Note:

Sudut Pandang Tentang Perkotaan, Perdesaan, Kewilayahan, dan Segala Dinamika Keruangan yang ada di antaranya.

Peduli

(Disclaimer: Bukan Ahli, Hanya Mencoba Untuk Lebih Peduli)

Mengenai Saya

Foto saya
Father of Two Beloved Son|| Bureaucrat|| Urban and Regional Planner (Master Candidate)|| Content Writer|| Content Creator|| Reading Holic|| Obsesive, Visioner, and Melankolis Man||

Kota, Moda Transportasi Umum, dan Pelecehan Seksual: Perpaduan Ancaman

By | Leave a Comment

Data yang dirilis oleh Koalisi Ruang Publik Aman (KRPA) terkait hasil survei mereka di akhir tahun 2018[1]. (difasilitasi oleh situs Change.org Indonesia) menunjukkan bahwa transportasi umum sebenarnya masih menjadi “momok” yang menakutkan bagi penggunanya. Ketakutan tersebut bukan terkait masalah keamanan dari kecelakaan antar kendaraan. Lebih dari itu, ketakutan yang muncul akibat masih maraknya kasus pelecehan seksual yang terjadi di atas moda transportasi umum, terutama banyak dialami oleh kaum wanita. Kasus-kasus yang terjadi tentu menjadi tantangan tersendiri di bidang perencanaan wilayah dan kota, yang mana sangat mengedepankan pemilihan moda transportasi umum sebagai solusi permasalahan kota dan juga pembangunan berbasis gender sebagai refleksi kesetaraan. 

Jumlah dan Jenis Moda Transportasi Umum Tempat Terjadinya Pelecehan

Salah satu faktor penyebab terjadinya pelecehan seksual adalah karena pemahaman terhadap bentuk pelecehan itu sendiri (Rastra, 2019)[2]. Masyarakat kita pada umumnya berpikir bahwa bentuk pelecehan hanya terjadi pada persinggungan fisik saja. Sementara Winarsunu dalam Susi Wiji Utami (2016) menyebutkan bahwa setiap tindakan yang berkonotasi seksual dan dilakukan secara sepihak, itu bisa dikatakan pelecehan, baik berupa tulisan, simbol, isyarat, maupun tindakan langsung[3]. Sebenarnya transportasi umum hanyalah “ruang” yang berbeda bagi pelaku pelecehan seksual. Jika sudah menjadi candu, maka pelecehan bisa mereka lakukan dimana pun, asalkan ada kesempatan. 

Jenis Pelecehan yang Terjadi di Angkutan Umum

Fakta yang ditemukan dalam survei KRPA menunjukkan tipe pakaian yang digunakan oleh para korban pelecehan justru celana panjang, berbaju longgar, dan berhijab. Hal ini berarti bukan faktor pakaian minim yang membuat pelaku pelecehan seksual beraksi. Sabrina (2012) mengklaim bahwa sulitnya penanganan pelecehan seksual lebih karena sifatnya yang “abu-abu” oleh karena pemahaman setiap kepala berbeda-beda[4]. Fungsi dari perencana dalam hal ini adalah menyusun sebuah strategi yang aplikatif dan sekaligus menyentuh kepada akar permasalahan utama. 


Akar Masalah

Pertimbangan objektif sebenarnya harus datang dari dua arah. Selain survei dengan respondennya korban pelecehan seksual, juga harus ditanyakan (survei) terhadap pelaku pelecehan seksual yang tertangkap. Sebenarnya apa motivasi mereka melakukan tindak pidana tersebut. Salah satu pandangan yang bisa dijadikan rujukan terkait motivasi seseorang melakukan pelecehan seksual tercantum dalam situs klikdokter.com[5]:

Beberapa penyebab pria melakukan pelecehan seksual kepada wanita :

·    Korban mudah ditaklukkan.

·    Hasrat seks yang tidak bisa disalurkan dengan pasangannya..

·    Mempunyai riwayat kekerasan seksual saat masih kecil.

·    Pernah menyaksikan kekerasan seksual saat masih kecil.

·    Pelaku memiliki otoritas (terkait jabatan/strata) atas korban.

·  Pelaku berada dalam keluarga atau lingkungan dengan ideologi patriarki yang kuat.

·    Ketergantungan obat terlarang dan minuman keras.

·    Memiliki fantasi seksual yang mendukung adanya kekerasan seksual.

·    Sering membaca atau menonton konten-konten porno.

·    Tidak dekat secara emosional dengan keluarga.

·    Faktor kemiskinan”

Berdasarkan fakta yang diungkap oleh situs klikdokter.com di atas, maka pemetaan masalah dapat dikelompokkan menjadi beberapa dimensi: 1) Pola pikir pria, 2) Kebahagiaan keluarga, 3) Riwayat masa kecil, 4) Otoritas pria (jabatan), 5) Pergaulan dan kemiskinan.

Faktor pemicu utama ternyata muncul sejak dari rumah, dimana pola pikir yang diajarkan oleh keluarga sejak kecil akan membentuk kepribadian yang tangguh ketika dewasa harus bergaul di masyarakat dan mendapatkan jabatan di dalam pekerjaan. Disini terbukti bahwa transportasi umum hanyalah salah satu “ruang” dari banyak “ruang” yang dijadikan oleh para pelaku pelecehan seksual tempat beraksi. Faktor pendorongnya sudah muncul sebelum para pelaku naik angkutan umum. Ada kemungkinan yang sangat besar bahwa tujuan utama para pelaku ini menumpang angkutan umum & angkutan massal hanya untuk melancarkan aksi tidak senonoh mereka terhadap para korban. Oleh karena itu, jika tujuan atau visi yang ingin dicapai di masa depan adalah transportasi umum dan massal yang aman dan nyaman, maka perlu segera “dipotong” mata rantai perilaku ini mulai dari akarnya. Pola asuh dan pola didik dalam keluarga dengan konsep spiritual sangat memegang peranan penting dalam pencegahan tindak pidana ini menyebar luas.

Faktor Pemicu dan Solusi Akar Pelecehan Seksual

Diskusi Solusi

Setelah akar masalah ditemukenali, maka pembangunan infrastruktur akan lebih mudah dicanangkan karena tantangan atau kendala sudah berkurang. Selama kasus pelecehan seksual belum diatasi, maka akan membuat preferensi masyarakat untuk menggunakan moda transportasi umum akan jauh menurun. Dampak jangka panjang juga bisa membuat trauma, pembatasan diri dan aktivitas. Masyakarat tidak akan tertarik menggunakan angkutan umum atau angkutan massal, sekali pun dibuat nyaman atau sangat murah. Dampak turunannya adalah preferensi penggunaan moda transportasi milik pribadi makin meningkat dan sulit untuk dibatasi. Ditambah lagi dengan berbagai kemudahan kredit kendaraan yang diberikan oleh institusi keuangan dan leasing. Polusi, perubahan iklim, dan kesemrawutan sebuah kota pun makin menjadi.

Keterkaitan Berbagai Dampak Pola Asuh dan Pola Didik Keluarga

Selain pola asuh dan pola dan pola didik spiritual yang dikedepankan pada level keluarga, penyediaan infrastruktur (moda) transportasi pun dapat sangat mendukung berkurangnya kasus pelecehan di angkutan umum. Oleh karena itu, saya sepakat untuk mulai membangun image baru dalam transportasi dengan cara penyediaan moda transportasi khusus wanita dan juga gerbong khusus wanita.

Moda transportasi BRT (Bus Rapid Transit) misalnya, yang menjadi sopir adalah seorang wanita, dan seluruh penumpangnya dikhususkan untuk kalangan wanita. Selain itu, sebagai langkah antisipatif maka dilakukan pemasangan CCTV (wajib aktif 24 jam dan tersimpan permanen dalam server big data). Selain CCTV dipasang di atas moda transportasi, dipasang pula di setiap titik fasilitas publik seperti terminal, halte, fly-over, stasiun, bandara, dan lain-lain.

Ilustrasi Bus Khusus Wanita

Tambahan yang tidak kalah penting juga adalah pembuatan tombol peringatan keamanan di atas moda transportasi yang saat ditekan oleh penumpang maka dapat mengirimkan “sinyal darurat” kepada layanan pusat layanan bus. Selain itu, dibuatkan pula aplikasi sederhana yang bisa digunakan oleh para penumpang untuk melaporkan segala kejanggalan yang terjadi di area maupun fasilitas publik. Aplikasi ini dilengkapi dengan panduan mengenai jenis-jenis pelecehan seksual yang bisa dilaporkan beserta hukuman (pidana) bagi pelaku.

Harapannya, semua solusi ini dapat mengembalikan image positif bagi angkutan umum. Hakikatnya, peran angkutan umum sangat besar kontribusinya bagi sebuah kota, baik dari sisi sosial, ekonomi, hingga lingkungan. Jangan sampai hanya perilaku dari sebagian oknum, membuat preferensi berkendara dengan menggunakan moda transportasi umum menjadi momok yang menakutkan.


Terima kasih telah membaca hingga selesai. Silahkan tinggalkan komentar pada kolom di bawah ini untuk sekedar berdiskusi atau "say hello". Jika Anda tertarik dengan topik-topik tulisan mengenai perkotaan, follow blog ini untuk terus mendapatkan update notifikasi ketika ada tulisan baru dari saya. Sehat dan sukses selalu buat Anda. 


REFERENSI 

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda

0 Komentar: