Note:

Sudut Pandang Tentang Perkotaan, Perdesaan, Kewilayahan, dan Segala Dinamika Keruangan yang ada di antaranya.

Peduli

(Disclaimer: Bukan Ahli, Hanya Mencoba Untuk Lebih Peduli)

Mengenai Saya

Foto saya
Father of Two Beloved Son|| Bureaucrat|| Urban and Regional Planner (Master Candidate)|| Content Writer|| Content Creator|| Reading Holic|| Obsesive, Visioner, and Melankolis Man||

Low Cost Green Car (LCGC) dan Low Carbon Emission Vehicle (LCEV): Solusi Klise Transportasi Perkotaan?

By | Leave a Comment

 


Sistem transportasi semakin tidak dapat terpisahkan dari kehidupan manusia. Kebutuhan untuk perpindahan manusia dan barang dari satu tempat ke tempat lain dengan lebih efektif dan efisien, menyebabkan perkembangan moda transportasi yang sangat pesat. Sayangnya, sebuah sistem transportasi tidak berdiri sendiri, tidak independen. Sistemnya dalam perkotaan berkaitan erat dengan laju pertumbuhan penduduk, kebutuhan perjalanan, aksesibilitas, dan tata guna lahan. Transportasi sebagai pendukung aksesibilitas berarti memfasilitasi kebutuhan perjalanan dari penduduk dari satu simpul aktivitas satu ke simpul aktivitas yang lain. Bayangkan saja, kondisi seperti di Indonesia dengan jumlah penduduk yang tinggi dan terus mengalami pertumbuhan luar biasa setiap tahunnya, bagaimana kompleksnya untuk menangani sistem transportasinya?


(Sumber: Khisty & Lall, 2005)

Permasalahan semakin kompleks karena penggunaan kendaraan pribadi jauh lebih tinggi dari penggunaan moda transportasi umum. Hal ini pernah saya dengarkan langsung dari paparan perwakilan dari Pemda DKI Jakarta dalam Seminar Hari Habitat Dunia 2013 di Senayan. Dikatakan bahwa lalu lintas di Jakarta didominasi oleh kendaraan pribadi. Perbandingan antara jumlah angkutan umum dan kendaraan pribadi sangatlah timpang. Jumlah angkuatan umum hanya sekitar 3,5% (294 ribu unit), sementara jumlah kendaraan pribadi menyentuh angka 96,5% (8,08 juta unit). Pertumbuhan kendaraan dalam lima tahun terakhir (2008-2012) mencapai 8.1% per tahun. Angka tersebut hanya didukung dengan pertumbuhan panjang jalan sebesar 0,01%. Kondisi ini memunculkan perhitungan biaya kemacetan yang ditimbulkan sebesar 45,2 triliun/tahun, yang terdiri dari pemborosan BBM, biaya operasional, time value, economic value, dan pencemaran energi. Itu baru contoh yang terjadi di Jakarta!


LCGC Ditawarkan Sebagai Solusi Ekonomi

Seakan datang sebagai secercah harapan bagi masyarakat Indonesia, kebijakan terkait Low Cost Green Car (LCGC) yang biasa dikenal sebagai kendaraan murah dan ramah lingkungan, diterbitkan oleh pemerintah pusat di tahun 2013 melalui Peraturan Menteri Perindustrian No. 33/M-IND/PER/7/2013 tentang Pengembangan Produksi Kendaraan Bermotor Roda Empat yang Hemat Energi dan Harga Terjangkau. Penerbitan kebijakan ini bertujuan untuk mendorong kemandirian industri otomotif nasional yang sedang menggeliat di kala itu. Selain itu juga untuk memenuhi permintaan konsumen akan kendaraan motor yang hemat energi dengan harga terjangkau. LCGC juga mampu menambah industri komponen, sebab Agen Tunggal Pemegang Merk (ATPM) seperti Toyota dan Daihatsu bisa memproduksi mobil di Indonesia karena komponen-komponennya sudah tersedia dalam negeri. Mobil-mobil seperti Agya, Ayla, Sigra, dan Calya adalah contoh-contoh mobil LCGC yang kemudian sangat laris di pasaran kita. Lantas, apakah secercah harapan masyarakat itu benar-benar membawa kebaikan? Apakah kepemilikan mobil selalu berbanding lurus dengan tingkat kesejahteraan?


Dampak yang paling terasa adalah tingkat kepadatan jalan raya yang terus meningkat oleh kendaraan pribadi roda empat. Seperti data DKI Jakarta yang dipaparkan di paragraf sebelumnya, sungguh penambahan jumlah ruas jalan raya dimana pun sangat-sangat kecil setiap tahunnya. Sementara laju pertumbuhan jumlah penduduk diikuti dengan tingkat kepemilikan kendaraan bermotor sangat tinggi. Tidak akan pernah sebanding kerugian dari sisi time value dan enviromental value­-nya dengan apa yang diistilahkan oleh pemerintah sebagai keuntungan ekonomi. Pemerintah mengaku bahwa kendaraan LCGC ini difokuskan untuk pemenuhan kebutuhan di daerah-daerah di luar Jabodetabek. Lantas, apakah kendaraan yang di luar Jabodetabek tersebut tidak bisa bergerak dan masuk ke ibukota dan membuat kemacetan semakin runyam? Bagaimana jika kendaraan “murah-meriah” ini lantas membuat satu kepala keluarga makin konsumtif dengan membeli lebih dari satu mobil dalam untuk satu rumah? Orang tuanya punya mobil sendiri, anak-anaknya yang masih sekolah pun dibelikan masing-masing mobil, saking murahnya. Setiap showroom mobil pun memberikan iming-iming kemudahan dalam hal pembayaran cicilan. Bayangkan betapa semrawutnya jalan raya hari ini, bahkan di kota-kota kecil nun jauh dari ibukota negara sana.


Peningkatan kepadatan kendaraan akan membawa efek turunan selanjutnya, berupa meningkatnya potensi kecelakaan lalu lintas, meningkatnya polusi udara oleh zat karbon, meningkatnya potensi penyakit saluran pernapasan, meningkatnya stres oleh karena kesemrawutan di jalanan, meningkatnya penggunaan BBM dari sumber energi fosil (tak terbarukan), dan masih banyak lagi. Sederet dampak sosial dan lingkungan tersebut jika dikonversi dalam rupiah, maka tidak akan ternilai harganya.


Latah Kendaraan Listrik

Lalu, seakan sadar akan dampaknya ke depan, pemerintah mulai mengalihkan fokus pada generasi kendaraan bermotor berbahan bakar listrik. Menurut referensi yang saya baca, beberapa tahun terakhir selalu mengalami kelebihan pasokan listrik. Artinya, kebutuhan penduduk selalu mampu dipenuhi, bahkan masih banyak stok yang berlebih. Oleh karena itu, sebagai salah satu strategi agar kelebihan itu terpakai adalah dengan mengeluarkan kebijakan penggunaan sesuatu yang menggunakan listrik, baik itu sepeda listrik, motor listrik, maupun mobil listrik. Masih mending jika listrik yang digunakan memang benar-benar bersumber dari tenaga terbarukan, seperti micro-hydro atau cahaya matahari. Tapi nyatanya 85,59% sumber energi yang digunakan oleh PLN dalam menghasilkan listrik adalah tenaga diesel (PLTD) sebanyak 5.258 unit. Energi terbarukannya hanya berkisar di angka nol koma sekian saja. Faktanya lagi, PLTU di Indonesia yang berjumlah 86 unit, total energi yang dihasilkan adalah 40,2 Gigawatt. Itu belum dikurangi dengan 12 PLTU besar yang menurut analisa harus “pensiun dini”, termasuk 3 besarnya PLTU Banten Suralaya, PLTU Paiton, dan PLTU Cilacap. Masihkah tepat jika kendaraan-kendaraan berbahan bakar listrik yang digemborkan selama ini menjadi sebuah solusi berbasis lingkungan? Ataukah hanya branding bahan bakar fosil dalam bentuk lain saja? 



Sudah seharusnya pemerintah kita membuat kebijakan yang memang benar-benar menjadi solusi, bukan hanya indah di permukaannya saja. Solusinya harus menyelesaikan akar permasalahan, bukan menggeser permasalahan. Kita punya Sumber Daya Alam (SDA) yang luar biasa untuk ke arah energi terbarukan, tapi wacananya mmentah di atas meja. Kepala negara pun yang berupaya menawarkan, lepas begitu saja programnya. Anak-anak jenius bangsa yang rela pulang dari rantauan (luar negeri) untuk mengembangkan kendaraan listrik dan inovasi lain, tidak dilirik sama sekali. Entahlah, ini rasa pesimis atau memang realistis. Ketika suatu saat arah yang dituju oleh pemerintah sudah benar, tentu inovasi-inovasi tepat guna benar-benar dihargai. Itu tanda kita "merdeka" dalam berinovasi. Semoga saja.


Terima kasih telah membaca hingga selesai. Silahkan tinggalkan komentar pada kolom di bawah ini untuk sekedar berdiskusi atau "say hello". Jika Anda tertarik dengan topik-topik tulisan mengenai perkotaan, follow blog ini untuk terus mendapatkan update notifikasi ketika ada tulisan baru dari saya. Sehat dan sukses selalu buat Anda. 

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda

0 Komentar: