Kita sejatinya belum begitu sadar
akan resiko dan bahaya dari isu tentang perubahan iklim. Kita hanya sebatas memahami
bahwa perubahan iklim dan pemanasan global menyebabkan kegerahan yang meningkat
di sekitar hunian. Padahal itu hanya segelintir kecil dari dampak masif yang
ditimbulkan, selain dampak yang lebih menyeramkan, seperti badai yang lebih
parah, peningkatan kekeringan, peningkatan suhu dan volume air di lautan,
kepunahan spesies hewan dan tumbuhan, kekurangan pangan (kelaparan), resiko kesehatan
tinggi, serta kemiskinan yang berlarut-larut. Tidak heran jika isu ini semakin
mengkhawatirkan bagi negara-negara dunia. Aksi global untuk mengatasi dampak parah
perubahan iklim telah disepakati dan tercantum sebagai sasaran nomor 13 dari
Sustainable Development Goals (SDGs).
UNDP mencatat bahwa isu perubahan
iklim telah mengakibatkan kerugian rerata tahunan sebesar ratusan miliar dollar.
Lebih parahnya lagi, dampak bencana geo-fisik antara tahun 1998-2017 telah
mengakibatkan 1,3 juta orang meninggal dan 4,4 miliar orang terluka (UNDP, 2018).
Sangat mencengangkan bukan? Kesepakatan global dari negara-negara dunia masih menyisakan
optimisme, dengan kemauan politis yang kuat, kerja kolektif, serta ketersediaan
dana yang memadai; maka masih mungkin untuk membatasi peningkatan suhu rata-rata
global sebesar 2 derajat celcius. Sasaran kongkritnya adalah dengan mengurangi
emisi CO2 global sebesar 45% antara tahun 2010-2030, dan harus
mencapai 0% di tahun 2050. Semua itu bertujuan agar mempertahankan suhu dunia
tidak lebih dari 20 Celcius. Sehingga ketika dikonversi dalam benefit
keuangan, manfaat ekonomi yang dirasakan setidaknya mencapai 26 Triliun Dollar
pada tahun 2030.
Senyawa Kontributor Perubahan
Iklim
Beberapa referensi menunjukkan
bahwa beberapa senyawa yang dihasilkan dari kegiatan manusia di bumu menjadi kontributor
besar terhadap isu perubahan iklim. Kita kadang tidak menyadari bahwa
senyawa-senyawa kontributor tersebut sangat dekat dengan kehidupan kita
sehari-hari. Pada saat yang sama, kita seakan tidak mampu berkutik ketika
diminta harus beralih dari penggunaan alat-alat penyebab munculnya senyawa kontributor
tersebut.
Berdasarkan fakta yang diungkap
tersebut, kita dapat melihat bahwa senyawa Karbondioksida menjadi kontributor
terbesar dalam pemanasan global, yang merupakan cikal-bakal perubahan iklim
ekstrim. Kontribusi negatif yang diberikan itu mencapai 61 persen. Sangat
mendominasi! Ada pun sumber emisinya berasal dari pembakaran dengan bahan dasar
fosil dan juga penebangan hutan secara liar. Betapa tidak, kedua aktivitas itu telah
dilakukan secara masif dan menjadi “mata rantai” yang sulit dihentikan pada setiap
negara. Selain persentase-nya mendominasi, kita lebih menitikberatkan pada permasalahan
yang disebabkan oleh senyawa karbon, karena sampel kota yang ingin kita bahas
dalam tulisan ini adalah kota dengan komitmen terhadap pengurangan emisi karbon
untuk iklim yang lebih ramah untuk kehidupan mereka.
Indonesia sendiri telah menunjukkan
komitmen yang selaras dengan dunia global terkait dengan penanganan perubahan
iklim. Mulai tahun 2004, pemerintah telah mengeluarkan Undang-Undang nomor 17 Tahun
2004 Tentang Pengesahan Protocol Kyoto mengenai Kerangka Kerja Konvensi
Perubahan Iklim. Setelah itu, pada tahun 2011 pemerintah juga mengeluarkan
Rencana Aksi Nasional Penurunan Gas Rumah Kaca (GRK). Selanjutnya, pemerintah
juga menerbitkan Rencana Aksi Nasional Adaptasi Perubahan Iklim (RAN-API). Terbaru,
tahun 2016 pemerintah mengesahkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016 Tentang
Pengesahan Paris Agreement tentang Konvensi Perubahan Iklim.
Namun sayangnya, penelitian di
level “akar rumput” menunjukkan bahwa literasi kita tentang apa itu perubahan
iklim dan betapa mengerikan dampaknya, ternyata masih sangat rendah. Survei
yang dirilis tahun 2021 menunjukkan bahwa 9 dari 10 orang Indonesia mengaku
khawatir dengan perubahan iklim namun tidak paham atau minim wawasan mengenai
perubahan iklim itu sendiri. Selain itu, lebih menyedihkan lagi, tidak sedikit
dari responden yang mengira bahwa perubahan iklim adalah proses alamiah dari
bumi kita sendiri.
Komitmen Positif dari San
Fransisco Bay Area
San Fransisco Bay Area merupakan wilayah
administrasi yang terdiri dari 9 kabupaten di bawah negara bagian California.
Wilayahnya berada dan berbatasan langsung dengan pantai, sehingga sering disebut
dengan “Bay Area” saja. Daerah ini seperti pengelompokan (aglomerasi) pusat
pembangunan layaknya Jabodetabek di Indonesia. Kabupaten yang ada di dalamnya
terdiri dari Alameda, Contra Costa, Marin, Napa, San Mateo, Santa Clara, Solano,
Sonoma, dan San Fransisco. Total populasi wilayah ini mencapai 7,52 juta jiwa.
Menariknya adalah wilayah ini
menjadi daerah penyangga Amerika Serikat dari segi ketahanan lingkungan. Secara
ekologis, disana sangat kaya akan hutan-hutan alam yang berfungsi menyaring
polusi, serta masih banyak spesies langka yang menjadikannya habitat alami. Iklimnya
sangat kondusif sebagai tempat rekreasi dan refreshing di tengah penatnya
kehidupan pusat ekonomi AS. Namun permasalahan perubahan iklim akibat kehidupan
modern mulai mengintai kehidupan di wilayah ini. Salah satunya karena
penggunaan pemanas ruangan dengan bahan bakar fosil (gas dan minyak). Penggunaan
pemanas ruangan yang masif menjadi penghasil gas karbon dan nitrogen oksida.
Menurut penelitian ilmiah di sana, bangunan-bangunan yang menggunakan pemanas
ruangan tidak ramah lingkungan menghasilkan polusi Nitrogen Oksida (NOx)
delapan kali lebih tinggi dari pada menggunakan sumber listrik.
Mengantisipasi permasalahan yang
kian berdampak buruk, para pemimpin di wilayah Bay Area segera mengambil langkah
visioner berupa penetapan aturan tentang standar kualitas udara dan pembatasan
penggunaan pemanas yang tidak ramah iklim. Ini adalah aturan yang pertama untuk
California. Keinginan pemerintah eksekutif pun didukung penuh oleh Dewan
Legislatif mereka. Secara berangsur-angsur masyarakat harus mengganti pemanas
ruangan mereka dengan sumber listrik ramah lingkungan hingga tahun 2027 nanti. Bagi
masyarakat yang tidak mampu membeli atau mengkonversi alat pemanas mereka, maka
akan diberikan subsidi besar-besaran oleh pemerintah. Kebijakan baru ini
diharapkan dapat mencegah serangan penyakit pernapasan dan berkurangnya tingkat
kematian di wilayah Bay Area. Udara dalam rumah pun lebih lebih sehat dan segar
untuk dihirup.
https://www.spur.org/news/2024-03-05/affordable-transition-zero-pollution-climate-friendly-homes-bay-area |
Ada sekitar 585 ribu rumah tangga
di Bay Area yang dianggap berpenghasilan rendah, 40 persen-nya adalah pemilik
rumah, sementara 60 persen-nya adalah penyewa rumah. Transisi penggunaan pemanas
yang lebih ramah lingkungan didukung oleh perusahaan listrik negara mereka yang
berkomitmen untuk mengatur ulang tarif dasar listrik bagi mereka yang
berpenghasilan rendah. Jadi, selain pemerintah membiayai dari segi subsidi
pengadaan mesin pemanasnya, perusahaan listrik pun mendukung dari segi
penurunan biaya listrik hingga terjangkau oleh semua kalangan.
Kebijakan seperti inilah yang perlu didorong oleh setiap negara lain; kebijakan yang multisektor, multistakeholders, dan terintegrasi satu sama lain. Muara dari kebijakan yang serupa akan membawa kesejahteraan dan kebahagiaan bagi masyarakat, sebab hakikatnya pemerintah menjadi “pelayan” bagi masyarakat. Sehingga masyarakat pun selalu berusaha terlibat dan antusias dalam usaha-usaha membangun bangsa dan negara dari tingkatan terendah.
Test test
BalasHapusNice Bro... 👍👍👍
BalasHapusTulisan yang bagus.
BalasHapus