Note:

Sudut Pandang Tentang Perkotaan, Perdesaan, Kewilayahan, dan Segala Dinamika Keruangan yang ada di antaranya.

Peduli

(Disclaimer: Bukan Ahli, Hanya Mencoba Untuk Lebih Peduli)

Mengenai Saya

Foto saya
Father of Two Beloved Son|| Bureaucrat|| Urban and Regional Planner (Master Candidate)|| Content Writer|| Content Creator|| Reading Holic|| Obsesive, Visioner, and Melankolis Man||

Transisi Menuju Negara dengan Hunian yang Lebih Ramah Iklim

By | 3 comments

 


Kita sejatinya belum begitu sadar akan resiko dan bahaya dari isu tentang perubahan iklim. Kita hanya sebatas memahami bahwa perubahan iklim dan pemanasan global menyebabkan kegerahan yang meningkat di sekitar hunian. Padahal itu hanya segelintir kecil dari dampak masif yang ditimbulkan, selain dampak yang lebih menyeramkan, seperti badai yang lebih parah, peningkatan kekeringan, peningkatan suhu dan volume air di lautan, kepunahan spesies hewan dan tumbuhan, kekurangan pangan (kelaparan), resiko kesehatan tinggi, serta kemiskinan yang berlarut-larut. Tidak heran jika isu ini semakin mengkhawatirkan bagi negara-negara dunia. Aksi global untuk mengatasi dampak parah perubahan iklim telah disepakati dan tercantum sebagai sasaran nomor 13 dari Sustainable Development Goals (SDGs).


UNDP mencatat bahwa isu perubahan iklim telah mengakibatkan kerugian rerata tahunan sebesar ratusan miliar dollar. Lebih parahnya lagi, dampak bencana geo-fisik antara tahun 1998-2017 telah mengakibatkan 1,3 juta orang meninggal dan 4,4 miliar orang terluka (UNDP, 2018). Sangat mencengangkan bukan? Kesepakatan global dari negara-negara dunia masih menyisakan optimisme, dengan kemauan politis yang kuat, kerja kolektif, serta ketersediaan dana yang memadai; maka masih mungkin untuk membatasi peningkatan suhu rata-rata global sebesar 2 derajat celcius. Sasaran kongkritnya adalah dengan mengurangi emisi CO2 global sebesar 45% antara tahun 2010-2030, dan harus mencapai 0% di tahun 2050. Semua itu bertujuan agar mempertahankan suhu dunia tidak lebih dari 20 Celcius. Sehingga ketika dikonversi dalam benefit keuangan, manfaat ekonomi yang dirasakan setidaknya mencapai 26 Triliun Dollar pada tahun 2030.


Senyawa Kontributor Perubahan Iklim

Beberapa referensi menunjukkan bahwa beberapa senyawa yang dihasilkan dari kegiatan manusia di bumu menjadi kontributor besar terhadap isu perubahan iklim. Kita kadang tidak menyadari bahwa senyawa-senyawa kontributor tersebut sangat dekat dengan kehidupan kita sehari-hari. Pada saat yang sama, kita seakan tidak mampu berkutik ketika diminta harus beralih dari penggunaan alat-alat penyebab munculnya senyawa kontributor tersebut.



Berdasarkan fakta yang diungkap tersebut, kita dapat melihat bahwa senyawa Karbondioksida menjadi kontributor terbesar dalam pemanasan global, yang merupakan cikal-bakal perubahan iklim ekstrim. Kontribusi negatif yang diberikan itu mencapai 61 persen. Sangat mendominasi! Ada pun sumber emisinya berasal dari pembakaran dengan bahan dasar fosil dan juga penebangan hutan secara liar. Betapa tidak, kedua aktivitas itu telah dilakukan secara masif dan menjadi “mata rantai” yang sulit dihentikan pada setiap negara. Selain persentase-nya mendominasi, kita lebih menitikberatkan pada permasalahan yang disebabkan oleh senyawa karbon, karena sampel kota yang ingin kita bahas dalam tulisan ini adalah kota dengan komitmen terhadap pengurangan emisi karbon untuk iklim yang lebih ramah untuk kehidupan mereka.


Indonesia sendiri telah menunjukkan komitmen yang selaras dengan dunia global terkait dengan penanganan perubahan iklim. Mulai tahun 2004, pemerintah telah mengeluarkan Undang-Undang nomor 17 Tahun 2004 Tentang Pengesahan Protocol Kyoto mengenai Kerangka Kerja Konvensi Perubahan Iklim. Setelah itu, pada tahun 2011 pemerintah juga mengeluarkan Rencana Aksi Nasional Penurunan Gas Rumah Kaca (GRK). Selanjutnya, pemerintah juga menerbitkan Rencana Aksi Nasional Adaptasi Perubahan Iklim (RAN-API). Terbaru, tahun 2016 pemerintah mengesahkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016 Tentang Pengesahan Paris Agreement tentang Konvensi Perubahan Iklim.


Namun sayangnya, penelitian di level “akar rumput” menunjukkan bahwa literasi kita tentang apa itu perubahan iklim dan betapa mengerikan dampaknya, ternyata masih sangat rendah. Survei yang dirilis tahun 2021 menunjukkan bahwa 9 dari 10 orang Indonesia mengaku khawatir dengan perubahan iklim namun tidak paham atau minim wawasan mengenai perubahan iklim itu sendiri. Selain itu, lebih menyedihkan lagi, tidak sedikit dari responden yang mengira bahwa perubahan iklim adalah proses alamiah dari bumi kita sendiri.


Komitmen Positif dari San Fransisco Bay Area

San Fransisco Bay Area merupakan wilayah administrasi yang terdiri dari 9 kabupaten di bawah negara bagian California. Wilayahnya berada dan berbatasan langsung dengan pantai, sehingga sering disebut dengan “Bay Area” saja. Daerah ini seperti pengelompokan (aglomerasi) pusat pembangunan layaknya Jabodetabek di Indonesia. Kabupaten yang ada di dalamnya terdiri dari Alameda, Contra Costa, Marin, Napa, San Mateo, Santa Clara, Solano, Sonoma, dan San Fransisco. Total populasi wilayah ini mencapai 7,52 juta jiwa.


Menariknya adalah wilayah ini menjadi daerah penyangga Amerika Serikat dari segi ketahanan lingkungan. Secara ekologis, disana sangat kaya akan hutan-hutan alam yang berfungsi menyaring polusi, serta masih banyak spesies langka yang menjadikannya habitat alami. Iklimnya sangat kondusif sebagai tempat rekreasi dan refreshing di tengah penatnya kehidupan pusat ekonomi AS. Namun permasalahan perubahan iklim akibat kehidupan modern mulai mengintai kehidupan di wilayah ini. Salah satunya karena penggunaan pemanas ruangan dengan bahan bakar fosil (gas dan minyak). Penggunaan pemanas ruangan yang masif menjadi penghasil gas karbon dan nitrogen oksida. Menurut penelitian ilmiah di sana, bangunan-bangunan yang menggunakan pemanas ruangan tidak ramah lingkungan menghasilkan polusi Nitrogen Oksida (NOx) delapan kali lebih tinggi dari pada menggunakan sumber listrik.


Mengantisipasi permasalahan yang kian berdampak buruk, para pemimpin di wilayah Bay Area segera mengambil langkah visioner berupa penetapan aturan tentang standar kualitas udara dan pembatasan penggunaan pemanas yang tidak ramah iklim. Ini adalah aturan yang pertama untuk California. Keinginan pemerintah eksekutif pun didukung penuh oleh Dewan Legislatif mereka. Secara berangsur-angsur masyarakat harus mengganti pemanas ruangan mereka dengan sumber listrik ramah lingkungan hingga tahun 2027 nanti. Bagi masyarakat yang tidak mampu membeli atau mengkonversi alat pemanas mereka, maka akan diberikan subsidi besar-besaran oleh pemerintah. Kebijakan baru ini diharapkan dapat mencegah serangan penyakit pernapasan dan berkurangnya tingkat kematian di wilayah Bay Area. Udara dalam rumah pun lebih lebih sehat dan segar untuk dihirup.


https://www.spur.org/news/2024-03-05/affordable-transition-zero-pollution-climate-friendly-homes-bay-area

Ada sekitar 585 ribu rumah tangga di Bay Area yang dianggap berpenghasilan rendah, 40 persen-nya adalah pemilik rumah, sementara 60 persen-nya adalah penyewa rumah. Transisi penggunaan pemanas yang lebih ramah lingkungan didukung oleh perusahaan listrik negara mereka yang berkomitmen untuk mengatur ulang tarif dasar listrik bagi mereka yang berpenghasilan rendah. Jadi, selain pemerintah membiayai dari segi subsidi pengadaan mesin pemanasnya, perusahaan listrik pun mendukung dari segi penurunan biaya listrik hingga terjangkau oleh semua kalangan.


Kebijakan seperti inilah yang perlu didorong oleh setiap negara lain; kebijakan yang multisektor, multistakeholders, dan terintegrasi satu sama lain. Muara dari kebijakan yang serupa akan membawa kesejahteraan dan kebahagiaan bagi masyarakat, sebab hakikatnya pemerintah menjadi “pelayan” bagi masyarakat. Sehingga masyarakat pun selalu berusaha terlibat dan antusias dalam usaha-usaha membangun bangsa dan negara dari tingkatan terendah. 

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda

3 komentar: