Sejarah telah mengukir rentetan kisah panjang tentang generasi awal tempo dulu yang hidup dengan mengandalkan keterampilan dalam berburu dan bertani. Belum ada keributan, belum ada ledakan jumlah penduduk, belum ada pula isu kerusakan lingkungan. Lantas, revolusi industri datang merubah segalanya. Satu sisi, roda ekonomi negara-negara menjadi semakin menggeliat dan menghasilkan surplus komoditas potensial yang tidak pernah terjadi di era sebelumnya. Namun di sisi lain, eksploitasi berlebihan terhadap sumber daya alam untuk kebutuhan industri malah memunculkan masalah baru yang semakin pelik. Ya, degradasi lingkungan. Negara-negara semakin bernafsu untuk meraih predikat sebagai negara maju dengan memaksimalkan ekploitasi terhadap sumber-sumber ekonomi baru mereka. Jika tidak dibatasi, maka kerusakan dunia global akan semakin cepat. Masalah polusi yang mempengaruhi iklim dunia akan semakin berdampak luas.
Hingga ketakutan negara-negara dunia mulai ada, dengan ditandai oleh terlaksananya Deklarasi Stockholm di tanggal 5-16 Juni 1972. Itu merupakan deklarasi pertama mengenai lingkungan hidup dunia, yang menghasilkan setidaknya 26 prinsip program lingkungan PBB (UNEP). Namun setelah beberapa lama berjalan, ternyata setiap negara memiliki kendala dalam penerapannya. Hal ini tentu disebabkan oleh perbedaan ekonomi dari sebuah negara; ada negara yang sudah maju, ada yang baru saja berkembang, bahkan ada negara yang masih dalam kategori terbelakang. Dinamika ini akhirnya mengerucut pada dualisme antara negara kaya dan negara miskin. Negara miskin akan sangat membutuhkan negara kaya dalam mengatasi permasalahan ekonominya, mereka terbelenggu secara ekonomi terhadap “perintah” negara kaya. Sementara negara-negara kaya yang merasa diri bahwa mereka dibutuhkan, akan merasa semena-mena terhadap program yang telah disepakati bersama secara global. Contoh kecilnya saja, kesepakatan untuk meredam emisi karbon dengan mempertahanan persentase luasan hutan. Kita bisa lihat, negara-negara “dunia ketiga”-lah yang masih setia mengikuti kesepakatan itu.
Kita bisa menyaksikan sendiri di satu dekade terakhir ini banyak sekali negara-negara yang akhirnya mem-branding diri mereka dengan negara penyayang lingkungan. Program seperti pengurangan angka kematian di jalan raya dengan mengatur desain jalan dan berusaha merubah budaya berlalu lintas, misalnya. Tentu saja tidak akan tepat sasaran jika izin untuk memiliki kendaraan bermotor pribadi tidak dibatasi dengan ketat. Jalan raya akan tetap menjadi “kuburan massal” bagi penggunanya. Penelitian menunjukkan bahwa emisi dari gas buangan kendaraan bermotor menjadi sumbangan terbesar bagi efek rumah kaca, polusi udara, perubahan iklim, dan kesehatan.
Namun terkecuali pada kota-kota di Eropa, mereka telah banyak yang benar-benar sukses dalam program mengurangi angka kematian untuk pejalan kaki dan pengendara sepeda. Mereka secara berkelanjutan memang menggunakan strategi dan memiliki komitmen yang kuat dalam penerapannya di lapangan. Warga mereka pun terkenal selalu gampang diatur dan patuh pada aturan yang berlaku. Strategi yang digunakan umumnya seperti mengurangi kecepatan kendaraan, pembatasan kendaraan bermotor, dan mempromosikan serta mewujudkan kenyamanan transportasi umum. Mereka punya pos-pos pendanaan alternatif yang tidak selamanya bergantung pada pembiayaan dari pemerintah dalam menjalankan program-program revolusionernya.
Meskipun beberapa negara eropa akhirnya menghadapi tantangan berupa pengaruh politik kuat yang mencengkeram dari kelompok-kelompok berkepentingan, seperti perusahaan otomotif, dealer, leasing, perusahaan minyak, dan serikat pekerja. Memang dapat kita bayangkan, berapa besar kehilangan yang akan dirasakan oleh pihak-pihak itu jika kebijakan pembatasan kendaraan bermotor dijalankan. Tentu akan jadi buah simalakama bagi pemerintah. Sebab mereka tentu saja pihak-pihak yang menjadi penyumbang terbesar bagi pemasukan (seperti pajak-pajak) bagi sebuah negara. Semua itu membuat kita membayangkan apa yang terjadi di Indonesia. Persis sekali, banyak konsekuensi yang harus diterima ketika sebuah kebijakan diambil. Oleh karena itu, seorang presiden beserta dengan menteri-menterinya harus berpikir ektra jika ingin mengambil kebijakan publik di negara yang masih proses berkembang seperti di Indonesia ini. Satu isu lingkungan saja dapat berpotensi menghasilkan blunder jika tidak dibuat strateginya dengan matang dan penuh kehati-hatian.
Salah satu yang menjadi isu terhangat adalah Pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) di Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur. Strategi ini muncul sebagian besar karena isu lingkungan yang menguak dalam berbagai penelitian ilmiah mengenai kondisi Ibu Kota Jakarta. Banjir, polusi, kemacetan, pertumbuhan penduduk, kekumuhan; semua menjadi bola salju yang semakin hari semakin besar dan deras dibahas. Hingga kesepakatan mengenai pemindahan ibu kota sudah tak mampu dihindari. Banyak energi, daya pikir, dan sumber daya keuangan yang dikeluarkan, demi mengejar sebuah kenyamanan dari kejaran isu lingkungan. Namun apakah ketika menghalau isu lingkungan yang satu, lantas tidak muncul isu lingkungan baru di tempat yang baru? Apakah tidak ada penebangan pohon dan hutan? Apakah tidak ada asap kendaraan bermotor? Apakah Kawasan Ibu Kota Negara tidak terpengaruh dengan isu lingkungan di lingkup regional kota/kabupaten lain di sekitarnya? Apakah tidak akan ada pertumbuhan penduduk disana? Apakah akan dibatasi kedatangan orang dan barang kesana? Tentu jawaban dari pertanyaan-pertanyaan ini akan terjawab sendiri sepuluh atau dua puluh tahun mendatang. Apakah kita negara yang mengatasi akar masalah atau hanya menghindari masalah. Atau memang ini adalah satu pilihan terbaik dari banyak pilihan yang baik. Semua akan mengerucut pada satu kesimpulan: keberpihakan negara kita pada lingkungan!
0 Komentar: