Note:

Sudut Pandang Tentang Perkotaan, Perdesaan, Kewilayahan, dan Segala Dinamika Keruangan yang ada di antaranya.

Peduli

(Disclaimer: Bukan Ahli, Hanya Mencoba Untuk Lebih Peduli)

Mengenai Saya

Foto saya
Father of Two Beloved Son|| Bureaucrat|| Urban and Regional Planner (Master Candidate)|| Content Writer|| Content Creator|| Reading Holic|| Obsesive, Visioner, and Melankolis Man||

Angkutan Umum: Hidup Segan, Mati Tak Mau

By | Leave a Comment

Sumber Foto: Kahaba.net


Semasa remaja dahulu, saya ingat sekali, kami selalu menggunakan angkot untuk berangkat dan pulang dari sekolah. Isinya kerap kali dipenuhi dengan anak-anak seusia saya. Wajah kami selalu riang dan bangga bisa berkesempatan naik angkot sendiri tanpa diantar oleh orang tua dengan sepeda kayuh atau pun sepeda motor butut. Bentuk dan warna angkutan umum zaman dahulu pun sangat beragam. Pemiliknya berlomba-lomba untuk berinovasi, baik merubah bentuk fisik luarnya dengan berbagai stiker dan asesoris, maupun merombak audio dalamnya dengan sedikit berlebihan dan norak. Semua dilakukan demi menarik perhatian calon pengguna sekaligus sebagai ciri khas tersendiri yang mudah dikenali para langganan. Pada pagi hari, jalan raya seakan penuh sesak dengan lalu-lalang angkot yang memuat anak-anak sekolahan. Terlebih di jam kepulangan, jangan ditanya; puluhan angkot dengan berbagai warna pasti telah berjejer tak beraturan di depan pagar sekolah guna merebut penumpang. Super sibuk dan meriah, pokoknya! Nyaris tidak ada yang menggunakan sepeda kayuh atau sepeda motor seperti zaman sekarang. Selain karena dulu kendaraan-kendaraan itu masih dianggap barang mewah, aturan sekolah pun tidak mengizinkan para siswa menggunakannya.


Romantisme kenangan itu kini bagai hilang ditelan bumi. Angkot-angkot “mewah” dan meriah itu sudah tak pernah nampak di jalanan kota kami. Ya, kota kecil kami setidaknya hanya memiliki angkot dan bus konvensional sebagai angkutan umum andalan di darat. Tidak ada yang namanya kereta api, trem, atau bahkan jalur khusus “busway”. Transportasi tradisional serupa delman yang kami sebut “benhur” pun nyaris hilang bersama dengan hilangnya angkot. Ruas-ruas jalan dipenuhi dengan angkutan-angkutan pribadi, baik roda dua maupun roda empat. Kota kami berubah menjadi kota konsumtif. Kota kami menjelma menjadi pangsa pasar potensial bagi segala macam kendaraan pribadi keluaran terbaru. Selalu muncul orang-orang kaya baru yang entah dengan cara apa mereka bisa memiliki kendaraan-kendaraan baru yang bahkan belum sempat terbayangkan modelnya. Bayangkan kendaraan beragam bentuk itu berlalu lalang di daerah yang batas dari ujung ke ujungnya tidak sampai 20 kilometer. Daerah yang sangat mungil, namun gaya hidup orang-orangnya semakin membesar.


Arah Angin Berubah Drastis

Lantas apa yang membuat roda nasib itu berputar sedemikian cepatnya bagi angkutan umum? Era modern membawa berbagai perubahan yang belum sempat terpikirkan oleh para pemain-pemain bisnis lama yang tengah menikmati masa jayanya. Kebiasaan menggunakan transportasi umum tiba-tiba berubah menjadi tidak bergengsi lagi. Hal ini berlangsung seiring dengan kualitas kendaraan yang menurun, harga tiket yang meningkat, dan isu kenyamanan serta keamanan yang mengancam. Kualitas kendaraan yang menurun ditandai dengan semakin seringnya mogok dan kecepatan yang berkurang. Isu kejahatan di atas kendaraan yang semakin kencang berhembus sangat menurunkan minat pengguna untuk kembali menggunakan moda transportasi umum. Beberapa hal lain yang ditengarai menjadi penyebab ditingalkannya kendaraan umum secara masif, yaitu:

  • Perkembangan Teknologi

Hadirnya moda transportasi berbasis digital seperti Gojek, Uber, Grab, Ola, Lyft, Maxim, dan sejenisnya akhirnya benar-benar merubah lanskap transportasi yang ada. Lebih parahnya lagi, saat ini sudah tersedia teknologi yang lebih canggih lagi dalam bentuk kendaraan otonom. Setiap orang bisa menumpang transportasi online tanpa driver dan dikendalikan secara otomatis dan aman. Kenyamanan dan kepuasan pelanggan benar-benar menjadi titik vital yang coba ditawarkan oleh teknologi baru ini. Sesuatu yang dianggap telah hilang dari pelayanan angkutan umum konvensional.

  • Persaingan dengan Kendaraan Pribadi

Banyak orang pun akhirnya rela menabung lebih keras untuk mendapatkan kendaraan pribadi yang dinilai lebih menawarkan privasi dan fleksibilitas waktu dan tenaga. Selain itu, jika belum memiliki uang yang cukup, para pelaku bisnis kredit (leasing) kendaraan sudah semakin menurunkan standar bagi mereka yang ingin segera memiliki kendaraan pribadi dengan “diskon” yang gila-gilaan. Para calon pelanggan nyaris tidak akan pulang dengan tangan hampa jika sudah memberanikan diri mengunjungi gerai mereka. Senjata utama mereka adalah DP ringan dan tenor cicilan yang fleksibel. Membuat calon debitur tak akan berkutik dengan rayuan itu.

  • Infrastruktur yang Kurang Memadai

Harus diakui bahwa jika ingin membangun sistem angkutan umum yang handal, kita memerlukan dana investasi yang sangat besar. Hal ini tentu saja untuk menyediakan serta memelihara infrastruktur yang digunakan, mengatur rute dan jadwal transportasi umum, serta mengintegrasikan antara satu jenis moda dengan moda transportasi yang lain. Di berbagai daerah, pengguna sering dibuat tidak nyaman dengan kenyataan bahwa mereka harus bergonta-ganti moda transportasi tanpa informasi rute dan jadwal yang jelas. Pasti sangat membuang energi jika harus berjalan kaki lagi untuk menemukan moda transportasi lain setelah turun dari angkot, misalnya.

  •   Sulitnya Merubah Kebiasaan yang Mulai Membudaya

Masyarakat sebenarnya sudah hampir semua menyadari bahwa penggunaan kendaraan pribadi yang masif dapat menyebabkan berbagai permasalahan lingkungan dan kemacetan semakin parah. Masyarakat sudah paham bahwa ada ancaman polusi udara, emisi gas rumah kaca, munculnya berbagai penyakit pernapasan, dan peningkatan kecelakaan lalu lintas. Namun perasaan gengsi yang lebih tinggi, waktu yang bisa mereka atur sendiri (fleksibel), dan kemudahan beralih rute dan mencari “jalan tikus” saat macet; membuat masyarakat lebih mementingkan egosentrisme-nya sendiri. Bayangan akan ketidaknyamanan, kualitas kendaraan yang buruk, serta lamanya waktu yang dibutuhkan; membuat minat untuk terus menggunakan angkutan umum sangat mudah diredam. Kendaraan pribadi menjadi semacam candu dalam budaya hidup yang baru. Jarak yang bisa ditempuh menggunakan jalan kaki pun sangat aneh jika tidak menggunakan kendaraan bermotor pribadi. Sisi lain, kebijakan untuk membatasi penggunaan kendaraan pribadi, seperti pengenaan biaya congestion pricing atau peningkatan tarif parkir, sering kali sulit diimplementasikan karena pertentangan politik dan penolakan masyarakat.

 

Semua kenyataan yang harus dihadapi oleh angkutan umum itu, membawa saya pada bayangan tentang jurang kehancuran yang dihadapi oleh raksasa teknologi bernama NOKIA. Dahulu, di masa kejayaannya, hampir setiap orang di dunia mengenal dan menggunakannya. Namun alur nasib yang tak terduga membawanya pada kenyataan yang sama sekali tak terbayangkan. Orang-orang mulai berangsur melupakan namanya, sekuat apa pun dirinya mencoba untuk bertahan. Bahwa inovasi dan teknologi harus terus berlangsung, agar terus bertahan dalam dunia yang penuh perubahan tak berujung.

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda

0 Komentar: