Note:

Sudut Pandang Tentang Perkotaan, Perdesaan, Kewilayahan, dan Segala Dinamika Keruangan yang ada di antaranya.

Peduli

(Disclaimer: Bukan Ahli, Hanya Mencoba Untuk Lebih Peduli)

Mengenai Saya

Foto saya
Father of Two Beloved Son|| Bureaucrat|| Urban and Regional Planner (Master Candidate)|| Content Writer|| Content Creator|| Reading Holic|| Obsesive, Visioner, and Melankolis Man||

Dua Dekade Pembangunan Infrastruktur Dasar Kota Bima: Meneropong Kecintaan Masyarakat Terhadap Lingkungan

By | Leave a Comment

Ilustrasi Kota Bima Modern

Pengantar

Kepedulian terhadap lingkungan, harus saya katakan, sebagai parameter tertinggi dari sebuah daerah yang maju. Sebab, pembangunan berkelanjutan yang digaungkan dalam Sustainable Development Goals (SDGs) hanya akan tercapai dengan menyelaraskan tiga elemen; ekonomi, sosial, dan lingkungan. Percuma saja ekonomi suatu daerah dipacu setinggi langit, jika inklusi sosial mandeg dan perlindungan lingkungan hidup dipandang sebelah mata. Sudah banyak sekali kasus kota-kota yang “gagal”, hanya karena terlalu fokus membangun ekonominya saja. Tentu kita tidak ingin Kota Bima menyusul mereka. Entitas yang paling mudah dinilai untuk mengukur keseimbangan antara elemen ekonomi-sosial-lingkungan adalah pembangunan infrastruktur dasar: sanitasi, air minum, dan persampahan. Bagaimana perkembangan pembangunannya? Bagaimana sikap masyarakat kita terhadap infrastruktur dasar tersebut? Apakah sudah mencerminkan kedewasaan dalam aspek sosial dan lingkungan? Menarik untuk diulas.

Selayang Pandang Kota Bima

Kota Bima dan masyarakatnya secara administratif terhitung masih sangat belia. Kota di ujung timur Provinsi Nusa Tenggara Barat ini terbentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2002, sebagai hasil pemekaran dari saudara kandungnya, Kabupaten Bima. Wilayahnya tidak luas, hanya sekitar 222,25 kilometer persegi. Pada saat pemekaran hanya terdiri dari 3 kecamatan. Gambarannya, jika kita menjelajahi ujung selatan hingga ujung utaranya, hanya akan menempuh jarak 22 kilometer. Sementara ujung timur-baratnya lebih pendek lagi, dengan menempuh jarak 10 kilometer saja, kita akan sampai di penghujung batas kotanya. Sangat sempit, bahkan lebih dari separuhnya berkontur gunung dan bukit. 

Ilustrasi Foto Udara Kota Bima

Lahan untuk permukiman dan mendirikan usaha tentu sangat terbatas. Lebih dari itu, belum banyak potensi yang ter-ekspose untuk dioptimalkan dalam proses pembangunan. Kapasitas fiskal daerah sangat minim. Kantong-kantong ekonomi pun praktis hanya mengandalkan sektor primer yang telah bertahan selama bertahun-tahun. Ini artinya apa? Secara ekonomi, kita masih jauh dari harapan, namun bukan berarti tidak bisa diharapkan. Toh, kota-kota seperti Hyderabad, Mumbai, Manila, Riyadh; tidak luas, bahkan ada yang luasnya jauh di bawah Kota Bima, namun semua masuk dalam daftar kota paling cepat berkembang di dunia tahun 2024. Tentu mereka punya senjata pamungkas untuk “menaikkan level” kota masing-masing. Satu yang bisa pelajari adalah cara mereka menggenjot elemen sosial (Sumber Daya Manusia) dan kepeduliannya terhadap lingkungan. Sebab, pundi-pundi ekonomi sangat mudah dibentuk di tengah tatanan sosial masyarakat yang teratur dan kecintaan terhadap lingkungan yang tinggi.

Perkembangan Pembangunan Infrastruktur Dasar

Pada periode sepuluh tahun pertama pemekaran (2002-2012), infrastruktur dasar seperti sanitasi, air minum, dan persampahan menjadi tantangan yang luar biasa, karena memang infrastrukturnya masih minim. Sepuluh tahun awal, seperti halnya daerah pemekaran lain di Indonesia, Pemerintah Kota Bima sangat disibukkan dengan urusan penyerahan aset, penyepakatan peta batas-batas wilayah, penataan birokrasi internal, serta permasalahan mendesak lainnya. Belum nampak ada sentuhan yang signifikan terhadap sanitasi, air minum, dan persampahan. Jumlah rumah tangga yang buang air besar sembarangan (BABs) masih sangat banyak. Sasarannya adalah sungai-sungai, selokan, lahan-lahan kosong. Sebagian besar masyarakat masih menggunakan jamban (toilet) yang tidak layak. Akses terhadap sumber air bersih pun masih sangat terbatas. Sumber air minum saat itu masih bergantung pada sumur tradisional dan aliran perpipaan yang belum diolah secara standar. Begitu pula untuk persampahan. Lokasi pengelolaan sampah belum terkelola dengan baik. Pemandangan sampah yang berserakan di jalan dan sungai masih menjadi pemandangan sehari-hari. Akhirnya, semua mata rantai ini menyebabkan risiko kesehatan yang sangat tinggi.

Bantuan Sanitasi Pesantren

Bantuan Sanitasi Individual

Memasuki periode tahun 2013-2019, Kota Bima mulai mendapat perhatian yang lebih dari pemerintah pusat dalam mendukung program pembangunan sanitasi, air minum, dan persampahan. Beberapa kebijakan krusial mulai diperkenalkan oleh mereka, salah satunya berbentuk Program Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM). Program ini berusaha melibatkan langsung masyarakat dalam pembangunan infrastruktur sanitasi. Pada periode ini, sudah mulai ada upaya lebih baik dalam membangun infrastruktur sanitasi di wilayah-wilayah padat penduduk, meskipun akses ke jamban layak belum merata. Berbagai proyek pembuangan air limbah rumah tangga sudah mulai intens direncanakan dan terealisasi di beberapa kawasan. Konsultan dari Belanda (Y-Consultant) tercatat sebagai motor penting dalam pembangunan di periode ini. Perusahaan ini ikut melakukan intervensi positif dalam pembangunan infrastruktur sanitasi dan persampahan. Menurut data dari Dinas PUPR Kota Bima, pada tahun 2013, Y-Consultant menjadi inisiator pembangunan Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) Komunal di Lingkungan Bonto Kelurahan Kolo. IPAL Komunal dengan cakupan pelayanan 150 Kepala Keluarga (KK) ini menjadi pilot project penting yang menandai dimulainya pembangunan infrastruktur sejenis di tahun-tahun setelahnya.

Terbukti di tahun yang sama (2013), pemerintah kota mendapat bantuan Dana Alokasi Khusus (DAK) untuk membangun MCK++ (MCK Plus-Plus) di Kelurahan Tanjung, Nungga, Melayu, dan Matakando. Konsep MCK++ dan IPAL Komunal lebih dipilih karena dapat digunakan bersama oleh banyak rumah tangga sekaligus. Hal ini menjadi strategi yang logis di tengah keterbatasan dana pembangunan serta keterbatasan lahan yang dimiliki oleh setiap rumah. MCK plus-plus adalah fasilitas umum yang menyediakan sarana mandi, cuci, kakus, dan air bersih sekaligus. Selain itu, MCK plus-plus juga memiliki fasilitas pengelohan limbah di lokasi yang sama. Terhitung hingga tahun 2018, Pemerintah Kota Bima terus membangun infrastruktur sanitasi berbentuk MCK++ dan IPAL komunal di masing-masing kelurahan, dengan pengguna minimal 50 Kepala Keluarga.


Bantuan Sambungan Rumah Air Minum

Pengelolaan air minum mulai berkembang, meskipun masih dengan bayang-bayang masalah kepemilikan aset Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Bima yang beroperasi di wilayah Kota Bima. Tantangan distribusi air yang merata ke seluruh wilayah kota selalu menjadi topik hangat setiap tahunnya. Pasokan air dari sumber-sumber mata air pegunungan terus diupayakan kala itu, dengan kerja sama antara PDAM dan Dinas PUPR. Sistem perpipaan juga mulai diperbaiki. Namun masalah bencana selalu momok menakutkan, baik itu berupa kekeringan di saat kemarau panjang, maupun kebanjiran di saat musim penghujan. Tentu para pembaca masih ingat dengan musibah banjir besar di akhir tahun 2016. Kota lumpuh total. Infrastruktur dasar dengan nilai aset miliaran rusak parah, termasuk pipa-pipa air bersih dan sanitasi. Bayangkan, pembangunan yang dirajut perlahan, ternyata harus dimulai lagi dari awal.

Pada periode ini pula, pengelolaan sampah sudah nampak terstruktur dengan baik, dengan adanya penetapan titik-titik pengumpulan sampah dan penambahan armada truk pengangkut sampah. Namun, pengelolaan di TPA (Tempat Pembuangan Akhir) masih memerlukan peningkatan signifikan, karena banyaknya sampah yang tidak dikelola dengan metode sanitary landfill, menyebabkan polusi udara dan tanah yang berpotensi meluas ke permukiman masyarakat. Sampah-sampah dengan tonase yang tinggi setiap harinya hanya ditumpuk di TPA tanpa pengolahan lanjutan.

Memasuki periode 2020-2024, pembangunan di bidang sanitasi, air minum, dan persampahan makin digenjot dan dipercepat, sesuai dengan arahan-arahan kebijakan nasional seperti Program Percepatan Penurunan Stunting, Program Kota Tanpa Kumuh (KOTAKU), Sanitasi Lingkungan Berbasis Masyarakat (SLBM), dan juga Sustainable Development Goals (SDGs) yang menargetkan 100 persen akses universal terhadap sanitasi dan air minum di tahun 2030. Kota Bima terus membangun fasilitas sanitasi, termasuk optimalisasi bangunan Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja (IPLT) sekaligus membentuk unit kerja khusus untuk menangani penyedotan tinja di setiap rumah dan perkantoran. Pada periode ini mulai dilakukan pembangunan masif jamban layak individual di setiap rumah, karena hasil evaluasi menunjukkan bahwa tipe jamban komunal (pakai bersama) sering terkendala kurangnya sumber air dan kesadaran masyarakat untuk memelihara bersama. Saat ini, sebagian besar rumah tangga di kota kini memiliki akses ke fasilitas sanitasi yang layak, namun masih ada wilayah-wilayah pinggiran yang memerlukan perhatian lebih.

Upaya pemeritah kota untuk meningkatkan pelayanan air minum di beberapa tahun terakhir ini, salah satunya dengan membentuk unit tersendiri (UPT) yang khusus menangani air minum. Layanan terus diperbaiki dengan menitikberatkan pada pencarian alternatif sumber air baru dan pemeliharaan jaringan yang sudah terbangun. Beberapa wilayah yang sulit terjangkau masih bergantung pada sumur pribadi. Investasi dalam teknologi pengolahan air dan penyediaan air bersih, seperti desalinasi air laut dan pengolahan air limbah, menjadi topik yang diperbincangkan untuk masa depan.

Pengelolaan sampah di Kota Bima telah lebih baik dengan adanya peraturan daerah tentang pengelolaan sampah yang lebih ketat. Pengelolaan sampah rumah tangga dan sampah industri semakin terintegrasi. Upaya untuk mendaur ulang serta mengurangi penggunaan plastik terus diintensifkan, namun tantangan dalam mengelola volume sampah yang terus meningkat tetap menjadi masalah.

Elemen yang Terlupakan: Penyadaran Sosial dan Edukasi Lingkungan

Berbagai pembangunan fisik yang diinisiasi pemerintah kota di dua dekade awal pemekaran memang telah, sedikit-banyak, membawa transformasi yang cukup signifikan. Namun ternyata transformasi sosial-lingkungan tidak lantas melaju sama cepat dan bagusnya dengan sisi fisik infrastruktur. Banyak sekali realitas ditemukan selama perjalanan waktu, yang menunjukkan bahwa daerah kita sesungguhnya masih tertinggal puluhan tahun dari kota-kota maju di luar sana.

Realitas pertama: IPAL Komunal dijadikan sebagai “tempat sampah”. Saat dilakukan monitoring dan penyedotan tinja, di dalam tangki pembuangan tinja ditemukan banyak sekali limbah pampers, pambalut, celana dalam, tisu, dan lain sebagainya. Hal ini membuat tangki septik cepat penuh dan tersumbat. Muncullah bau-bau tidak sedap yang mengganggu lingkungan hunian masyarakat sendiri.

Realitas kedua: sejak awal dibangun IPAL Komunal, ada pengurusnya yang berbentuk Kelompok Masyarakat. Umumnya, tugas mereka adalah mewakili masyarakat memelihara infrastruktur IPAL agar tidak terjadi kerusakan dan melakukan perbaikan. Tentu saja dengan menarik iuran yang sangat ringan dari masyarakat pemanfaat IPAL Komunal. Namun, realitasnya selalu sama hampir di setiap kelurahan yang memiliki IPAL Komunal, masyarakat hanya ingin menggunakan, namun enggan membayar iuran bersama. Jadilah penggunaan dan pemeliharaannya tidak berjalan sesuai yang diharapkan.

Realitas ketiga: sungai dan selokan masih menjadi tempat buang hajat masyarakat bantaran. Jumlahnya terus berkurang, karena telah selama bertahun-tahun menjadi target pemberian bantuan sanitasi. Namun yang masih menjadi pemandangan di beberapa kelurahan adalah toilet-toilet individu yang dibangun oleh masyarakat tidak memiliki tangka septik, namun pipa pembuangannya langsung diarahkan ke sungai atau selokan (parit). Ditemukan juga fakta mencengangkan, ada beberapa orang yang sudah diberi bantuan jamban di rumahnya, malah tetap memilih sesekali buang hajat di sungai, karena menurutnya lebih segar dan bisa sekaligus mandi serta mencuci. Bayangkan saat musim kemarau, air sungai mengering, lantas tinggal menyisakan kotoran-kotoran manusia yang berbau dan beracun mengering bersama lumpur sungai.

Realitas keempat: butuh pipa-pipa dengan panjang puluhan kilometer untuk mengalirkan air dari sumber alami di pegunungan hingga sampai ke permukiman masyarakat paling ujung. Ketika banyak perlintasan pipa yang bocor dan atau sengaja dibocorkan untuk digunakan oleh oknum yang nakal, seperti realitas yang terjadi kini, maka air bisa saja tidak sampai dinikmati oleh masyarakat yang tinggal di hilir. Masyarakat yang tidak kebagian air akan berteriak dan menunjuk pemerintah. Pemerintah akan berusaha mengidentifikasi dan memperbaiki titik kebocoran. Beberapa hari akan ada ulah lagi, diperbaiki lagi, dan begitu seterusnya hingga terjalin siklus yang “membosankan”.

Realitas keempat di atas masih mending. Namun pada realitas kelima, lebih parah lagi. Jika terjadi kelangkaan air bersih karena kekeringan dan iklim panas yang ekstrim, maka dinas teknis pemangku urusan air minum kota yang dipersalahkan dan dikambinghitamkan. Terus harusnya salahkan siapa? Tidak harus menyalahkan siapa-siapa. Tapi kita harus menyadari bahwa urusan air bersih atau air minum ini adalah sebuah sistem besar yang tidak ujug-ujung langsung ada dan kita nikmati. Sistem itu menyangkut daerah hulu hingga ke hilir. Hulunya dimana? Ya, di atas sana. Kawasan seputar sumber air pegunungan. Bahkan daerah hulu kita adalah lintas daerah, di Kabupaten Bima. Seberapa besar komitmen kita untuk bekerja sama memelihara pepohonan dan hutan yang ada di wilayah lintas daerah ini sangat menentukan kualitas dan kuantitas air yang kita terima di wilayah Kota Bima. Sudahkah ada komitmen bersama pengambil kebijakan di bidang kehutanan dan lingkungan hidup kita dengan daerah Kabupaten untuk melindungi dan menjaga keberlanjutan mata air kita? Sudahkah kita bisa menahan laju deforestasi (penebangan hutan) di daerah yang ada di luar wilayah kita namun sangat mempengaruhi kehidupan kita sehari-hari? Sudahkah kita gunakan makna pepatah “mati satu tumbuh seribu” untuk hutan-hutan lintas daerah kita? Mari merenung bersama.

Realitas keenam: pantai, sungai, dan laut masih menjadi salah satu tempat “favorit” untuk membuang sampah. Entah sensasi apa yang dirasakan oleh masing-masing diri kita yang masih tanpa malu membuang sampah begitu saja di pantai, sungai, dan laut yang jelas-jelas tertera plang (papan informasi) peringatan untuk tidak membuang sampah disitu, beserta dengan hukuman pidana yang bisa menjerat. Sensasi apa yang membuat setiap diri kita membuang sisa sampah plastik yang notabene puluhan tahun tidak akan bisa terurai oleh alam dengan begitu cuek, padahal di depan batang hidung kita sudah disediakan tempat sampah? Sensasi macam apa itu? Tolong disebutkan.

Realitas ketujuh: berdasarkan pendataan kinerja pengelolaan sampah oleh Pokja PPSP di tahun 2023, diperoleh bahwa penanganan sampah sebanyak 67,5%. Artinya masih ada sejumlah lebih dari 32% sampah yang tidak terkelola. Jauh lebih penting lagi adalah bahwa aspek pengurangan sampah belum menyentuh 1% dari total sampah yang dihasilkan. Ini artinya apa? Kesadaran kita untuk mengurangi sampah sejak di tingkat rumah tangga masih sangat minim. Kita belum aware untuk memilih dan memilah sampah berdasarkan jenisnya mulai dari rumah masing-masing. Misalnya, sampah anorganik seperti botol dan plastik dipisahkan untuk digunakan kembali atau diantarkan untuk didaur ulang. Tindakan itu akan sangat membantu bagi pengelolaan sampah untuk satu kota di TPA nantinya.

Sebenarnya jika diulik lebih dalam, masih banyak realitas-realitas yang menggelitik kita semua di masyarakat. Keseluruhan realitas yang nampak menjadi cambuk bagi kita untuk lebih percaya bahwa perkembangan lini kehidupan sosial dan lingkungan perlu kerja ektra dan keterlibatan semua unsur kota tanpa terkecuali, dan dengan melepaskan pandangan-pandangan skeptis yang tak berdasar. Sebab pembangunan elemen sosial dan lingkungan jauh lebih sulit di atas pembangunan kota secara fisik.

Mengapa Pembangunan Ketiga Sektor Itu Sangat Krusial?

Kota yang sehat adalah kota yang produktif. Pembangunan infrastruktur sanitasi, air minum, dan persampahan yang memadai akan menurunkan biaya kesehatan, meningkatkan produktivitas tenaga kerja, dan membuka peluang ekonomi baru di sektor pengelolaan sumber daya. Lebih dari itu, kota yang mampu menyediakan lingkungan yang bersih dan sehat akan menjadi tempat yang lebih menarik bagi investor dan penduduk, yang pada akhirnya mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih inklusif dan berkelanjutan. Pembangunan infrastruktur-infrastruktur ini secara inklusif artinya memberikan layanan ke semua lapisan masyarakat, terutama di daerah pemukiman kumuh dan terpencil, membantu mewujudkan kesejahteraan yang merata dan meningkatkan kualitas hidup secara keseluruhan.

Komitmen Bersama, Kota untuk Semua

Berdasarkan realitas-realitas yang diuraikan sebelumnya, kini kita harus sama-sama menyadari bahwa pembangunan fisik harus diikuti dengan edukasi dan penyadaran secara masif. Edukasi sosial dan lingkungan harus dilakukan bahkan 10 kali lipat lebih kencang dari pembangunan fisiknya. Jika dalam dua dekade ini perubahan secara sosial-lingkungan belum nampak signifikan, berarti memang kita semua belum memprioritaskannya. Kalau pun sudah, artinya cara atau metode yang kita lakukan belum benar-benar tepat. Pendanaan kegiatan berupa edukasi, sosialisasi, bimtek, monitoring, pendataan, pemberdayaan, dan sejenisnya; sudah semestinya mendapat porsi yang jauh lebih besar dibanding pembangunan secara fisik. Hasillnya memang tidak akan nampak instan dan langsung berbentuk seperti bangunan-bangunan fisik, namun paling tidak generasi kita akan menuai manisnya kelak.

Daerah kita butuh banyak sekali gebrakan inovatif untuk menuju titik putar balik kemajuan di bidang sosial dan lingkungan. Cara-cara biasa dan konvensional tentu sudah tidak bisa digunakan berulang di tengah kondisi masyarakat kita yang seperti ini. Kita butuh anak-anak muda pemikir revolusioner untuk lingkungan macam Pandawara Group, Lampung Sweeping Community, Ruang Pangan, Bank Sampah Emak, WALHI, dan sejenisnya. Kita butuh anak-anak muda yang mengedepankan pikiran untuk bagaimana berkontribusi untuk sosial dan lingkungan, ketimbang hanya untuk keuntungan pribadi dan sesaat. Kita butuh pemikir-pemikir integratif untuk birokrasi, yang dapat menggulirkan konsep “Penta Helix” dengan benar sesuai dengan role-nya, yaitu kerja sama multipihak (pemerintah, akademisi, perusahaan, komunitas, dan media) yang menjadi katalisator pembangunan kota. Kerja sama tidak hanya dalam internal kota, namun lebih dari itu bersama dengan pemerintah lintas daerah. Tentu konsep dan koordinasi tidak hanya berlangsung di atas meja, namun benar-benar termanifestasikan ke dalam aksi nyata. Nota-nota kesepahaman dan kerja sama antara pihak-pihak ini sudah wajib kita galakkan untuk diarahkan dalam menyukseskan edukasi sosial dan lingkungan yang kita ingin tuju.  Ruang-ruang diskusi untuk ini harusnya terbuka sangat lebar dan hanya dengan satu kepentingan bersama, bahwa kita ingin melihat kota kita bersaing dengan kota-kota dunia.

Kesimpulan

Infrastruktur sanitasi, air minum, dan persampahan bukanlah elemen pinggiran, melainkan inti dari keberlanjutan kota dan kesejahteraan masyarakat. Ketiganya harus diprioritaskan dalam perencanaan pembangunan untuk mencapai kota yang sehat, layak huni, dan berkelanjutan. Tanpa pengelolaan yang baik dalam tiga sektor ini, kota akan menghadapi tantangan kesehatan, sosial, dan lingkungan yang semakin besar. Namun seiring dengan pembangunan fisik yang masif di dua dekade terakhir, kita harus merenung dan meramu kembali strategi yang diterapkan dalam pembangunan kota. Sebab ruh pembangunan kita seakan tidak sempurna tanpa penyadaran sosial dan edukasi lingkungan. Saat ketiganya berjalan seimbang dan penuh harmoni, maka Kota Bima akan menjadi salah satu cikal bakal kota dengan perkembangan tercepat di dunia.

(telah dimuat dalam Harian Kahaba Bima, Tanggal 18 Oktober 2024)

Posting Lama Beranda

0 Komentar: