Jika pada topik sebelumnya saya sudah membahas tentang Kota Toronto (Kanada), sekarang kita bergeser ke Kota Detroit (USA) yang notabene berbatasan darat langsung dengan Kanada. Permasalahan yang terjadi di Detroit ini terbilang sangat memprihatinkan. Kota yang sudah berdiri sejak tahun 1701 itu mengalami fenomena instabilitas dan habitabilitas di beberapa dekade terakhir. Padahal kota ini pernah memegang predikat sebagai kota terkaya di Amerika Serikat. Kala itu Detroit menjadi pusat produksi otomotif ternama. Lonjakan permintaan pasar di sektor otomotif membuat lahan-lahan Detroit dipenuhi dengan pabrik-pabrik berskala besar. Namanya kota industri, pasti sangat mudah dalam memacu pertumbuhan sebuah daerah. Begitu pula halnya yang terjadi pada Detroit. Kemegahan yang diemban selama berabad-abad lamanya, harus termakan oleh “proses alamiah” kotanya sendiri. Kota ini berangsur-angsur ditinggalkan oleh para penghuninya, terutama di Kawasan tengah kotanya. Kota ini pernah mencapai jumlah penduduk 1,85 juta jiwa di tahun 1950-an, namun hanya menyisakan 600 ribuan jiwa di tahun 2020. Hampir berkurang sepertiga dari penduduknya! Jika di Indonesia orang-orangnya sering ribut karena kekurangan lahan akibat pertumbuhan penduduk yang selalu “surplus”, maka di Detroit malah penduduknya pergi untuk meninggalkan rumah-rumah mereka dengan sukarela. Apa yang sebenarnya melatarbelakangi kondisi yang memprihatinkan tersebut?
Awal Terjadinya
Masalah Habitalitas
Detroit sejak awal berdirinya telah bertumpu
pada industri otomotif untuk melejitkan ekonomi wilayahnya. Bayangkan ketika pabrik-pabrik
otomotif itu akhirnya mengalami “kelesuan” dan pabrik-pabrik banyak yang
dipindahkan ke kota lain. Apa dampaknya? Ekonomi kota itu akhirnya lumpuh.
Tentu saja minggatnya berbagai perusahaan tersebut bukan menjadi faktor satu-satunya
yang memicu ditinggalkannya kota. Selain itu, masalah tingginya angka
kriminalitas dan tingginya gesekan sosial antara penduduk kulit hitam dan kulit
putih ikut memperuncing masalah yang ada. Kriminalitas tidak akan jauh akarnya
dari kemiskinan. Benar saja, banyak sekali warga yang tergolong miskin karena
tidak mampu menyesuaikan dengan standar hidup yang ada. Oleh karena banyak masyarakat
miskin, maka pemerintah kota akan habis-habisan dalam memberikan subsidi pendidikan,
kesehatan, dan jaminan hari tua. Tingginya pajak yang ditarik tidak sebanding
dengan fasilitas dasar yang diberikan kepada masyarakat. Predikat “kota
bangkrut” semakin pantas untuk disematkan pada kota ini.
Sepi dari Minat
Investor
Apa yang akhirnya diharapkan dari kota besar
nan jaya di zaman dahulu namun berangsur-angsur ditinggalkan oleh penduduknya karena
tumpukan masalah? Kota tua dengan ribuan bangunan menjulang yang kosong.
Bayangkan saja menurut laporan dari Huff
Post, bangunan kosong yang tak berpenghuni di sana mencapai angka 78 ribu
bangunan! Penghuninya tidak mempertimbangkan harga rumah yang ditinggalkan
lagi, karena memang kenyamanan sudah pasti tidak diperoleh dalam kotanya. Para
investor tidak akan ada yang tertarik untuk menanamkan sahamnya. Mereka akan
berpikir puluhan kali untuk datang dan merenovasi bangunan-bangunan tua yang pasti
akan menelan banyak biaya. Permasalahan lingkungan hidup sudah pasti akan terjadi
dengan bangunan-bangunan terbengkalai lama, ditambah dengan kota yang telah
menjelma sebagai “sarang penyamun” itu.
Munculnya Program
Perumahan dari Pemerintah
Pemerintah setempat tentu selalu berpikir
ekstra agar permasalahan yang semakin “di ujung tanduk” ini dapat ditemukan
solusi terbaiknya. Sejauh ini pemerintah kota telah meluncurkan program-program
seperti: rumah terjangkau, rehabilitasi rumah, dan peningkatan kualitas
lingkungan perumahan. Beberapa proyek strategis yang dilakukan setidaknya
berhasil menahan penduduk untuk tidak keluar dari kota. Lingkungan yang telah
ditata perlahan membuat penduduk percaya bahwa kota ini bisa keluar dari jurang
keterpurukan. Pemerintah mulai melakukan pengaturan kembali kebijakan kota
terkait penyediaan perumahan murah dan dukungan finansial untuk masyarakat
setempat. Pemerintah daerah berusaha meyakinkan sektor swasta dan NGO besar
untuk ikut membantu kota dalam menyelesaikan permasalahan bersama mereka. Bukan
tidak mungkin bahwa penduduk-penduduk yang memutuskan untuk keluar dari kota
itu adalah juga merupakan keluarga dan kerabat dari para pemilik perusahaan
swasta dan NGO setempat. Pemerintah juga menyadari tantangan seperti penyediaan
kembali infrastruktur, kepastian pasar perumahan, dan kepastian pembiayaan juga
harus segera diatasi.
Sejarah kelam Kota Detroit yang ditinggalkan
warganya seharusnya bisa perlahan dihapuskan dari memori penduduknya di masa
kini, dengan gerakan dan gebrakan bersama seluruh stakeholders kotanya. Hunian di
tengah kota akan kembali ramai jika sudah ada kejelasan tentang kenyamanan dan
keamanan bagi masyarakat, baik dari sisi fisik, sosial, maupun lingkungannya. Sebab,
lingkungan perkotaan bukan sekedar kumpulan bangunan-bangunan kaku tak berpenghuni
seperti dalam “Games Monopoly”, namun di dalamnya harus ada interaksi, komunikasi,
dan mobilisasi orang dan barang.
------------------------
Terima kasih sudah membaca sampai tuntas. Kalau ada yang ingin didiskusikan, silahkan tinggalkan komentar di kolom yang tersedia di bawah. Dengan senang hati, akan ditanggapi. ^-^
-------------------------
Note:
Sumber Foto: [Klik pada setiap fotonya]
Sumber bacaan: [https://www.spur.org/news/2023-07-17/making-detroit-home-addressing-challenges-housing-stability-and-habitability]
0 Komentar: