Note:

Sudut Pandang Tentang Perkotaan, Perdesaan, Kewilayahan, dan Segala Dinamika Keruangan yang ada di antaranya.

Peduli

(Disclaimer: Bukan Ahli, Hanya Mencoba Untuk Lebih Peduli)

Mengenai Saya

Foto saya
Father of Two Beloved Son|| Bureaucrat|| Urban and Regional Planner (Master Candidate)|| Content Writer|| Content Creator|| Reading Holic|| Obsesive, Visioner, and Melankolis Man||

Desa Berdaya dan Berkelanjutan, Meredam Dampak Negatif Urbanisasi

By | Leave a Comment

Pengantar

Urbanisasi adalah proses migrasi penduduk dari wilayah pedesaan ke wilayah perkotaan, sehingga menyebabkan pertumbuhan dan perkembangan kota. Urbanisasi umumnya terjadi karena adanya daya tarik ekonomi dan sosial di kota, seperti peluang pekerjaan yang lebih baik, akses terhadap layanan publik yang lebih baik, dan gaya hidup yang berbeda. Urbanisasi menjadi permasalahan paradoksial yang serupa dua mata pisau. Satu sisi fenomena ini membawa perkembangan yang cepat bagi sebuah kota, namun di sisi lain meninggalkan “lubang” yang menganga di perdesaan. Perkembangan kota yang cepat pun bukan tidak menyisakan masalah; kekumuhan, kemiskinan, konflik antara warga asli setempat dengan para “pendatang”, ketersediaan infrastruktur dasar, dan masih banyak lagi isu-isu serupa itu. Lalu, ketika dampak negatif dari sebuah aktivitas lebih besar dari pada dampak positifnya, masih pantaskah untuk terus dibiarkan?

Selain terminologi secara fisik tadi, urbanisasi juga dapat dipandang sebagai proses perubahan gaya hidup (lifestyle) dari penduduk yang di tinggal di wilayah pedesaan, sehingga menyerupai kehidupan di perkotaan. Pengertian ini sudah banyak disepakati oleh para pakar perencanaan wilayah. Oleh karena itu, urbanisasi kini telah memiliki arti yang meluas dari sebelumnya. Kita dapat lihat fakta ini pada daerah-daerah pedesaan yang lokasinya berbatasan langsung atau pun terletak tidak jauh dari kawasan perkotaan. Masyarakat yang tinggal di desa tersebut mengalami transisi kehidupan melalui penggunaan teknologi informasi modern dan fashion dan mode yang berkiblat pada dunia maju.

Namun pada tulisan ini, kita akan lebih memfokuskan pembahasan mengenai terminologi urbanisasi dalam arti harfiah (fisik), beserta dampak-dampak yang ditimbulkannya. Adapun beberapa dampak negatif urbanisasi yang diuraikan dalam berbagai referensi, antara lain: 1) terkonsentrasinya penduduk secara berlebihan di kawasan perkotaan yang melebihi kapasitas dan daya tamping infrastruktur perkotaan, 2) kesenjangan yang semakin terlihat antara masyarakat berpenghasilan rendah dan berpenghasilan tinggi, 3) ketersediaan lapangan yang sesuai dengan keterampilan para “pendatang” yang terbatas, 4) penggusuran tempat tinggal para penduduk asli yang disebabkan oleh kurangnya lahan untuk infrastruktur dan fasilitas perkotaan, dan 5) ancaman kerusakan lingkungan yang semakin menjadi-jadi.

Kerangka Pembangunan Berkelanjutan

Isu mengenai dampak signifikan yang ditimbulkan oleh urbanisasi ini telah disadari dengan baik oleh setiap negara-negara dunia. Fenemona yang dapat dikatakan sangat umum terjadi di negara yang mulai tumbuh dan berkembang. Pembangunan berkelanjutan diyakini sebagai konsep pembangunan yang dapat menjadi solusi kebuntuan dari rantai masalah urbanisasi. Pembangunan berkelanjutan menyediakan kerangka kerja menyeluruh untuk mengawal pembangunan dengan asas-asas yang berkelanjutan, serta meminimalkan dampak negatif dari urbanisasi. Kenapa konsep pembangunan begitu dipercaya sebagai “obat” yang ampuh untuk permasalahan perkotaan itu? Konsep ini membantu menganalisis dan mengarahkan pertumbuhan perkotaan agar selaras dengan kemampuan dan daya dukungnya. Selain itu, faktor-faktor seperti inklusi sosial sangat diperhatikan, sehingga mengurangi ketimpangan dan perbedaan pemberian layanan antara si miskin dan si kaya. Pembangunan berkelanjutan pun sangat fokus untuk mempertahankan laju kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh polusi udara, pencemaran air, kerusakan habitat, dan sejenisnya.



Pembangunan berkelanjutan yang disadari pentingnya secara meluas oleh seluruh dunia akhirnya memunculkan kesepakatan global berupa Sustainable Development Goals (SDGs). Kesepakatan ini merupakan daftar komitmen dunia yang diwadahi oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk mencapai pembangunan berkelanjutan yang seimbang di seluruh dunia dari aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan. SDGs diadopsi oleh PBB pada tahun 2015 sebagai seruan universal untuk bertindak, guna mengakhiri kemiskinan, melindungi bumi, dan memastikan bahwa pada tahun 2030 semua orang menikmati perdamaian dan kesejahteraan. Tujuan SDGs totalnya ada 17 poin, namun yang berkaitan langsung dengan fenomena urbanisasi adalah tujuan 1, 6, 9, 10, dan 11. Penjelasan detail mengenai kelima tujuan itu adalah sebagai berikut:

1. Menghapus Kemiskinan (No Poverty - SDG 1):

SDG 1 bertujuan untuk mengakhiri kemiskinan dalam semua bentuk dan memastikan bahwa semua orang memiliki akses terhadap layanan dasar, termasuk penduduk perkotaan yang miskin. Dalam konteks urbanisasi, peran SDG 1 adalah untuk memastikan bahwa urbanisasi tidak meningkatkan kemiskinan dan ketidaksetaraan sosial di kota-kota besar. Ini melibatkan penyediaan akses terhadap pekerjaan yang layak, layanan dasar seperti air bersih dan sanitasi, serta perumahan yang terjangkau bagi penduduk perkotaan.

2. Mengurangi Ketimpangan (Reduced Inequality - SDG 10):

SDG 10 bertujuan untuk mengurangi ketimpangan dalam dan antara negara, serta antara kelompok-kelompok masyarakat yang berbeda. Dalam konteks urbanisasi, peran SDG 10 adalah untuk mengatasi ketimpangan sosial dan ekonomi antara penduduk kota yang kaya dan miskin. Ini dapat dicapai melalui kebijakan inklusif yang memperkuat akses terhadap layanan pendidikan, kesehatan, perumahan, dan pekerjaan bagi seluruh penduduk perkotaan.

3. Kota dan Komunitas yang Berkelanjutan (Sustainable Cities and Communities - SDG 11):

SDG 11 bertujuan untuk membuat kota dan pemukiman manusia menjadi inklusif, aman, tahan terhadap perubahan, dan berkelanjutan. Dalam konteks urbanisasi, peran SDG 11 adalah untuk mempromosikan pembangunan kota yang berkelanjutan dengan memperhatikan aspek-aspek seperti infrastruktur yang ramah lingkungan, transportasi publik yang efisien, perencanaan perkotaan yang baik, pengelolaan limbah yang berkelanjutan, dan peningkatan akses terhadap ruang terbuka hijau.

4. Akses Terhadap Infrastruktur dan Layanan Dasar (SDG 9 dan SDG 6):

SDG 9 bertujuan untuk membangun infrastruktur yang tangguh, mempromosikan industrialisasi yang inklusif dan berkelanjutan, serta meningkatkan inovasi. SDG 6 bertujuan untuk memastikan ketersediaan dan pengelolaan air bersih dan sanitasi yang berkelanjutan untuk semua orang. Dalam konteks urbanisasi, SDG 9 dan SDG 6 berperan penting dalam menyediakan akses terhadap infrastruktur dasar seperti transportasi, air bersih, sanitasi, energi, dan telekomunikasi bagi penduduk kota, sehingga mendukung pertumbuhan kota yang berkelanjutan dan meningkatkan kualitas hidup penduduk perkotaan.

Perkuat Daya Saing Desa

Desa di era modern saat ini sebenarnya sudah mendapat berbagai keistimewaan melalui berbagai kebijakan tentang desa. Kebijakan-kebijakan tersebut sangat mendorong kemandirian desa untuk terus membangun, baik secara fisik maupun non-fisik (pemberdayaan). Bisa dikatakan bahwa desa telah punya bargaining position yang kuat di mata masyarakatnya. Masyarakat yang pergi meninggalkan desa pastilah mereka yang merasa bahwa desa tidak mampu memenuhi kebutuhan mereka, minimal menyediakan peluang kerja untuk menyambung hidup. Oleh karena itu, dengan pembangunan desa yang masif akan membuat desa menemukan “jati diri”-nya. Utamanya, desa harus memiliki akses yang baik dalam mendukung mobilitas kegiatan ekonominya. Desa harus memiliki potensi alam dan potensi sumber daya manusia yang terus diasah. Mobilitas keluar-masuknya barang dan jasa harus lancar, sehingga starting point yang harus disediakan adalah fasilitas dan infrastruktur dasar, serta aksesibilitas desa.

Infrastruktur dasar seperti listrik yang stabil, air bersih yang memadai, sanitasi yang sehat, serta layanan Kesehatan tingkat dasar; semua menjadi syarat peningkatan kualitas hidup warga desa. Setelah itu, pengembangan transportasi yang handal dengan menyediakan jalan desa dalam kondisi baik, transportasi umum yang siap mengantar kemana saja, akses telepon dan internet yang stabil untuk berhubungan dengan pihak luar desa, pembangunan pusat pelayanan publik (sekolah, toko, pasar, sekolah, klinik, dan lain sebagainya), semua adalah tier pertama yang sangat penting untuk ada terlebih dahulu.

Setelah masyarakat telah “tuntas” dengan infrastruktur dan fasilitas dasar, barulah desa beranjak untuk mulai mengoptimalkan potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia yang ada. Kata “mengoptimalkan” dalam hal ini merujuk pada pengembangan suatu potensi yang memang sudah ada dan mampu ditingkatkan untuk lebih menghasilkan secara ekonomi maupun sosial kemasyarakatan. Hal ini dapat berupa pengembangan infrastruktur wisata di desa, misalnya perbaikan lokasi wisata, pembangunan homestay, jalur hiking, atraksi wisata, dan sejenisnya. Penting bagi desa untuk memahami sebenarnya apa potensi utama dalam dirinya. Tidak harus wisata alam, bisa juga wisata rohani, wisata edukasi, wisata kuliner, dan lain-lain.

Hal yang tidak kalah pentingnya juga, yang harus jalan seiring-sejalan, adalah kegiatan pemberdayaan masyarakat desa. Melalui program pemberdayaan masyarakat, penduduk desa dapat dilatih dan diberdayakan untuk mengelola infrastruktur dan layanan dasar secara mandiri. Ini akan menciptakan rasa memiliki terhadap infrastruktur desa dan meningkatkan kemandirian ekonomi masyarakat. Pembiayaannya tentu tidak harus terpaku dari anggaran desa yang tentunya terbatas. Peluang kolaborasi pendanaan di era modern ini sudah sangat terbuka lebar, baik dari elemen pemerintah, swasta, maupun swadaya dari kelompok masyarakat sendiri.

Kongklusi

Desa semakin mendapat keistimewaan dalam tanggung jawabnya dalam pembangunan secara mandiri. Saat desa berhasil mewujudkan pembangunan dengan asas berkelanjutan, sejatinya desa telah membawa potensinya ke arah yang lebih maju. Kemajuan desa akan mengurangi ketergantungan kepada kota, baik dari segi ekonomi maupun lifestyle. Desa akan menyadari karakteristiknya yang khas, tanpa harus menjiplak apa yang ditampilkan oleh perkotaan. Apabila kemandirian dan kesejahteraan itu sudah itu sudah diraih di level desa, tentu akan mengurangi bahkan menghapus keinginan untuk “mengadu nasib” di perkotaan. Sebab, sesungguhnya tujuan akhir dari sebuah keluarga adalah SEJAHTERA.
Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda

0 Komentar: