Note:

Sudut Pandang Tentang Perkotaan, Perdesaan, Kewilayahan, dan Segala Dinamika Keruangan yang ada di antaranya.

Peduli

(Disclaimer: Bukan Ahli, Hanya Mencoba Untuk Lebih Peduli)

Mengenai Saya

Foto saya
Father of Two Beloved Son|| Bureaucrat|| Urban and Regional Planner (Master Candidate)|| Content Writer|| Content Creator|| Reading Holic|| Obsesive, Visioner, and Melankolis Man||

Menengok Kota Bima: Impian Tentang Sungai yang Lebih Manusiawi

By | Leave a Comment

 


Indonesia sangat terkenal oleh dunia global sebagai negara kepulauan terbesar, dengan kisaran 17.504 pulau. Konsekuensi dari kondisi alam yang terdiri dari ribuan pulau tersebut, membuat Indonesia memiliki komposisi sumber daya air yang sangat luas, termasuk dalam bentuk garis pantai (81.290 km) dan juga aliran sungai-sungai. Banyak sekali daerah-daerah yang memiliki sejarah panjang cikal bakal kemunculannya dari kawasan-kawasan tepi pantai dan sempadan sungai. Air benar-benar menjadi “sumber kehidupan” bagi masyarakat dalam kilasan sejarah, selama berabad-abad lamanya hingga saat ini. Banyak sekali masyarakat kita yang menggantungkan hidupnya dari mata pencaharian di laut dan sungai. Bayangkan ketika sumber mata pencaharian itu akhirnya mengalami laju kerusakan yang semakin parah. Itulah yang menjadi realitas saat ini. Kerusakan Daerah Aliran Sungai (DAS) dan kehancuran ekosistem yang terkandung di dalamnya, memunculkan semacam kondisi “buah simalakama” bagi masyarakat yang bertumpu padanya. Satu sisi, masyarakat membutuhkan usaha yang terus mengelola alam untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Namun di sisi lain, alam tidak lagi memiliki daya dukung untuk itu, alam telah sampai pada ambang batas kemampuannya. Hasilnya? Erosi, banjir, tanah longsor, dan masih banyak gejala yang ditampakkan oleh alam atas kerusakan yang sedang dialaminya.


Pengelolaan sungai dengan konsep berkelanjutan telah lama didengungkan oleh para pakar dan pemangku kepentingan. Pendekatan secara komprehensif pun tidak henti-hentinya didorong dalam penerapan sebuah kebijakan pengelolaan sungai. Banyak potensi yang dapat dijaga dan dikembangkan pada sebuah wilayah DAS, baik itu ekonomi, pariwisata, budaya, sosial, bahkan ketahanan dan keamanan. Melihat banyaknya potensi tersebut, maka tidak akan terhitung nilai kerugian yang dialami oleh sebuah daerah jika kerusakan daerah sekitar aliran sungai terus terjadi tanpa pengendalian yang berarti. Secara faktual dapat kita lihat betapa sempadan sungai semakin tidak mendapat perhatian; sungai menjadi tempat pembuangan sampah dan limbah rumah tangga, sungai menjadi “halaman belakang” rumah, sungai menjadi tempat “remang-remang”, sungai menjadi tempat mencuci segala macam peralatan yang kotor dan jorok. Realitas itu membawa pada kesimpulan yang hampir tak terbantahkan, bahwa kawasan sekitar sempadan sungai selalu menjadi sumber bermunculannya kantung-kantung permukiman kumuh. Sungai yang dahulu selalu menjadi romantisme sejarah cikal bakal perkotaan atau perdesaan setempat, kini perlahan dilupakan dan dijauhi.


Selain laju kerusakan lingkungan sungai muncul akibat pemanfaatannya yang tidak berasas pembangunan berkelanjutan, juga diperparah dengan letak dan kondisi geografis. Daerah yang berada di bagian hilir sungai dan tepi pantai (dataran rendah) lebih rentan terkena luapan air dari daerah-daerah lain yang berada di bagian atasnya (dataran tinggi). Apalagi jika bangunan pengendali banjir seperti DAM, drainase, sumur resapan, dan sejenisnya memang belum siap. Luapan itu akan menjelma menjadi banjir bandang yang menghancurkan berbagai infrastruktur daerah yang telah terbangun. Mau tidak mau, sungai harus menjadi elemen yang sama pentingnya dengan aspek pembangunan daerah lain untuk diintegrasikan ke dalam perencanaan yang berkelanjutan.



Kota Bima merupakan salah satu daerah yang berada di pesisir pantai. Beberapa sungai besar mengalir membelah kota. Laut masih menjadi sumber mata pencaharian sebagian masyarakat yang tinggal di pesisir, sementara sungai nampak semakin “ditinggalkan”. Masyarakat di sepanjang aliran sungai lebih senang tinggal membelakangi sungai, membuang sampah dan limbah disitu, dan menjadikan sungai sebagai bagian yang tidak ingin dilihat. Letak kota yang berada di bagian hilir (dataran rendah) pun semakin membuatnya sering menerima limpasan air dari daerah kabupaten di atasnya, sebab masih berada dalam satu DAS. Banjir bandang yang sangat besar tercatat telah terjadi dua kali, yaitu tahun 2005 dan tahun 2016. Banjir yang terjadi di tahun 2016 menjadi yang paling besar dalam sejarah. Kerugian kota dari sisi fisik, sosial, dan lingkungan sangat luar biasa. Kerugian fisik dapat dikalkulasi dari rusaknya berbagai sarana dan prasarana; air bersih, sanitasi, perumahan, jembatan, jalan, perkantoran, dan lain sebagainya. Kerugian sosial dapat diestimasi dari lumpuhnya interaksi masyarakat, trauma yang dialami keluarga, dan lain sebagainya. Sementara kerusakan lingkungan berupa hancurnya habitat makhluk hidup, rusaknya daerah pertanian, rusaknya lahan peternakan, dan masih banyak lagi.


Akibat berbagai kerusakan yang dialami oleh bencana banjir tersebut, Kota Bima mendapat banyak bantuan dan perhatian dari pemerintah pusat dan lembaga koorporasi luar negeri. Beberapa program yang menjadi prioritas di Kota Bima adalah pembangunan rumah relokasi dan peningkatan kapasitas sungai. Kedua program ini saling berkaitan erat dalam hal menuntaskan penanganan bencana banjir yang menyeluruh. Rumah relokasi dibangun untuk menampung keluarga yang rumahnya berada di sepanjang sempadan sungai dan terdampak parah bencana banjir. Sementara peningkatan kapasitas sungai dilakukan untuk “membersihkan” rumah-rumah yang berada di kisaran 5 meter dari bibir sungai, sekaligus melakukan normalisasi dan penguatan tanggul. Sungai yang rencana ditangani terdiri dari Sungai Padolo, Sungai Romo, dan Sungai Melayu melalui kolaborasi Kementerian PUPR dengan Japan Interational Corporation Agency (JICA). Hasil dari pembebasan lahan-lahan yang tidak sesuai peruntukan tersebut di masa akan datang dapat dialihkan menjadi ruang-ruang publik yang meningkatkan citra kawasan. Sudah sangat umum terjadi di beberapa daerah di Indonesia, setiap revitalisasi kawasan-kawasan sempadan sungai diarahkan untuk penyediaan ruang terbuka hijau dan ruang publik untuk berinteraksi, bahkan fungsi rekreasi.



Kedua program yang sedang terlaksana tersebut mengindikasikan bahwa pemerintah daerah Kota Bima sudah mulai aware untuk mengintegrasikan sistem sungai ke dalam strategi pembangunan kota. Rencana yang terintegrasi itu akan berpeluang untuk memperbaiki kualitas lingkungan, mengurangi erosi, terbangunnya sarana dan prasarana publik kawasan, menciptakan image branding sempadan sungai sebagai lahan yang “lebih terhormat” dan halaman depan rumah masyarakat. Lahan yang dibebaskan dapat pula menjadikan akses lokasi semakin longgar dan lega, sehingga meminimalkan sisi kekumuhan kawasan.


Banyak harapan yang akhirnya diimpikan pada kedua program yang sedang berjalan itu. Masyarakat dan pemerintah dapat bahu-membahu dan bersinergi mewujudkan Kota Bima yang lebih tangguh dan lebih berkelanjutan. Bisa dibayangkan ketika sempadan sungai sejauh 5-10 meter tidak diisi lagi oleh permukiman. Space itu digunakan untuk membangun ruang publik dan taman. Rumah-rumah yang berbatasan langsung dengan ruang publik diberikan reward agar dengan senang hati mengalihkan orientasi rumah mereka menjadi ke arah sungai. Sungai dikembalikan “marwah-nya” sebagai cikal-bakal kemunculan peradaban di zaman dahulu; ramai, ceria, dan produktif.


Selain itu, sungai juga mampu terbebas dari buangan sampah dan kotoran manusia. Masyarakat semakin segan untuk membuang sampah dan mengotori sungai. Program-program seperti pembangunan septick tank dan MCK bagi masyarakat yang tidak mampu juga secara langsung berdampak pada terbebasnya sungai dari limbah buangan masyarakat. Bisa dibayangkan juga betapa menariknya jika aliran sungai Kota Bima (sungai terpanjang 25 kilometer) difungsikan sebagai jalur bagi salah satu moda transportasi sehari-hari. Masyarakat aktif menggunakan sungai untuk mengantarkan dari satu titik ke titik lain dalam kota. Secara paralel pula, permasalahan utama penyebab banjir di hulu berupa penebangan pohon dan penanaman komoditas jagung diberantas dengan peraturan yang tegas. Sebab jika permasalahan di hilir tidak berjalan bersamaan dengan pengentasan akar masalah yang ada di hulu, maka semua akan percuma dan terasa hambar.



Jika fase tersebut telah dilalui dengan baik, sungai telah menjadi denyut nadi perkembangan kota, maka pemerintah dan masyarakat tinggal mencanangkan berbagai kegiatan pendukungnya. Potensi promosi budaya dan wisata dapat ditambahkan sebagai event tahunan, misalnya Festival Budaya Sungai Padolo (Padolo River Cultural Fest). Acara dapat diisi dengan segala tetek-bengek sejarah dan budaya Kota Bima yang berkaitan dengan sungai, pasar terapung, lomba dayung perahu, dan lain sebagainya. Masyarakat sudah tentu sangat merindukan event-event budaya yang berkualitas dan memacing antusiasme seluruh lapisan masyarakat. Kegiatan tidak hanya dibuat parsial, namun dapat dipadukan dengan kawasan-kawasan lain yang mendukung tematik yang sama, yaitu pariwisata budaya, seperti Kawasan ASI Mbojo, Kawasan Kota Lama di Raba, Kawasan Pasar Amahami, dan lain sebagainya.


Impian itu tentu lebih menggambarkan bagaimana seharusnya kota dengan konsep water front city, atau dalam istilah pemerintah disini “Kota Tepian Air” berproses dan melangkah. Harapannya pembangunan demi pembangunan yang dilakukan benar-benar berbasis pada integrasi antara kepentingan lingkungan, sosial, dan ekonomi. Semuanya bermuara pada konsep pembangunan berkelanjutan yang membuat perkotaan semakin tahan dan tangguh terhadap bencana di masa yang akan datang.

                        

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda

0 Komentar: