekaligus jaringan perpipaan yang terhubung ke setiap rumah, program bedah rumah bagi masyarakat terdampak bencana, program pencatatan rumah tangga berakses air minum layak, program Bank Sampah (saya rasa ini baru di salah satu kelurahan), serta program mobilisasi truk dan petugas kebersihan yang dibagi per kelurahan.

Itu semua merupakan beberapa contoh kongkrit penerapan nyata di lapangan. Pelaksanaannya tiap tahun bersumber dari Dana Alokasi Khusus (DAK) atau pun Dana Alokasi Umum (DAU), didukung pula dengan Dana Hibah dari beberapa negara. Ke depan, perlu kiranya menjadi perhatian lebih untuk menyediakan teknologi tepat guna yang secara masif bisa diandalkan sebagai pengolah sampah yang notabene semakin membludak sejalan dengan pertumbuhan penduduk. Perlu juga diberdayakan kelompok pengrajin yang kreatif dalam mengolah sampah yang tidak dapat terurai untuk dijadikan bahan kerajinan tangan yang bernilai ekonomis untuk dipasarkan. Pemerintah daerah tentu tidak boleh tinggal diam dalam menuntaskan permasalahan mendasar dalam wilayah kerjanya. Alam, sejatinya punya mekanisme sendiri dalam mengurai segala kerusakan yang terjadi padanya, namun tanpa bantuan kita sebagai manusia, tentu akan mempercepat laju kerusakan alam yang tak terkendali. Mari bekerja sama dan sama-sama bekerja demi lingkungan kita, demi alam yang masih layak untuk anak-cucu kita.


Terima kasih telah membaca hingga selesai. Silahkan tinggalkan komentar pada kolom di bawah ini untuk sekedar berdiskusi atau "say hello". Jika Anda tertarik dengan topik-topik tulisan mengenai perkotaan, follow blog ini untuk terus mendapatkan update notifikasi ketika ada tulisan baru dari saya. Sehat dan sukses selalu buat Anda. 

------------

*Tulisan ini telah terbit di halaman opini Kahaba.net per tanggal 10 September 2019, dengan judul "Sampah Masalah Kita, Bukan Kota" (oleh Faqih Ashri).

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda

0 Komentar: