Saya berkunjung secara kontinyu ke sebuah desa terpencil
di daerah Kabupaten, saya mendapati beberapa fenomena ‘menarik’ yang ada di
dalam kehidupan masyarakatnya. Angka perceraian di usia muda cukup tinggi.
Selain itu, yang lebih mencengangkan, disana para pemuda sudah tidak asing lagi
dengan yang namanya melakukan hubungan di luar nikah!
Sungguh perut saya geli, serasa digelitik, melihat
para pemuda usia sekolahan (sekitar 16-19 tahun) sudah menggendong anak. Satu
sisi ada juga rasa empati karena saya menyadari betapa tegar mereka menjalani
kehidupan yang sedemikian ‘tidak normal’ berdasarkan sudut pandang norma
ketimuran. Ukuran badan mereka masih terlalu rapuh, masih sangat kecil untuk
merasakan sakitnya prosesi kelahiran sebagai kompensasi kenikmatan sesaat yang
pernah mereka lakukan di awal dahulu dengan sang pacar.
Desa ini berada cukup jauh dari keramaian serta
aksesibilitas masih terbilang kurang memadai mengingat jauhnya lokasi desa
dengan jalan arteri primer. Masyarakat harus menempuh satu setengah jam perjalanan
normal untuk mencapai jalan utama kabupaten. Sekarang jalan menuju desa itu
sudah lumayan bagus dengan aspal, dahulu kondisinya masih makaddam. Mayoritas
masyarakat hidup dari hasil bertani dan berternak. Ada beberapa nama tokoh
(yang kini sudah sepuh) berhasil keluar dari desa itu, kemudian terbilang
sukses di tanah rantau. Namun perkembangan kehidupan masyarakat, terutama para
pemuda di zaman modern ini, membuat suasana desa makin suram. Makin sedikit
pemuda yang memiliki impian, makin sedikit pemuda yang berani menggantung mimpi
di langit untuk sekedar membayangkan bagaimana rasanya sukses di usia tua.
Sebaliknya, makin banyak pemuda yang sok menjadi ‘penguasa kampung’, semakin
banyak pemuda yang berteman dengan miras dan judi, semakin banyak pemuda yang
berani menggantung masa depan pacarnya dengan merampas kehormatan diri dan
keluarganya.
Menurut sumber yang menceritakan ke saya, fenomena
tersebut sudah terjadi sejak lama. Namun makin masif dalam hitungan lima tahun
terakhir. Sangat ironis ketika saya mendengar dan melihat langsung anak usia
sekolahan disana yang sering bertengkar dengan ayahnya sendiri hingga saling
baku-hantam; anak muda yang tidak malu lagi menenggak minuman keras di depan
keluarganya sendiri; anak muda yang ‘membuka lahan baru’ di sawah dan kebun
untuk melakukan hubungan gelap; anak muda yang membawa lari anak gadis desa
sebelah karena sudah dihamili; gadis rupawan yang tiba-tiba terlihat pucat
setelah menggugurkan bayi yang tak berdosa; sampai ada bayi yang gagal
digugurkan dan ketika dewasa bayi tadi hidup dalam keadaan cacat fisik maupun
mental. Na’udzubillah!
Kenapa dikatakan bahwa fenomena itu sudah berlangsung
sejak lama? Setelah saya telisik, ternyata fenomena ini seakan telah mendarah
daging, telah menjadi “gelindingan bola salju”, telah menjadi semacam kebiasaan
yang mengakar kuat bagai lingkaran setan dalam masyarakat desa itu. Para orang
tua (tidak semua) dari para pemuda desa ini telah membangun dasar yang kuat
bagi munculnya wabah negatif ini ke tubuh generasi-generasinya. Bagaimana
tidak, selama ini para bapak-bapak disana tidak sedikit yang ketahuan
selingkuh, kedapatan berjudi dan miras, hingga menghamili wanita lain. Mereka
tidak segan dengan komentar yang berkembang di masyarakat. Mereka tidak puas
dengan satu istri, ingin terus mencari pelampiasan nafsunya. Kini di hari
tuanya, para bapak-bapak itu ada yang baru terungkap tentang berapa jumlah
wanita yang pernah dia selingkuhi, berapa jumlah anak hasil hubungan gelapnya,
berapa anak yang lahir normal serta berapa anak yang cacat karena percobaan
pengguguran, dan masih banyak lagi. Tuhan punya cara tersendiri untuk membuka
aib hambaNya yang menyimpang di dunia!
Nah, kalau akar masalahnya memang sudah ada sejak era
para orang tuanya dahulu, pantas jika para anak dan keturunan akan meniru dan
mencontoh apa yang dilakukan orang tua. Kata pepatah “buah kelapa tidak jatuh
jauh dari pohonnya”, dan “Jika guru kencing berdiri, maka murid akan kencing
berlari”. Bukankah begitu?
Melihat akar dari fenomena tersebut, dapat dikatakan
bahwa : sangat banyak faktor yang mendukung lingkaran setan itu tetap berputar
dan sangat sulit diputus. Pertama, faktor didikan orang tua. Kedua, faktor
pendidikan sang anak. Ketiga, faktor aksesibilitas desa. Faktor tambahannya
yaitu perhatian dari pemerintah.
Didikan dari orang tua memiliki makna penting dalam
dinamika kehidupan bermasyarakat. Banyak referensi, baik dalam bidang psikologi
atau ilmu sosial lainnya, yang menekankan pentingnya pendidikan berkarakter
yang dimulai dari ranah keluarga (kedua orang tua). Sebelum anak dilepas ke
pergaulan masyarakat luas, perlu diletakkan dahulu dasar-dasar pendidikan
mental, moral, dan spiritual dari para orang tua. Banyak pemuda yang tetap
tidak tergoda dengan pergaulan bebas oleh teman-temannya, salah satunya karena
kuatnya dasar yang telah ditanamkan orang tua.
Pendidikan sang anak tidak kalah pentingnya. Banyak
warga desa yang mengkambinghitamkan masalah ekonomi sehingga tidak
menyekolahkan anaknya. Memang yang benar-benar miskin seperti itu ada, tapi
lebih banyak lagi yang bermental “fakir”. Kenapa saya mengatakan demikian?
Sebab, banyak mereka yang di desa itu punya uang untuk kredit motor, sewa
peralatan buat acara syukuran, jalan-jalan kesana kemari, tapi uang untuk
menyekolahkan anak tidak ada. Apa kata dunia? Simpan dulu gengsi untuk tidak
memakai motor, tabung dulu uang yang mau digunakan untuk acara berbagai rupa,
pendidikan anak jangan pernah disepelekan. Jika anak tumbuh dalam lingkungan
yang ‘rusak’ dan tidak diizinkan keluar dari desa untuk menimba ilmu secara
serius, maka tidak ada jaminan anak itu akan cerah masa depannya. Merantau itu
berguna untuk mengerti budaya luar, luas pengalaman, lapang pengetahuan,
sehingga tidak hidup seperti ‘katak dalam tempurung’. Anak muda yang
pengangguran di desa itulah yang biasanya gampang diajak untuk berkelahi,
gampang diajak demo, minum-minuman keras, dan lain-lain. Karena memang mereka
“nggak ada kerjaan”, ibarat kompor gas bocor : disulut dikit langsung meledak!
Aksesibilitas desa dalam ilmu perencanaan kota, merupakan salah satu
faktor kunci dalam pencapaian peradaban yang lebih efektif dan efisien. Lewat
kemudahan aksesibilitas, arus barang dan jasa menjadi mudah; arus pertukaran
informasi menjadi berkesinambungan; arus perjalanan manusia menjadi makin mudah
dan menghemat waktu. Karena jika waktu di-uang-kan, maka kita akan mengerti
betapa berharganya satu detik dalam hidup kita. Ketika akses keluar-masuk desa
lancar, maka masyarakat tidak lagi menjadi “katak dalam tempurung”. Mereka bisa
mengenal ‘dunia luar’ secara luas, wawasan terbuka, sehingga bisa diterapkan
pula dalam lingkup desa mereka.
Perhatian dari pemerintah bisa berupa pendampingan dan
fasilitasi berbagai kegiatan positif dalam rangka memperbaiki masalah dan
dinamika sosial yang terjadi dalam masyarakat. Pendidikan Seks (Sex
Education), Kegiatan pemuda, Konsultasi psikologis, dan lain sebagainya.
Ketika masyarakat merasa diperhatikan, maka secara tidak langsung pemerintah
sedang memberikan proses pendewasaan secara periodik.
Pada akhir tulisan ini, saya ingin mengatakan bahwa setiap kita adalah saudara. Ketika ada saudara kita yang menyimpang, maka kita perlu mengingatkan. Tentunya kita jangan malah terjerumus mengikuti mereka. Tulisan ini bukan untuk mengumbar aib sebagian orang, tapi untuk saling berbagi informasi tentang apa yang terjadi di sekitar kita. Mungkin saja fenomena ini juga terjadi di belahan daerah kita yang lain, saya tidak bisa meng-generalisasi.
Terima kasih telah membaca hingga selesai. Silahkan tinggalkan komentar pada kolom di bawah ini untuk sekedar berdiskusi atau "say hello". Jika Anda tertarik dengan topik-topik tulisan mengenai perkotaan, follow blog ini untuk terus mendapatkan update notifikasi ketika ada tulisan baru dari saya. Sehat dan sukses selalu buat Anda.
0 Komentar: