Permasalahan dunia kedepannya dipastikan semakin kompleks mengiringi jumlah penduduk yang semakin bertambah padat. Penduduk merupakan entitas yang memiliki beragam kebutuhan dasar. Kebutuhan dasar ini yang kemudian menjadi tanggung jawab pemerintah dalam penyediaannya. Namun, tidak setiap daerah memiliki kemampuan sumber daya alam dan sumber daya manusia yang cukup untuk mengantisipasi perkembangan tersebut. Permasalahan yang umum terjadi seperti kemiskinan saja, membutuhkan parameter yang jelas tentang ciri dan kategorinya. Jika paramater ini belum jelas, maka pantas saja jika bantuan untuk kalangan miskin masih bisa dibelokkan sedemikian rupa. Bantuan bisa jadi tidak tepat guna serta tidak bernilai guna.
Selain itu, paramater yang tidak sama ini juga yang kemudian pernah membuat perbedaan pendapat antara Kementerian Perdagangan dan BULOG pada tahun 2019 lalu. Satu sisi Kementerian Perdagangan bersikeras untuk mengajukan impor beras karena berdasarkan perhitungan mereka stok beras defisit (kurang). Sementara di sisi lain, BULOG membantah keras, sebab menurut mereka yang memang mengurusi langsung stok beras di lapangan, bahwa stok beras aman dan mencukupi. Hal seperti ini yang sangat krusial, apalagi menyangkut hajat hidup orang banyak. Pemerintah harus menunjukkan satu sikap yang sama atas dasar basis perhitungan yang seragam. Disinilah letak berbagai permasalahan yang muncul oleh sebab DATA yang tidak akurat. Kata kuncinya adalah ketersediaan dan fungsionalitas data.
Seakan menyadari betapa krusialnya data, pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 39 Tahun 2019 Tentang Satu Data Indonesia. Pemerintah perlu keterpaduan di tataran perencanaan, pelaksanaan, evaluasi, dan pengendalian pembangunan. Oleh karena itu, perlu didukung oleh data yang akurat, mutakhir, terpadu, dapat dipertanggungjawabkan, mudah diakses, di-bagipakai-kan, serta dikelola secara seksama, terintegrasi, dan berkelanjutan. Bayangkan saja, pada tataran nasional saja, kesadaran untuk memulai penyediaan data yang akurat ini baru mulai digaungkan di tahun 2019. Lantas, bagaimana dengan kondisi di daerah?
Kondisi yang umum terjadi di birokrasi
daerah adalah data setiap kegiatan tidak terdokumentasi dengan baik, masih
mengandalkan kertas, tersebar secara parsial pada individu-individu, data
setiap dinas tidak terintegrasi, perbedaan data, data yang tidak update, tidak
mudah diakses oleh publik. Kekurangan-kekurangan ini kemudian diperparah dengan
kentalnya ego sektoral yang melandasi setiap kinerja pemerintah daerah. Ada
rasa enggan untuk berkolaborasi aktif serta saling terlibat (dalam arti yang
sesungguhnya). Bayangkan betapa sulitnya pemerintah pusat menyatukan setidaknya
514 kabupaten/kota seluruh Indonesia dalam kesamaan visi tentang data yang
akurat dan terintegrasi ini. Pantas saja jika amanat-amanat dalam Perpres
39/2019 berjalan lamban dalam pemenuhannya semenjak diterbitkan. Sebut saja
amanat tentang portal satu data dan forum satu data, gaungnya belum santer
terdengar.
Pemerintah daerah harus menyadari
bahwa kebijakan di tataran nasional dapat berjalan baik atau tidak bergantung
pada komitmen dari pemerintah daerah. Pemerintah daerah merupakan ujung tombak
dari kemajuan bangsa di era desentralisasi saat ini. Pekerjaan rumah bagi
setiap daerah kita adalah bagaimana menjadikan data yang dikelola oleh
pemerintah daerah itu selalu akurat, mutakhir, terpadu, dapat
dipertanggunggungjawabkan, dapat di-bagipakai-kan, serta mudah diakses oleh
kalangan publik. Akurat artinya data diperoleh dari hasil identifikasi
dan observasi ilmiah, bukan hanya berdasarkan perkiraan dan pendapat sebagian
kelompok. Mutakhir berarti setiap instansi di daerah berkomitmen untuk
selalu memperbaharui (updating) data yang dimiliki sesuai dengan
perkembangan nyata di lapangan. Terpadu artinya tidak ada data yang
berdiri sendiri. Misalnya saja, dinas yang menangani permasalahan fisik tidak
perlu meminta data kondisi sosial masyarakat pada dinas yang menangani masalah
sosial, karena semua data tersebut telah tersedia dalam platform
bersama. Data tersebut bersifat dinamis karena terus dimutakhirkan secara
berkala (harian). Semakin singkat jeda waktu pemutakhiran data, maka semakin
baik untuk tingkat kepercayaan pada data tersebut. Dapat
dipertanggungjawabkan artinya sudah sangat jelas, bahwa dasar ilmiah dari
munculnya data tersebut dapat dijelaskan secara rinci jika dipertanyakan. Tidak
kalah pentingnya dari konsep satu data adalah dapat di-bagipakai-kan, yang
artinya saling mendukung dengan prinsip terpadu tadi. Data yang terpadu dapat
di-share antar instansi untuk digunakan pada kepentingan yang berbeda.
Terakhir, prinsip satu data adalah mudah diakses oleh publik, artinya
pemerintah adalah orang-orang pilihan sebagai penyelenggara urusan kepentingan
publik. Oleh karena itu, tidak ada yang perlu disembunyikan selama itu
menyangkut hajat hidup publik. Data yang dibagikan ke publik malah akan
meningkatkan prinsip transparansi serta menambah kepercayaan publik kepada
pemerintah.
Semua ini baru berbicara mengenai
data dalam arti luas, belum lagi membahas ketersediaan big data (data besar)
yang menjadi ujung tombak dalam mengarahkan daerah-daerah menjadi smart
city. Kota cerdas adalah kota yang menjadikan teknologi informasi dan
telekomunikasi (TIK) sebagai katalisator dalam penyediaan data seluruh hajat
hidup di daerah. TIK yang digunakan berupa pemasangan sensor-sensor berbasis
Internet of Things, CCTV ruang publik, inovasi ramah lingkungan, sistem
informasi pemerintahan, dan lain sebagainya. Semua bermuara untuk menghasilkan
data secara real time (selama 24 jam penuh dalam sehari), sehingga dapat
disimpan dalam server dan digunakan untuk pengambilan keputusan bagi kepala
daerah setiap harinya. Pada kota cerdas, tidak lagi berbicara perencanaan dalam
kurun setahun (tahunan), namun perencanaan sudah bisa langsung dilakukan setiap
hari dari hasil rekomendasi pemantauan alat-alat pintar yang tersebar di setiap
infrastruktur dan pojok-pojok kota. Pembahasan mengenai smart city ini
akan dibedah di tulisan terpisah.
Pada akhirnya, yang paling dekat
dan paling gampang untuk dilakukan oleh setiap daerah saat ini adalah memulai.
Sebab, setalah dimulai itu akan terbentang proses transisi yang amat panjang
dalam menciptakan sistem satu data daerah yang mapan. Setidaknya butuh jangka
waktu 10 tahun untuk melihat hasilnya. Intinya, berinvestasi pada database yang
terukur dan terdigitalisasi dengan baik, sudah seharusnya mulai diseriusi oleh
pemerintah daerah kita. Betapa tak ternilainya harga kumpulan data. Kita bisa
merencanakan apa pun yang diinginkan dengan data. Tanpa harus mengkhawatirkan
pergantian personil (mutasi, rotasi, dan promosi). Tanpa harus mengkhawatirkan
permintaan data (laporan) yang berulang dari pemerintah pusat setiap tahunnya. Tanpa
harus mengkhawatirkan pertukaran data antar instansi untuk kebutuhan mendesak.
Paling penting, kita juga tidak perlu mengkhawatirkan serangan (fitnah)
orang-orang yang berniat buruk dan menjatuhkan pemerintah tanpa data dan fakta
yang kuat.
Terima kasih telah membaca hingga selesai. Silahkan tinggalkan komentar pada kolom di bawah ini untuk sekedar berdiskusi atau "say hello". Jika Anda tertarik dengan topik-topik tulisan mengenai perkotaan, follow blog ini untuk terus mendapatkan update notifikasi ketika ada tulisan baru dari saya. Sehat dan sukses selalu buat Anda.
0 Komentar: