Pada saat saya bekerja di salah
satu perbankan plat merah delapan tahun yang lalu, saya sedikit banyak belajar
tentang pemasaran kredit perumahan FLPP (Fasilitas Likuiditas Pembiayaan
Perumahan). Saya memang harus memahami seluk-beluknya, skemanya, aturannya;
agar dapat memasarkan kepada para calon debitur kredit. Waktu itu saya
ditempatkan di divisi pemasaran, sebelum akhirnya “hengkang” di tahun 2018,
setelah hampir lima tahun bekerja disana. KPR-FLPP merupakan salah satu program
yang dikembangkan oleh pemerintah untuk menjalankan amanat Undang-Undang Nomor
1 Tahun 2011, lebih spesifik disebutkan pada Pasal 54, bahwa pemerintah
memiliki kewajiban menyediakan kebutuhan rumah bagi Masyarakat Berpenghasilan
Rendah (MBR). Berbeda dengan Program BSPS (Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya)
yang mengedepankan dari sisi permintaan masyarakat pengguna akhir yang tidak
mampu, dengan pola pembangunan secara swadaya, KPR-FLPP lebih menekankan pada
pasar perumahan formal yang menyasar Masyarakat Berpenghasilan Rendah. Siapakah
mereka MBR ini? Menurut aturannya, MBR merupakan masyarakat yang memiliki
keterbatasan dalam hal daya beli, sehingga memerlukan campur tangan pemerintah
dalam memperoleh rumah.
Beberapa penelitian yang
dilakukan telah menunjukkan bahwa BSPS lebih dapat memberikan dampak bagi
pengurangan rumah tidak layak huni bagi masyarakat miskin. Sistem pembangunan
yang menggunakan swadaya tenaga dari masyarakat setempat telah membawa rasa
memiliki (sense of belonging) yang tinggi. Sementara KPR-FLPP dalam
penerapannya dipegang oleh pihak swasta (perusahaan pengembang) bermitra dengan
institusi perbankan. Perusahaan swasta sebagai developer pasti
berorientasi profit dalam setiap perhitungan langkahnya, begitu pula dengan
perbankan. Memang banyak kemudahan dan keuntungan yang ditawarkan oleh
pemerintah untuk masyarakat agar tertarik mengambil rumah murah (KPR-FLPP) ini,
antara lain suku bunga yang lebih rendah, tenor yang dapat diambil maksimum,
sudah termasuk premi asuransi jiwa dan kebakaran, serta bebas PPN. Rumah murah
ini pun diperuntukkan bagi mereka yang belum pernah memiliki rumah serta sedang
tidak menerima subsidi bantuan rumah lainnya.
BUAH SIMALAKAMA KPR-FLPP
Namanya juga menjalin ikatan
dengan institusi berorientasi profit, pasti akan banyak sekali persyaratan
administrasi serta persyaratan “moral” yang mesti dipenuhi oleh calon debitur
KPR-FLPP. Walaupun ini merupakan program yang diturunkan dari kebijakan
pemerintah pusat, namun tetap saja bank penyalur yang berhak melakukan
verifikasi dan screening ketat untuk memastikan pemohon-pemohon itu
tidak akan mengalami “gagal bayar” di kemudian hari. Persyaratan penghasilan di
bawah 3,5 juta sebagai penerima bantuan ini tentu sangat jarang yang mampu
konsisten selama puluhan tahun untuk menyicil, belum lagi terbentur dengan
pemohon berkarakter tidak baik. Bisa saja di tahun-tahun awal rutin membayar,
namun peningkatan kebutuhan di masa depan akan membuat goyah juga. Lebih berat
lagi, program ini mensyaratkan pengembang (developer) untuk membangun
terlebih dahulu dengan dana sendiri hingga rumah hunian terbangun, setelah itu
baru bisa ditawarkan kepada MBR. Konsekuensinya, para pengembang dengan modal
kecil pasti akan berusaha mengajukan pinjaman dahulu pada instansi keuangan
lain. Pinjaman tentu akan kena bunga, dan untuk menutupi bunga tentu pengembang
akan mengejar profit yang lebih besar pada penerima bantuan rumah subsidi.
HUBUNGANNYA DENGAN TATA RUANG
KOTA
Konteks tata ruang dalam fenomena
KPR-FLPP sangat menyangkut permasalahan ketersediaan lahan. Pihak pengembang
yang “dikejar” untuk menyediakan rumah terlebih dahulu tentu akan memburu
lahan-lahan kosong dalam kota yang dapat dibeli dengan harga paling murah,
namun letaknya strategis, paling tidak untuk masa depan (walaupun hari ini
belum nampak sisi strategisnya). Akibat mengejar lahan kosong yang murah dan
strategis ini, pengembang kadang dapat melupakan berbagai syarat teknis dan
administratif mengenai penggunaan lahan kota, seperti Izin Mendirikan Bangunan
(IMB), Analisis dan Kajian Lingkungan, sertifikat, dan dokumen sejenisnya.
Lahan yang ditentukan pengembang pun tentu tidak akan sesuai dengan kondisi
yang diinginkan oleh masyarakat; bisa saja jauh dari akses ke tempat kerja asal
pemohon, jauh dari pusat kota, dan lain sebagainya. Perumahan tidak dibangun
secara parsial dan dekat dengan komunitas awal dari para pemohon. Lebih dari
itu, tidak semua lahan yang tersedia bisa dimanfaatkan untuk membangun
perumahan. Hal ini terkait dengan peruntukan lahan dan sistem zonasi dalam
Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Perkotaan serta pengaturan yang lebih detail
pada RDTRK (Rencana Detail Tata Ruang Kota).
KONKLUSI
Melihat berbagai uraian mengenai
KPR-FLPP tersebut, perlu campur tangan pemerintah, terutama pemerintah daerah
sebagai “penguasa” wilayah perkotaan. Pemberian fasilitas rumah murah-meriah
bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) tidak serta merta harus diserahkan
pada mekanisme pasar yang cenderung mengecilkan keberadaan dan kebutuhan utama
masyarakat. Seperti yang telah diungkapkan dalam (Kuswartojo, Rosnarti et al.
2005), bahwa kebijakan pembangunan perumahan formal dibedakan menjadi 2 jenis,
yaitu manajemen dari sisi pasokan dan manajemen dari sisi permintaan. Manajemen
dari sisi pasokan lebih mengedepankan mekanisme pasar, yang tidak melihat kebutuhan
rumah dari para pemohon, namun lebih mengacu pada daya belinya.
Sementara sebaliknya, manajemen
dari sisi permintaan lebih diarahkan untuk pemenuhan kebutuhan sosial yang
sangat mendesak dari masyarakat yang membutuhkan perumahan. Masyarakat
dilibatkan dalam proses persiapan, perencanaan, pelaksanaan, serta pasca pembangunan.
Pemerintah daerah dapat memberikan mekanisme reward dan insentif bagi pengembang
(developer) maupun Lembaga Swadaya Masyarakat (NGO) yang mampu
berkomitmen menyelenggarakan pengadaan perumahan dengan pendekatan manajemen
dari sisi permintaan. Hal ini berarti masyarakat diberikan kesempatan diskusi
mengenai perencanaan lokasi yang diinginkan, bentuk desain, serta fasilitas
yang dapat disediakan, tentu saja sesuai dengan kemampuan dari pendanaan yang
tersedia. Lembaga keuangan (perbankan) pun seharusnya lebih memberikan support
kemudahan pendanaan bagi pengembang dan NGO yang sudah jelas memihak kepada
kebutuhan masyarakat berpenghasilan rendah.
Pada sisi pemerintah daerah pun harus terus mengawal dalam proses pengadaan lahan bagi perumahan. Lahan yang dipilih harus benar-benar clean and clear dari sisi teknis maupun administratif, tidak menyimpang dari aturan dasar Izin mendirikan bangunan dan sertifikat laik fungsi bangunan. Kolaborasi aktif antara berbagai elemen dalam kota ini tidak hanya membuat ekonomi perkotaan semakin bertumbuh. Sebab pada banyak kasus, pertumbuhan ekonomi tidak lantas selaras dengan penurunan kesenjangan sosial dalam masyarakat. Oleh karena itulah konsep pembangunan saat ini tidak hanya bertumpu pada peningkatan pendapatan masyarakat, namun lebih pada perubahan sosial yang membawa pada aspek-aspek kesejahteraan.
Terima kasih telah membaca hingga selesai. Silahkan tinggalkan komentar pada kolom di bawah ini untuk sekedar berdiskusi atau "say hello". Jika Anda tertarik dengan topik-topik tulisan mengenai perkotaan, follow blog ini untuk terus mendapatkan update notifikasi ketika ada tulisan baru dari saya. Sehat dan sukses selalu buat Anda.
0 Komentar: