Pengantar
Kepedulian terhadap lingkungan,
harus saya katakan, sebagai parameter tertinggi dari sebuah daerah yang maju. Sebab,
pembangunan berkelanjutan yang digaungkan dalam Sustainable Development
Goals (SDGs) hanya akan tercapai dengan menyelaraskan tiga elemen; ekonomi,
sosial, dan lingkungan. Percuma saja ekonomi suatu daerah dipacu setinggi
langit, jika inklusi sosial mandeg dan perlindungan lingkungan hidup
dipandang sebelah mata. Sudah banyak sekali kasus kota-kota yang “gagal”, hanya
karena terlalu fokus membangun ekonominya saja. Tentu kita tidak ingin Kota
Bima menyusul mereka. Entitas yang paling mudah dinilai untuk mengukur
keseimbangan antara elemen ekonomi-sosial-lingkungan adalah pembangunan infrastruktur
dasar: sanitasi, air minum, dan persampahan. Bagaimana perkembangan
pembangunannya? Bagaimana sikap masyarakat kita terhadap infrastruktur dasar tersebut?
Apakah sudah mencerminkan kedewasaan dalam aspek sosial dan lingkungan? Menarik
untuk diulas.
Selayang Pandang Kota Bima
Kota Bima dan masyarakatnya secara administratif terhitung masih sangat belia. Kota di ujung timur Provinsi Nusa Tenggara Barat ini terbentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2002, sebagai hasil pemekaran dari saudara kandungnya, Kabupaten Bima. Wilayahnya tidak luas, hanya sekitar 222,25 kilometer persegi. Pada saat pemekaran hanya terdiri dari 3 kecamatan. Gambarannya, jika kita menjelajahi ujung selatan hingga ujung utaranya, hanya akan menempuh jarak 22 kilometer. Sementara ujung timur-baratnya lebih pendek lagi, dengan menempuh jarak 10 kilometer saja, kita akan sampai di penghujung batas kotanya. Sangat sempit, bahkan lebih dari separuhnya berkontur gunung dan bukit.
Ilustrasi Foto Udara Kota Bima |
Lahan untuk permukiman dan mendirikan
usaha tentu sangat terbatas. Lebih dari itu, belum banyak potensi yang ter-ekspose
untuk dioptimalkan dalam proses pembangunan. Kapasitas fiskal daerah sangat
minim. Kantong-kantong ekonomi pun praktis hanya mengandalkan sektor primer
yang telah bertahan selama bertahun-tahun. Ini artinya apa? Secara ekonomi,
kita masih jauh dari harapan, namun bukan berarti tidak bisa diharapkan. Toh,
kota-kota seperti Hyderabad, Mumbai, Manila, Riyadh; tidak luas, bahkan ada
yang luasnya jauh di bawah Kota Bima, namun semua masuk dalam daftar kota
paling cepat berkembang di dunia tahun 2024. Tentu mereka punya senjata
pamungkas untuk “menaikkan level” kota masing-masing. Satu yang bisa pelajari
adalah cara mereka menggenjot elemen sosial (Sumber Daya Manusia) dan
kepeduliannya terhadap lingkungan. Sebab, pundi-pundi ekonomi sangat mudah dibentuk
di tengah tatanan sosial masyarakat yang teratur dan kecintaan terhadap lingkungan
yang tinggi.
Perkembangan Pembangunan Infrastruktur
Dasar
Pada periode sepuluh tahun
pertama pemekaran (2002-2012), infrastruktur dasar seperti sanitasi, air minum,
dan persampahan menjadi tantangan yang luar biasa, karena memang infrastrukturnya
masih minim. Sepuluh tahun awal, seperti halnya daerah pemekaran lain di
Indonesia, Pemerintah Kota Bima sangat disibukkan dengan urusan penyerahan
aset, penyepakatan peta batas-batas wilayah, penataan birokrasi internal, serta
permasalahan mendesak lainnya. Belum nampak ada sentuhan yang signifikan
terhadap sanitasi, air minum, dan persampahan. Jumlah rumah tangga yang buang
air besar sembarangan (BABs) masih sangat banyak. Sasarannya adalah
sungai-sungai, selokan, lahan-lahan kosong. Sebagian besar masyarakat masih
menggunakan jamban (toilet) yang tidak layak. Akses terhadap sumber air bersih
pun masih sangat terbatas. Sumber air minum saat itu masih bergantung pada
sumur tradisional dan aliran perpipaan yang belum diolah secara standar. Begitu
pula untuk persampahan. Lokasi pengelolaan sampah belum terkelola dengan baik.
Pemandangan sampah yang berserakan di jalan dan sungai masih menjadi
pemandangan sehari-hari. Akhirnya, semua mata rantai ini menyebabkan risiko
kesehatan yang sangat tinggi.
Memasuki periode tahun 2013-2019,
Kota Bima mulai mendapat perhatian yang lebih dari pemerintah pusat dalam
mendukung program pembangunan sanitasi, air minum, dan persampahan. Beberapa
kebijakan krusial mulai diperkenalkan oleh mereka, salah satunya berbentuk
Program Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM). Program ini berusaha
melibatkan langsung masyarakat dalam pembangunan infrastruktur sanitasi. Pada
periode ini, sudah mulai ada upaya lebih baik dalam membangun infrastruktur
sanitasi di wilayah-wilayah padat penduduk, meskipun akses ke jamban layak
belum merata. Berbagai proyek pembuangan air limbah rumah tangga sudah mulai
intens direncanakan dan terealisasi di beberapa kawasan. Konsultan dari Belanda
(Y-Consultant) tercatat sebagai motor penting dalam pembangunan di periode ini.
Perusahaan ini ikut melakukan intervensi positif dalam pembangunan infrastruktur
sanitasi dan persampahan. Menurut data dari Dinas PUPR Kota Bima, pada tahun
2013, Y-Consultant menjadi inisiator pembangunan Instalasi Pengolahan Air
Limbah (IPAL) Komunal di Lingkungan Bonto Kelurahan Kolo. IPAL Komunal dengan
cakupan pelayanan 150 Kepala Keluarga (KK) ini menjadi pilot project penting
yang menandai dimulainya pembangunan infrastruktur sejenis di tahun-tahun
setelahnya.
Terbukti di tahun yang sama (2013), pemerintah kota mendapat bantuan Dana Alokasi Khusus (DAK) untuk membangun MCK++ (MCK Plus-Plus) di Kelurahan Tanjung, Nungga, Melayu, dan Matakando. Konsep MCK++ dan IPAL Komunal lebih dipilih karena dapat digunakan bersama oleh banyak rumah tangga sekaligus. Hal ini menjadi strategi yang logis di tengah keterbatasan dana pembangunan serta keterbatasan lahan yang dimiliki oleh setiap rumah. MCK plus-plus adalah fasilitas umum yang menyediakan sarana mandi, cuci, kakus, dan air bersih sekaligus. Selain itu, MCK plus-plus juga memiliki fasilitas pengelohan limbah di lokasi yang sama. Terhitung hingga tahun 2018, Pemerintah Kota Bima terus membangun infrastruktur sanitasi berbentuk MCK++ dan IPAL komunal di masing-masing kelurahan, dengan pengguna minimal 50 Kepala Keluarga.
Pengelolaan air minum mulai
berkembang, meskipun masih dengan bayang-bayang masalah kepemilikan aset
Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Bima yang beroperasi di wilayah Kota Bima.
Tantangan distribusi air yang merata ke seluruh wilayah kota selalu menjadi
topik hangat setiap tahunnya. Pasokan air dari sumber-sumber mata air
pegunungan terus diupayakan kala itu, dengan kerja sama antara PDAM dan Dinas
PUPR. Sistem perpipaan juga mulai diperbaiki. Namun masalah bencana selalu
momok menakutkan, baik itu berupa kekeringan di saat kemarau panjang, maupun
kebanjiran di saat musim penghujan. Tentu para pembaca masih ingat dengan
musibah banjir besar di akhir tahun 2016. Kota lumpuh total. Infrastruktur
dasar dengan nilai aset miliaran rusak parah, termasuk pipa-pipa air bersih dan
sanitasi. Bayangkan, pembangunan yang dirajut perlahan, ternyata harus dimulai
lagi dari awal.
Pada periode ini pula,
pengelolaan sampah sudah nampak terstruktur dengan baik, dengan adanya penetapan
titik-titik pengumpulan sampah dan penambahan armada truk pengangkut sampah. Namun,
pengelolaan di TPA (Tempat Pembuangan Akhir) masih memerlukan peningkatan
signifikan, karena banyaknya sampah yang tidak dikelola dengan metode sanitary
landfill, menyebabkan polusi udara dan tanah yang berpotensi meluas ke
permukiman masyarakat. Sampah-sampah dengan tonase yang tinggi setiap harinya
hanya ditumpuk di TPA tanpa pengolahan lanjutan.
Memasuki periode 2020-2024,
pembangunan di bidang sanitasi, air minum, dan persampahan makin digenjot dan
dipercepat, sesuai dengan arahan-arahan kebijakan nasional seperti Program Percepatan
Penurunan Stunting, Program Kota Tanpa Kumuh (KOTAKU), Sanitasi Lingkungan
Berbasis Masyarakat (SLBM), dan juga Sustainable Development Goals
(SDGs) yang menargetkan 100 persen akses universal terhadap sanitasi dan air
minum di tahun 2030. Kota Bima terus membangun fasilitas sanitasi, termasuk
optimalisasi bangunan Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja (IPLT) sekaligus
membentuk unit kerja khusus untuk menangani penyedotan tinja di setiap rumah
dan perkantoran. Pada periode ini mulai dilakukan pembangunan masif jamban
layak individual di setiap rumah, karena hasil evaluasi menunjukkan bahwa tipe
jamban komunal (pakai bersama) sering terkendala kurangnya sumber air dan
kesadaran masyarakat untuk memelihara bersama. Saat ini, sebagian besar rumah
tangga di kota kini memiliki akses ke fasilitas sanitasi yang layak, namun
masih ada wilayah-wilayah pinggiran yang memerlukan perhatian lebih.
Upaya pemeritah kota untuk
meningkatkan pelayanan air minum di beberapa tahun terakhir ini, salah satunya
dengan membentuk unit tersendiri (UPT) yang khusus menangani air minum. Layanan
terus diperbaiki dengan menitikberatkan pada pencarian alternatif sumber air
baru dan pemeliharaan jaringan yang sudah terbangun. Beberapa wilayah yang
sulit terjangkau masih bergantung pada sumur pribadi. Investasi dalam teknologi
pengolahan air dan penyediaan air bersih, seperti desalinasi air laut dan
pengolahan air limbah, menjadi topik yang diperbincangkan untuk masa depan.
Pengelolaan sampah di Kota Bima
telah lebih baik dengan adanya peraturan daerah tentang pengelolaan sampah yang
lebih ketat. Pengelolaan sampah rumah tangga dan sampah industri semakin
terintegrasi. Upaya untuk mendaur ulang serta mengurangi penggunaan plastik
terus diintensifkan, namun tantangan dalam mengelola volume sampah yang terus
meningkat tetap menjadi masalah.
Elemen yang Terlupakan: Penyadaran
Sosial dan Edukasi Lingkungan
Berbagai pembangunan fisik yang
diinisiasi pemerintah kota di dua dekade awal pemekaran memang telah,
sedikit-banyak, membawa transformasi yang cukup signifikan. Namun ternyata
transformasi sosial-lingkungan tidak lantas melaju sama cepat dan bagusnya
dengan sisi fisik infrastruktur. Banyak sekali realitas ditemukan selama
perjalanan waktu, yang menunjukkan bahwa daerah kita sesungguhnya masih
tertinggal puluhan tahun dari kota-kota maju di luar sana.
Realitas pertama: IPAL Komunal
dijadikan sebagai “tempat sampah”. Saat dilakukan monitoring dan penyedotan
tinja, di dalam tangki pembuangan tinja ditemukan banyak sekali limbah pampers,
pambalut, celana dalam, tisu, dan lain sebagainya. Hal ini membuat tangki
septik cepat penuh dan tersumbat. Muncullah bau-bau tidak sedap yang mengganggu
lingkungan hunian masyarakat sendiri.
Realitas kedua: sejak awal
dibangun IPAL Komunal, ada pengurusnya yang berbentuk Kelompok Masyarakat.
Umumnya, tugas mereka adalah mewakili masyarakat memelihara infrastruktur IPAL
agar tidak terjadi kerusakan dan melakukan perbaikan. Tentu saja dengan menarik
iuran yang sangat ringan dari masyarakat pemanfaat IPAL Komunal. Namun,
realitasnya selalu sama hampir di setiap kelurahan yang memiliki IPAL Komunal,
masyarakat hanya ingin menggunakan, namun enggan membayar iuran bersama.
Jadilah penggunaan dan pemeliharaannya tidak berjalan sesuai yang diharapkan.
Realitas ketiga: sungai dan
selokan masih menjadi tempat buang hajat masyarakat bantaran. Jumlahnya terus
berkurang, karena telah selama bertahun-tahun menjadi target pemberian bantuan sanitasi.
Namun yang masih menjadi pemandangan di beberapa kelurahan adalah toilet-toilet
individu yang dibangun oleh masyarakat tidak memiliki tangka septik, namun pipa
pembuangannya langsung diarahkan ke sungai atau selokan (parit). Ditemukan juga
fakta mencengangkan, ada beberapa orang yang sudah diberi bantuan jamban di
rumahnya, malah tetap memilih sesekali buang hajat di sungai, karena menurutnya
lebih segar dan bisa sekaligus mandi serta mencuci. Bayangkan saat musim
kemarau, air sungai mengering, lantas tinggal menyisakan kotoran-kotoran
manusia yang berbau dan beracun mengering bersama lumpur sungai.
Realitas keempat: butuh pipa-pipa
dengan panjang puluhan kilometer untuk mengalirkan air dari sumber alami di
pegunungan hingga sampai ke permukiman masyarakat paling ujung. Ketika banyak
perlintasan pipa yang bocor dan atau sengaja dibocorkan untuk digunakan oleh
oknum yang nakal, seperti realitas yang terjadi kini, maka air bisa saja tidak
sampai dinikmati oleh masyarakat yang tinggal di hilir. Masyarakat yang tidak
kebagian air akan berteriak dan menunjuk pemerintah. Pemerintah akan berusaha
mengidentifikasi dan memperbaiki titik kebocoran. Beberapa hari akan ada ulah
lagi, diperbaiki lagi, dan begitu seterusnya hingga terjalin siklus yang
“membosankan”.
Realitas keempat di atas masih
mending. Namun pada realitas kelima, lebih parah lagi. Jika terjadi kelangkaan
air bersih karena kekeringan dan iklim panas yang ekstrim, maka dinas teknis
pemangku urusan air minum kota yang dipersalahkan dan dikambinghitamkan. Terus
harusnya salahkan siapa? Tidak harus menyalahkan siapa-siapa. Tapi kita harus
menyadari bahwa urusan air bersih atau air minum ini adalah sebuah sistem besar
yang tidak ujug-ujung langsung ada dan kita nikmati. Sistem itu
menyangkut daerah hulu hingga ke hilir. Hulunya dimana? Ya, di atas sana.
Kawasan seputar sumber air pegunungan. Bahkan daerah hulu kita adalah lintas
daerah, di Kabupaten Bima. Seberapa besar komitmen kita untuk bekerja sama
memelihara pepohonan dan hutan yang ada di wilayah lintas daerah ini sangat
menentukan kualitas dan kuantitas air yang kita terima di wilayah Kota Bima.
Sudahkah ada komitmen bersama pengambil kebijakan di bidang kehutanan dan
lingkungan hidup kita dengan daerah Kabupaten untuk melindungi dan menjaga
keberlanjutan mata air kita? Sudahkah kita bisa menahan laju deforestasi
(penebangan hutan) di daerah yang ada di luar wilayah kita namun sangat
mempengaruhi kehidupan kita sehari-hari? Sudahkah kita gunakan makna pepatah
“mati satu tumbuh seribu” untuk hutan-hutan lintas daerah kita? Mari merenung
bersama.
Realitas keenam: pantai, sungai,
dan laut masih menjadi salah satu tempat “favorit” untuk membuang sampah. Entah
sensasi apa yang dirasakan oleh masing-masing diri kita yang masih tanpa malu
membuang sampah begitu saja di pantai, sungai, dan laut yang jelas-jelas
tertera plang (papan informasi) peringatan untuk tidak membuang sampah disitu,
beserta dengan hukuman pidana yang bisa menjerat. Sensasi apa yang membuat setiap
diri kita membuang sisa sampah plastik yang notabene puluhan tahun tidak akan
bisa terurai oleh alam dengan begitu cuek, padahal di depan batang hidung kita
sudah disediakan tempat sampah? Sensasi macam apa itu? Tolong disebutkan.
Realitas ketujuh: berdasarkan
pendataan kinerja pengelolaan sampah oleh Pokja PPSP di tahun 2023, diperoleh
bahwa penanganan sampah sebanyak 67,5%. Artinya masih ada sejumlah lebih dari
32% sampah yang tidak terkelola. Jauh lebih penting lagi adalah bahwa aspek
pengurangan sampah belum menyentuh 1% dari total sampah yang dihasilkan. Ini
artinya apa? Kesadaran kita untuk mengurangi sampah sejak di tingkat rumah
tangga masih sangat minim. Kita belum aware untuk memilih dan memilah
sampah berdasarkan jenisnya mulai dari rumah masing-masing. Misalnya, sampah
anorganik seperti botol dan plastik dipisahkan untuk digunakan kembali atau
diantarkan untuk didaur ulang. Tindakan itu akan sangat membantu bagi
pengelolaan sampah untuk satu kota di TPA nantinya.
Sebenarnya jika diulik lebih
dalam, masih banyak realitas-realitas yang menggelitik kita semua di
masyarakat. Keseluruhan realitas yang nampak menjadi cambuk bagi kita untuk
lebih percaya bahwa perkembangan lini kehidupan sosial dan lingkungan perlu
kerja ektra dan keterlibatan semua unsur kota tanpa terkecuali, dan dengan
melepaskan pandangan-pandangan skeptis yang tak berdasar. Sebab pembangunan
elemen sosial dan lingkungan jauh lebih sulit di atas pembangunan kota secara
fisik.
Mengapa Pembangunan Ketiga
Sektor Itu Sangat Krusial?
Kota yang sehat adalah kota yang
produktif. Pembangunan infrastruktur sanitasi, air minum, dan persampahan yang
memadai akan menurunkan biaya kesehatan, meningkatkan produktivitas tenaga
kerja, dan membuka peluang ekonomi baru di sektor pengelolaan sumber daya.
Lebih dari itu, kota yang mampu menyediakan lingkungan yang bersih dan sehat
akan menjadi tempat yang lebih menarik bagi investor dan penduduk, yang pada
akhirnya mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih inklusif dan berkelanjutan. Pembangunan
infrastruktur-infrastruktur ini secara inklusif artinya memberikan layanan ke
semua lapisan masyarakat, terutama di daerah pemukiman kumuh dan terpencil,
membantu mewujudkan kesejahteraan yang merata dan meningkatkan kualitas hidup secara
keseluruhan.
Komitmen Bersama, Kota untuk
Semua
Berdasarkan realitas-realitas
yang diuraikan sebelumnya, kini kita harus sama-sama menyadari bahwa
pembangunan fisik harus diikuti dengan edukasi dan penyadaran secara masif.
Edukasi sosial dan lingkungan harus dilakukan bahkan 10 kali lipat lebih kencang
dari pembangunan fisiknya. Jika dalam dua dekade ini perubahan secara
sosial-lingkungan belum nampak signifikan, berarti memang kita semua belum
memprioritaskannya. Kalau pun sudah, artinya cara atau metode yang kita lakukan
belum benar-benar tepat. Pendanaan kegiatan berupa edukasi, sosialisasi,
bimtek, monitoring, pendataan, pemberdayaan, dan sejenisnya; sudah semestinya
mendapat porsi yang jauh lebih besar dibanding pembangunan secara fisik.
Hasillnya memang tidak akan nampak instan dan langsung berbentuk seperti
bangunan-bangunan fisik, namun paling tidak generasi kita akan menuai manisnya
kelak.
Daerah kita butuh banyak sekali
gebrakan inovatif untuk menuju titik putar balik kemajuan di bidang sosial dan
lingkungan. Cara-cara biasa dan konvensional tentu sudah tidak bisa digunakan
berulang di tengah kondisi masyarakat kita yang seperti ini. Kita butuh
anak-anak muda pemikir revolusioner untuk lingkungan macam Pandawara Group,
Lampung Sweeping Community, Ruang Pangan, Bank Sampah Emak, WALHI, dan
sejenisnya. Kita butuh anak-anak muda yang mengedepankan pikiran untuk
bagaimana berkontribusi untuk sosial dan lingkungan, ketimbang hanya untuk
keuntungan pribadi dan sesaat. Kita butuh pemikir-pemikir integratif untuk
birokrasi, yang dapat menggulirkan konsep “Penta Helix” dengan benar sesuai
dengan role-nya, yaitu kerja sama multipihak (pemerintah, akademisi, perusahaan,
komunitas, dan media) yang menjadi katalisator pembangunan kota. Kerja sama
tidak hanya dalam internal kota, namun lebih dari itu bersama dengan pemerintah
lintas daerah. Tentu konsep dan koordinasi tidak hanya berlangsung di atas
meja, namun benar-benar termanifestasikan ke dalam aksi nyata. Nota-nota
kesepahaman dan kerja sama antara pihak-pihak ini sudah wajib kita galakkan
untuk diarahkan dalam menyukseskan edukasi sosial dan lingkungan yang kita
ingin tuju. Ruang-ruang diskusi untuk
ini harusnya terbuka sangat lebar dan hanya dengan satu kepentingan bersama, bahwa
kita ingin melihat kota kita bersaing dengan kota-kota dunia.
Kesimpulan
Infrastruktur sanitasi, air
minum, dan persampahan bukanlah elemen pinggiran, melainkan inti dari
keberlanjutan kota dan kesejahteraan masyarakat. Ketiganya harus diprioritaskan
dalam perencanaan pembangunan untuk mencapai kota yang sehat, layak huni, dan
berkelanjutan. Tanpa pengelolaan yang baik dalam tiga sektor ini, kota akan
menghadapi tantangan kesehatan, sosial, dan lingkungan yang semakin besar.
Namun seiring dengan pembangunan fisik yang masif di dua dekade terakhir, kita
harus merenung dan meramu kembali strategi yang diterapkan dalam pembangunan
kota. Sebab ruh pembangunan kita seakan tidak sempurna tanpa penyadaran sosial
dan edukasi lingkungan. Saat ketiganya berjalan seimbang dan penuh harmoni,
maka Kota Bima akan menjadi salah satu cikal bakal kota dengan perkembangan
tercepat di dunia.
(telah dimuat dalam Harian Kahaba Bima, Tanggal 18 Oktober 2024)
0 Komentar: