Bayangkan ketika seorang dokter ditanya mengenai syarat pendukung agar kita bisa menjadi cerdas. Tentu banyak sekali saran yang bisa diberikan. Beberapa dari mereka akan menyarankan untuk selalu menerapkan pola hidup yang sehat. Ada pula yang memberi masukan agar kita mencoba melakukan hal-hal baru yang belum pernah dilakukan sebelumnya, untuk meningkatkan wawasan dan skill. Nah, rasa-rasanya begitu pula perumpamaan yang dialami oleh sebuah kota ketika berkomitmen untuk menerapkan konsep kota cerdas. Kota tersebut seakan harus nampak bersih, sehat, nyaman, berubah (ada pembaruan) secara fisik, dan masyarakatnya pun sejahtera. Ini artinya apa? Ada semacam beban berat yang terkandung dalam istilah “kota cerdas” ini. Konsep yang pada hakikatnya berasal dari ide- ide perusahaan raksasa teknologi dunia barat periode awal 2000-an, agar operasionalisasi sebuah organisasi jauh lebih efektif dan efisien dengan bantuan teknologi. Jikalau pun dalam perkembangannya mengalami banyak sekali variasi terminologi, itu semata karena keinginan banyak pihak untuk mengadopsinya dalam lokus atau wadah yang berbeda saja, termasuk dalam skala perkotaan. Konsep “kota cerdas” yang digaungkan oleh negara-negara Eropa bisa saja sangat tepat sasaran dan baik pula untuk diambil sebagai pelajaran. Perekonomian rerata masyarakat mereka sudah berada di level kesejahteraan yang tinggi. Lantas bagaimana ketika konsep “kota cerdas” itu dibawa dan diterapkan secara masif di negara-negara belahan dunia selatan yang notabene belum selesai dengan berbagai permasalahan kemiskinan dan segala fenomena yang mengikutinya? Ketika sekelompok masyarakat kalangan bawah dijejali dengan seperangkat aturan dan mekanisme top-down yang asing bagi mereka, maka potensi defense-nya besar sekali. Informalitas pun tetap tumbuh subur mengiringi (calon) kota-kota cerdas.
Konsep yang Bersifat Top-Down
Banyak referensi, salah satunya Prasad et al (2023), yang mengungkap tentang betapa top-down-nya sifat dari penerapan konsep “cerdas” pada kota-kota di belahan dunia selatan (lokus penelitian mereka di India). Selain itu, Kominos et al (2019) menilai “kota cerdas” sebagai perencanaan yang parsial, dan mengistilahkannya sebagai “perencanaan tanpa rencana”. Cowley & Caprotti (2019) mengistilahkan komitmen “kota cerdas” bersifat oportunistik dan bukan dari hasil perencanaan yang disengaja. Parahnya lagi, inisiatif “kota cerdas” yang sering ter-fragmentasi membuat semakin dalamnya kesenjangan, baik secara sosial maupun spasial (Prasad et al, 2022). Hasil observasi langsung penulis juga di beberapa kota di Indonesia, seperti di Kota Cirebon, Semarang, dan Magelang; mengarah pada kesimpulan yang sama. Kebijakan untuk penerapan inisiatif “kota cerdas” menjadi semacam amanat langsung dari pemerintah pusat, dengan hanya melalui assessment “kecil-kecilan” berupa kemampuan keuangan daerah dan kesiapan sumber daya alamiahnya, serta didukung sungguh oleh komitmen pimpinan. Apakah inisiatif “kota cerdas” diawali dengan melakukan survei kebutuhan atau kemampuan masyarakat secara menyeluruh (door to door)? Tidak. Apakah komitmen “kota cerdas” menjadikan jumlah minimal penduduk miskin sebagai syarat diterimanya pemerintah daerah sebagai implementator? Tidak. Apakah dengan berinisiatif ikut program “kota cerdas” akan mendatangkan bantuan lebih banyak dari pemerintah pusat untuk membebaskan kemiskinan? Tidak juga. Jadi, tidak mengherankan ketika banyak sekali ditemukan ketidaksesuaian antara harapan dan realita di tengah- tengah masyarakat ketika implementasi dijalankan. Watson (2009) mengingatkan dengan tegas terhadap pandangan-pandangan elitis dari norma perencanaan masa kini yang cenderung mengabaikan tuntutan masyarakat miskin perkotaan, sehingga memaksa mereka melanggar aturan dan hukum yang berlaku.
Berkaca dari Informalitas di India
India memiliki persentase populasi yang sangat signifikan untuk belahan dunia selatan. Negara ini setidaknya terdiri dari 1,4 miliar penduduk menurut World Population Review 2020. Sejak tahun 2015 mereka telah menggagas Program 100 Kota Cerdas (Smart Cities Mission) untuk jangka waktu 5 tahun. Negara dengan kiblat perencanaan Neo-kolonial dan Pro-Barat yang menjadi salah satu pusat peradaban tertua dunia, pergeseran menuju asas-asas smart cities pasti sangat mengagetkan, terlebihdi kalangan masyarakatnya sendiri. Upaya mereka untuk lebih inklusif diterapkan dengan dua cara, yaitu pembangunan infrastruktur fisik dasar (air minum, sanitasi, listrik, dan transportasi, dan sebagainya), serta solusi “cerdas” seperti digitalisasi pemerintahan, memperkuat koneksi internet, dan semacamnya. Namun semakin kuat usaha pemerintah untuk mem-branding diri sebagai “kota cerdas”, beberapa realitas anti-klimaks makin bermunculan ke permukaan. Masyarakat yang berpikir kritis (cenderung ke arah kebingungan) mulai bertanya tentang 3 domain utama “kota cerdas”: siapa saja yang boleh mendapatkan perumahan yang terjangkau? Siapa pengguna bebas layanan infrastruktur? Warga dengan kriteria seperti apa yang ingin dilibatkan dalam konsep “kota cerdas”? Pada muaranya, pertanyaan lebih menohok lagi. Sebenarnya “kota cerdas” itu dimunculkan untuk siapa?
Lokasi Tiga Kota (Bhubaneswar, Pune, and Chennai) di India
(Sumber: Prasad, 2023)
Prasad dan teman-temannya mengambil lokus 3 daerah di India (Bhubaneswar, Pune, dan Chennai). Awalnya pembangunan di sana direncanakan untuk perbaikan kawasan permukiman kumuh, namun orientasinya beralih untuk pelayanan perumahan saja. Sementara kita ketahui bersama bahwa jangkauan untuk memiliki perumahan sangat terbatas. Kenyataan itu diperparah dengan kebijakan penggusuran kantung-kantung kumuh yang dianggap bermasalah secara estetika dan kesehatan lingkungan. Tidak masalah sebenarnya. Namun pada gilirannya, penggusuran itu diikuti oleh penyediaan lokasi lain yang tidak representatif. Umumnya, lahan pengganti dibangun dengan hunian- hunian baru berbentuk blok, yang tentu saja pangsa pasarnya sudah berbeda. Lahan yang dibebaskan lalu diberikan kepada pengembang dengan tujuan komersial. Letak lahan hunian baru yang jauh dari lokasi awal hunian, membawa ketidaknyamanan bagi masyarakat kalangan bawah, terutama berkaitan dengan interaksi sosial dan lokasi usaha. Bahkan salah satu kota sampel, sekaligus yang terbesar, Chennai, pemerintah setempat memilih “menyerah” untuk memasukkan program perumahan terjangkau dalam inisiatif “kota cerdas”-nya. Wilayah itu telah terlanjur memiliki kawasan kumuh dengan penduduk lebih dari seperempat bagian dari total keseluruhan warganya.
Potret Impelementasi Kota Cerdas di Indonesia
Indonesia sebagai negara dunia “bagian selatan” juga hampir melalui siklus kesadaran yang sama dengan India. Secara jumlah penduduk, Indonesia menempati peringkat 4 dunia di belakang Tiongkok, India, dan Amerika Serikat (Katadata, 2022). Secara resmi Indonesia mengumumkan inisiatif Program 100 Daerah Menuju Smart City di tahun 2018, di bawah koordinasi utama Kementerian Kominfo dan Bappenas. Salah satu tonggak yang melatarbelakangi komitmen nasional itu adalah tren pertumbuhan penduduk yang siginifikan, serta diiringi oleh laju urbanisasi yang luar biasa. Kualitas hidup masyarakat menjadi kata kunci yang disasar dalam menapaki inisiatif “kota cerdas”. Namun, seiring dengan perkembangan inisiatif “kota cerdas”, fenomena informalitas juga terus berkembang. Fenomena ini ditandai dengan pembentukan permukiman, pusat ekonomi, dan aktivitas yang tidak teratur dan seringkali di luar kontrol pemerintah. Di Indonesia, gejala itu dapat diamati dalam bentuk kampung kumuh, pedagang kaki lima, dan sektor informal lainnya. Faktor-faktor seperti ketidakmampuan mengakses perumahan terjangkau, minimnya lapangan pekerjaan resmi, dan keterbatasan akses ke layanan dasar, mendorong masyarakat untuk mencari solusi di luar sistem formal. Sama persis dengan kondisi di India yang dibahas sebelumnya. Setidaknya sebagian besar permasalahan tersebut penulis dapati langsung saat mengunjungi beberapa daerah, seperti Kota Cirebon, Kabupaten Magelang, Kota Semarang, dan Kabupaten Kulon Progo. Seluruh daerah itu telah menjadikan smart city sebagai arah tujuannya, berbekal dokumen “Master plan Smart City” yang telah dibuat dengan pendampingan dari unsur pemerintah pusat. Setelah beberapa tahun coba diaplikasikan, masalah-masalah informalitas ternyata tetap menjadi sebuah ironi tersendiri bagi pemerintah daerah. Peningkatan pembangunan infrastruktur dasar sebagian besar tidak dapat diaplikasikan pada kawasan-kawasan kumuh karena berkaitan langsung dengan status lahan yang belum “clean and clear” dari segi kepimilikannya. Pemerintah daerah memiliki pilihan dilematis untuk memindahkan masyarakat di tengah harga lahan alternatif yang sangat tinggi. Biasanya relokasi akan dilakukan dalam bentuk hunian baru vertikal yang letaknya jauh dari lokasi awal. Muncullah berbagai upaya negosiasi yang berkepanjangan dan menguras tenaga serta membebani materi.
Perubahan fisik dalam tata ruang perkotaan menjadi suatu keniscayaan dalam inisiatif “kota cerdas”. Namun, masyarakat informal sering tinggal di lahan yang tidak diatur secara formal, sehingga rentan terhadap pembongkaran. Seperti yang dikatakan oleh (Roy, 2009) “Informalitas bukanlah serangkaian kegiatan yang tidak diatur dan berada di luar jangkauan perencanaan; melainkan perencanaan yang memasukkan hal-hal informal dengan menetapkan beberapa kegiatan sebagai kegiatan yang sah dan kegiatan lainnya sebagai kegiatan yang tidak sah, dengan menghancurkan permukiman kumuh sambil memberikan status hukum kepada pembangunan pinggiran kota yang juga ilegal”.
Masalah lain yang ditemukan adalah kesenjangan literasi digital di tengah masyarakat. Salah satu aspek inisiatif “kota cerdas” adalah untuk menuju konektivitas yang lebih baik. Namun, sebagian besar masyarakat informal tidak memiliki akses yang sama terhadap teknologi. Hal itu menciptakan kesenjangan digital yang dapat memperdalam kesenjangan sosial. Banyak aplikasi digital yang diciptakan untuk lingkup lokal suatu daerah, namun fakta bahwa banyak sekali penduduk yang “gagap teknologi” membuat tujuan dari penciptaan aplikasi-aplikasi tersebut tidak tepat guna dan berhasil guna.
Solusi dan Rekomendasi
Menapaki rentetan panjang fenomena inisiatif “kota cerdas” beserta permasalahan yang menyertainya, tidak berlebihan jika penulis memberikan rekomendasi yang bersifat win-win solutions di tengah permasalahan informalitas dalam smart cities: 1) Mengembangkan program pelatihan digital bagi masyarakat informal untuk meningkatkan keterampilan teknologi dan mengurangi kesenjangan digital, 2) Mengintegrasikan masyarakat informal dalam proses perencanaan dan pengambilan keputusan perkotaan untuk memastikan kepentingan mereka diwakili, 3) Merancang inisiatif kota cerdas yang dapat diadaptasi dan digunakan oleh masyarakat informal secara bertahap, 4) Terus mendorong penyediaan akses yang lebih baik terhadap perumahan terjangkau, air bersih, sanitasi, dan layanan dasar lainnya.
Kongklusi
Pengembangan inisiatif kota cerdas haruslah mengakui realitas masyarakat informal dan berusaha untuk mengurangi ketidaksetaraan serta marginalisasi. Sehingga pada tingkatan tertingginya nanti, saat “kota cerdas” telah benar-benar merasuk dalam sendi kehidupan masyarakat, maka ilustrasi dari (Syssner & Meijer, 2017) akan terbukti adanya: “Di era baru ini, masyarakat sipil harus mengambil inisiatif kebijakan dan memikul tanggung jawab untuk melaksanakannya, dan pemerintah hanya boleh berpartisipasi secara minimal dalam proses tersebut, atau bahkan tidak sama sekali. Menjadikan masyarakat sipil bertanggung jawab untuk menyelesaikan masalahnya sendiri, dengan hanya sedikit dukungan dari pemerintah”.
Referensi
Cowley R and Caprotti F (2019) Smart city as antiplanning in the UK. Environment and Planning D: Society and Space 37(3): 428–448.
Komninos N, Kakderi C, Panori A, et al. (2019) Smart city planning from an evolutionary perspective. Journal of Urban Technology 26(2): 3–20.
Prasad D, Alizadeh T and Dowling R (2022) Smart city place-based outcomes in India: bubble urbanism and socio-spatial fragmentation. Journal of Urban Design 27(4): 483–503.
Prasad et al (2023) Smart city planning and the challenges of informality in India. Dialogues in Human Geography. SAGE Pub, 1- 18.
Watson V (2009) Seeing from the South: Refocusing urban planning on the globe’s central urban issues. Urban Studies 46(11): 2259–2275.
Katadata. (2022). Indonesia Masuk 5 Besar Jumlah Penduduk Terbanyak di G20. https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2022/11/01/indonesia-masuk-5-besar-jumlah- penduduk-terbanyak-di-g20. Diakses tanggal 31 Agustus 2023.
Roy A (2009) Strangely familiar: Planning and the worlds of insurgence and informality. Planning Theory 8(1): 7–11.
Syssner, Josefina, and Marlies Meijer. 2017. “Informal Planning in Depopulating Rural Areas. A Resource-Based View on Informal Planning Practices.” European Countryside 9 (3):15. doi:10.1515/euco-2017-0027.
0 Komentar: